JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengizinkan pembebasan terhadap terpidana kasus terorisme Ustaz Abu Bakar Ba'asyir. Meski mengapresiasi, PAN menyebut langkah tersebut merupakan upaya Jokowi raih simpati jelang pilpres 2019.

"Semestinya, pembebasan itu dilakukan sejak beberapa tahun lalu. Apalagi, Ustaz Abu Bakar Ba'asyir selama ini diketahui sering sakit-sakitan. Permohonan pembebasannya kan sudah lama. Namun baru sekarang dipenuhi presiden. Tentu itu niat dan tindakan yang baik yang perlu diapresiasi," kata Wasekjen PAN Saleh Partaonan Daulay kepada wartawan, Jumat (18/1/2019).

Meskipun demikian, Saleh mempertanyakan momentum pembebasan Ba'asyir jelang pilpres dan bukan sejak awal Jokowi menjabat. Menurut dia, permohonan soal pembebasan tersebut sudah ada di masa awal Jokowi menjadi presiden.

"Apakah hal ini benar-benar murni atas pertimbangan kemanusiaan seperti yang disampaikan Presiden Jokowi, atau ada alasan dan niat lain. Di tengah kontestasi pilpres yang cukup ketat seperti sekarang ini, hal itu bisa saja dipertanyakan," ujar juru debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno itu.

"Semoga saja pembebasan ini murni karena alasan kemanusiaan. Tidak dimaksudkan untuk meraih simpati dan dukungan dalam pilpres nanti," imbuh Saleh.

Kabar rencana pembebasan Ba'asyir sebelumnya disampaikan Yusril Ihza Mahendra setelah berkunjung ke LP Gunung Sindur. Yusril mengatakan, setelah bebas, Ba'asyir disebut akan tinggal di rumah anaknya yang berada di Solo.

"Pembebasan Ba'asyir akan dilakukan pekan depan untuk membereskan administrasi pidananya di LP. Ba'asyir sendiri minta waktu setidaknya tiga hari untuk membereskan barang-barangnya yang ada di sel penjara," ujar Yusril dalam keterangannya.

"Setelah bebas, Ba'asyir akan pulang ke Solo dan akan tinggal di rumah anaknya, Abdul Rahim," sambungnya.

Soal keputusan pembebasan Ba'asyir itu mendapat apresiasi dari PPP. Menurut Sekjen PPP Arsul Sani, keputusan tersebut sejalan dengan revisi-KUHP dan tidak terkait dengan pilpres.

"Dalam R-KUHP ajuan pemerintah, narapidana yang telah berumur 70 tahun dapat dilepaskan dari kewajiban menjalani hukuman pidana penjara yang masih tersisa. Pasal di R-KUHP ini secara prinsip telah disetujui fraksi-fraksi di DPR," terang Arsul.

"Artinya ketika pemerintahan Jokowi ajukan R-KHUP memang soal perikemanusiaan itu sudah didisain sebagai politik hukum. Jadi jangan nanti direspons sebagai langkah politik dalam rangka pilpres," tambah anggota Komisi III DPR itu.***