JAKARTA - Pengawasan wilayah udara NKRI, saat ini sudah seluruhnya tertutup dengan diintegrasikan dengan tiga sistem yang dimiliki pemerintah.

Hal tersebut diungkapkan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KASAU), Marsekal TNI Yuyu Sutisna saat menjadi salah satu narasumber acara Round Table Discussion Lemkaji MPR: Wilayah Negara dan Sitem Pertahanan dan Keamanan Menurut UUD NRI Tahun 1945 di Gedung Nusantara IV, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (2/7/2019) siang."Inilah yang kita miliki saat ini, pangkalan-pangkalan ke depan ada 15 pangkalan induk dan 27 pangkalannya sebagai penopang alutsista," ujarnya.Dirinya juga menjelaskan, persiapan alusista seperti pesawat tempur hanya bisa sebesar 43 persen, pesawat angkut sebanyak 53 persen, pesawat B 58 persen, pesawat tanpa awak 100 persen dengan kadar 90 persen, rudal sebesar 80 persen, dan terakhir senjata penangkis serangan udara sebanyak 33 persen.Hal ini kata Yuyu memang terkendasla dengan adanya anggaran yang diajukan pada 2019, tidak sepenuhnya terealisasi. Padahal menurutnya, anggaran yang diajukan sebesar Rp42,9 triliun, sementara yang terpenuhi hanya Rp14,3 triliun.Sehingga anggaran yang terealisasi hanya sebesar 33,36 persen saja. "Jadi kami harus betul-betul memanfaatkan atau mengatur anggaran yang ada. Mengutamakan alutsista tentunya kemudian belanja pegawai untuk penggajian dan seterusnya," ucapnya.Masih Kata Yuyu, Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), merupakan sistem pertahanan yang menyuruh untuk melindungi keutuhan dan kedaulatan NKRI sesuai dengan amanat Undang-Undang 1945.Kemudian kata dia lagi, pihaknya saat ini sedang fokus pada lima pokok agenda peperangan ancaman siber. Karena ancaman perang siber terhadap keutuhan NKRI kata dia, perlu adanya antisipasi menyeluruh. lima pokok agenda yang ia maksud adalah, pertama pihaknya akan memulai dengan mengetahui secara menyeluruh tentang makna cyber space atau ruang siber di wilayah NKRI."Ternyata di NKRI ini telah terbangun banyak infrastruktur pemerintah atau lazim dikenal dengan e-government atau juga adanya infrastruktur non pemerintah atau dikenal dengan jaringan pangan kesehatan atau industri. Saya berpandangan, setidaknya terdapat tiga lapisan konstelasi jaringan infrastruktur kritikal dan kompleks yang dikelola serta dipelihara operasional oleh banyak pihak dengan kepentingan yang berbeda beda," ujarnya.Kedua, keamanan siber bentuknya abstrak namun sejatinya dapat dijangkau dan dirasakan manfaatnya oleh semua lapisann. Selanjutnya adalah senjata siber bentuknya mungkin abstrak kasat mata namun dapat merusak jaringan infrastruktur kritikal di semua lapisan."Ketiga adalah pertahanan siber bentuknya suatu konsep strategis harus konkret apabila semua jaringan infrastruktur digelar maka dapat diketahui kebijakan pertahanan siber. Termasuk dari mana serangan siber datang? dapat diasumsikan seluruh ruang siber di bumi tanpa disadari telah tersadaf dalam wujud internet," tukasnya. "Namun demikian, serangan siber yang berlangsung dan yang kita hadapi saat ini, dari hasil pantauan BSSN tercatat pada tahun 2018 wilayah kedaulatan Indonesia mengalami sekitar 232 juta percobaan serangan siber yang terdiri dari 122 juta serangan," tukasnya.Selama bulan mei 2019 kata dia, jenis serangan siber yang dikategorikan trojan dengan indikasi penyebaran malware mencapai 1,9 juta serangan, disusul dengan kategori attempt yaitu semacam percobaan merebut untuk menjadi admin dalam suatu akun yang mencapai 1,1 juta serangan."Terkait ancaman siber sejatinya terdapat dua pola, yaitu serangan siber yang akan menyasar data atau sistem elektronik dengan resiko terganggunya sistem elektronik, tercurinya data atau informasi rahasia baik individu organisasi maupun perusahaan," jelasnya.Dan selanjutnya, peperangan siber yang berbeda terletak pada aktor pelakunya yakni kemungkinan diduga diinisiasi oleh aktor negata yang akan menyasar informasi dan infrastruktur kritikal negara. "Diantaranya adalah dengan resiko lumpuhnya sebuah negara," pungkasnya.***