JAKARTA - Kepemimpinan Partai Amanat Nasional (PAN) kedepan membutuhkan sosok pemimpin yang mampu menunjukkan profesionalisme dan konsistensinya dalam bersikap dalam dunia politik modern Indonesia.

Ketua Umum PAN kedepannya kalau masih dipegang salah seorang Pimpinan MPR RI maka akan mengancam profesionalisme dalam pengelolaan partai.

Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menanggapi akan bergulirnya perebutan kursi Ketua Umum PAN tahun 2020.

"Profesionalisme itu menghendaki satu sikap yang konsisten, jelas, tegas untuk menggawangi satu profesi. PAN membutuhkan profesionalisme," kata Ray kepada wartawan di Jakarta, Minggu (5/1/2020).

Sosok Ketum PAN kedepan menurut Ray merupakan figur sentral di internal yang diharapkan dapat menahkodai partai secara total dan tidak diganggu urusan di luar partai terlebih kontestasi Pemilu 2024 semakin dinamis.

Karena itu dia menyarankan Ketum PAN periode 2020-2025 sebisa mungkin tidak menjabat jabatan lain sehingga kalau ada yang sudah menjadi Pimpinan MPR RI maka lebih baik tidak menjadi Ketum PAN.

"PAN harus dikelola secara profesional, kalau mau jadi Wakil Ketua MPR ya ambil posisi itu saja, jangan juga jadi ketua partai," ujarnya.

Dia menilai, Ketum PAN kedepannya harus orang yang benar-benar berpikir bagaimana membesarkan partai, fokus perhatiannya tidak terbagi kepada hal-hal lain kecuali soal bagaimana meningkatkan kinerja mesin partai.

Berdasarkan data yang ada, di Pemilu 2014, dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 185.826.024, perolehan suara PAN yaitu 9.481.621 (7,59 persen). Parlementary Treshold saat itu 3,5 persen.

Lalu di Pemilu 2019, DPT berjumlah 192.828.520 sedangkan PAN memperoleh 44 kursi DPR RI, dengan jumlah suara 9.572.623 (6,84 persen). Parlementary Treshold sebesar 4 persen.

Ray mengatakan, fakta ada suara partai yang berkurang atau tidak, namun kebutuhan pengelolaan partai secara profesional merupakan sebuah keharusan.

Kalau profesionalisme itu tidak bisa diwujudkan, dia menilai konsentrasi pucuk pimpinan partai akan terpecah dan akan sulit meningkatkan kinerja partai dalam tiap momentum politik di tingkat nasional maupun lokal.***