PEKANBARU - Syarifudin (69) dituntut jaksa penuntut umum dengan hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp3 miliar gara-gara membakar lahan 20x20 meter miliknya yang akan dipergunakan untuk bercocok tanam demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Syarifudin dituntut dalam perkara Karhutla pada tahun 2019.

Melihat beratnya tuntutan jaksa terhadap Syarifudin, Penasehat Hukum Syafrudin, Andi Wijaya, dalam salah satu poin pledoinya yang disampaikan pada persidangan di Pengadilan Negri (PN) Pekanbaru pada hari Selasa (21/1/2020) sore tadi, meminta majelis hakim yang diketuai Abdul Aziz, membebaskan terdakwa dari segala tuntutan.

Karena menurut Andi, yang juga aktif di Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru ini, dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak terbukti selama sidang berlangsung.

"Dengan tidak terbuktinya dakwaan yang didakwakan maka demi keadilan dan kebenaran, kami mohon kepada majelis hakim membebaskan terdakwa dari segela tuntutan," ungkap Andi dihadapan para majelis hakim.

Dengan usainya pembacaan pledoi oleh penasehat hukum terdakwa, maka persidangan pun ditunda dan dilanjutkan pada agenda replik atau jawaban JPU terhadap pledoi yang disampaikan terdakwa, yang akan dilaksanakan pekan depan di PN Pekanbaru.

Andi saat diwawancarai terpisah oleh GoRiau, Selasa malam menjelaskan rangkaian persidangan sudah dimulai sejak awal Oktober 2019 lalu, mulai dari agenda dakwaan, pembuktian dengan mendengarkan keterangan saksi dan menghadirkan bukti surat, sampai dengan pledoi pada hari ini.

Andi mengatakan ada beberapa kekurangan dari JPU. Salah satunya, saksi ahli lingkungan sebagaimana yang terdapat dalam berita acara pemeriksaan terdakwa, tidak pernah dihadirkan di persidangan. Padahal yang seharusnya kehadiran saksi ahli sangat penting terutama untuk mendukung pembuktian dakwaan.

Andi membeberkan, dalam hal ini, perbuatan terdakwa dinilai JPU sudah melampaui baku mutu udara ambien dan baku mutu kerusakan lingkungan, karena dia membakar lahan yang dikelolanya untuk ditanami ubi, kacang panjang dan lainnya.

"Keterangan ahli yang tidak dihadirkan dan bukti surat tidak punya kekuatan hukum," ucap Andi kepada GoRiau.com.

Andi menuturkan, perbuatan terdakwa dalam membersihkan lahan tanah mineral yang dikelolanya, sesuai dengan kearifan lokal. Bukan tanah jenis gambut. Saat itu terdakwa juga sangat menjaga agar api tidak membesar, dengan cara membuat semacam sekat di lahan yang dibakarnya. Apalagi luasannya kurang dari 2 hektare.

Dimana dalam kondisi tersebut terdakwa membakar lahan hanya untuk bercocok tanam, yang hasilnya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

"Saya sampaikan selama proses penyidikan berlangsung, terdakwa tidak mendapatkan hak bantuan atau pendampingan hukum. Ini beda sama sekali dengan perusahaan yang disangka membakar lahan, jadi memang hukum itu tajam ke bawah," tegas Andi.

Untuk diketahui, peristiwa yang membawa Syarifudin ke permasalahan hukum itu terjadi sekitar bulan Maret 2019, Syafrudin saat itu membersihkan lahan mineral yang dikelolanya. Usai membersihkan tanah yang akan dipakai untuk bercocok tanam, Syafrudin menumpuk semak belukar dan kayu yang sudah dibersihkan, lalu membakarnya.

Dia pun membuat sekat agar api tak menyebar. Sambil menunggu, Syafrudin pun kembali ke rumah untuk melaksanakan shalat. Namun saat dia kembali untuk melihat ke lahan seluas 20x20 meter persegi yang dibersihkannya itu, dia pun kaget saat didatangi sejumlah polisi.

Saat itu Syarifudin langsung dibawa ke kantor polisi dan dilakukan penahanan, sementara ada 1 orang istri dan 6 anak yang harus ditinggalkan Syarifudin selama ia mendekam di sel tahanan. ***