JAKARTA - Santri Pondok Pesantren (Ponpes) Mambaul Ulum di Mojokerto, Ari Rivaldo (16), tewas pada 20 Agustus 2019 setelah menjalani hukuman dari seniornya yang berinisial WN (17) pada 19 Agustus 2019.

WN yang disebut-sebut memili kewenangan untuk mengawasi ketertiban santri, menganiaya korban karena kesal pada perilaku korban yang kerap keluar lingjungan pesantren tanpa izin. Luka di bagian kepala, menjadi bukti penganiayaan yang diterima korban, hingga akhirnya meregang nyawa.

Menanggapi hal itu, Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, apapun motifnya kekerasan fisik harus diproses secara hukum, "tidak ada alasan pemaaf,".

Kepada GoNews.co, Sabtu (24/08/2019), Fickar menjelaskan, apapun motif kekerasan yang terjadi di lingkungan pesantren harus diselesaikan secara hukum. "Apalagi menyebabkan kematian selain penganiayaan. Jika ada motif yang lain sangat mungkin mengarah ke pembunuhan,".

"Tetapi karena dilakukan oleh anak-anak yang belum (berusia, red) 18 tahun, maka ancaman hukumannya hanya separuh dari ancaman bagi orang dewasa," jelas Fickar.

Seperti diberitakan sebelumnya, dalam kasus ini Polres Mojokerto tengah memproses hukum dan menetapkan tersangka pada WN (17). Dari pemeriksaan polisi, didapati WN tidak berniat membunuh korban. Sehingga, dalam penetapan tersangka atas WN, polisi menerapkan pasal 80 UU RI nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 351 ayat (3) KUHP tentang Penganiayaan yang Mengakibatkan Korbannya Tewas.

"Pelaku tidak berniat membunuh korban, makanya pasalnya penganiayaan tapi mengakibatkan korban meninggal. Karena niatnya (membunuh) tidak ada," Kasat Reskrim Polres Mojokerto, AKP Muhammad Solikhin Fery kepada Detikcom.***