JAKARTA - PSI (Partai Solidaritas Indonesia) menilai Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan melakukan kebohongan publik terkait pengelolaan air bersih di Ibu Kota.

"Pak Anies sudah menjabat sekitar 3 tahun 8 bulan, tapi persoalan air bersih jalan di tempat. Semuanya hanya janji-janji manis, tapi realisasinya nihil. Kami menilai Pak Anies telah melakukan berbagai kebohongan publik," kata Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, Eneng Malianasari dalam rilis yang dikutip GoNEWS.co, Jumat (11/6/2021).

Eneng merinci, kebohongan-kebohongan Anies tersebut adalah:

1. Anies akan memperpanjang kontrak Aetra hingga 25 tahun

Saat konferensi pers bersama Tim Evaluasi dan Tata Kelola Air Minum (11/02/2019), Anies memaparkan 3 masalah utama perjanjian air bersih antara Pemprov DKI dengan pihak swasta Aetra dan Palyja. Pertama, adanya hak eksklusivitas. Kedua, seluruh aspek pengelolaan air ada di tangan swasta, mulai dari air baku, pengolahan air bersih, hingga distribusi dan pelayanan. Ketiga, negara memberikan jaminan keuntungan 22 persen kepada swasta. Karena 3 masalah tersebut, Anies menegaskan akan segera melakukan proses ambil alih pengelolaan air bersih dari swasta.

"Kontrak dengan swasta akan berakhir Februari 2023 yang tinggal sebentar lagi, tapi sudah 2 tahun lebih Pak Anies tidak ada melakukan tindakan apapun untuk mengambil alih pengelolaan air bersih. Bahkan, tahun lalu malah akan memperpanjang kontrak dengan Aetra hingga 25 tahun. Ini adalah kebohongan yang nyata," ucap Eneng.

Rencana Anies ingin perpanjang kontrak dengan Aetra tersebut tertera di dalam Keputusan Gubernur nomor 891 tahun 2020 tentang Persetujuan Addendum Perjanjian Kerjasama Antara PAM DKI Jakarta dengan PT Aetra Air Jakarta yang ditetapkan pada 31 Agustus 2020. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengendus adanya potensi kecurangan atau fraud dalam rencana perpanjangan kontrak kerja sama itu.

2. Melakukan pembiaran terhadap mafia air bersih

Keberadaan mafia air bersih membuat rakyat kecil harus membayar mahal untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka membeli air dengan harga Rp9.000 - Rp12.000 per meter kubik, jauh lebih tinggi dari tarif rumah tangga resmi dari PAM Jaya (Palyja) sekitar Rp6.000 – Rp7.450 per meter kubik.

"Keberadaan mafia air bersih ini sudah menjadi rahasia umum, tapi kenapa seakan-akan dibiarkan oleh pemerintah? Selain itu, Pemprov DKI hanya menawarkan solusi jangka pendek dengan membuat depo yang menjual air lewat jerigen, bukan dengan membangun jaringan pipa distribusi untuk seluruh warga. Akibatnya, praktek mafia air tetap tumbuh subur," ujar Eneng.

3. Ogah membangun pipa distribusi SPAM Jatiluhur I

Di dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2017 - 2022 yang berlaku saat ini, Pemprov DKI akan membangun pipa distribusi SPAM Jatiluhur I menggunakan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Pipa tersebut akan tersambung dengan proyek SPAM Jatiluhur I di Kementerian PUPR yang berkapasitas 4.000 liter per detik untuk melayani 1,6 juta warga atau 15,15 persen kebutuhan air minum Jakarta.

Namun demikian, di dalam draf perubahan RPJMD yang diajukan ke DPRD, Anies melempar tanggung jawab pembangunan pipa distribusi SPAM Jatiluhur I ke pemerintah pusat. Alasannya adalah tidak cukup anggaran akibat terdampak pandemi Covid-19.

"Proyek pipa distribusi tidak pakai APBD karena dikerjakan melalui skema KPBU yang dibiayai oleh investor swasta, sehingga alasan Pak Anies itu mengada-ada. Bahkan, setahu saya, Pemprov DKI hingga saat ini sama sekali belum melaksanakan proses lelang KPBU, persiapan lelangnya pun tidak dikerjakan. Ini menunjukkan bahwa Pak Anies mangkir dari tanggung jawab dan sama sekali tidak peduli dengan persoalan air bersih," kata Eneng.

Sebelumnya, Kementerian PUPR menyatakan investasi proyek SPAM Jatiluhur I menelan biaya Rp1,7 triliun dengan masa kerja sama selama 30 tahun yang terdiri dari 2,5 tahun masa konstruksi dan 27,5 tahun masa operasi. Proyek ini digarap oleh Badan Usaha Pelaksana (BUP) PT Wija Tirta Jaya Jatiluhur yang dibentuk oleh konsorsium PT Jaya Konstruksi Manggala Pratama Tbk, PT Wijaya Karya Tbk, PT Tirta Gemah Ripah.***