INDONESIA HIJAU. Jalal, seorang Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability menyebutkan bahwa dalam Laporan Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) paling mutakhir menyatakan, kita hanya punya waktu 12 tahun bila ingin bisa menjaga kenaikan suhu pada maksimal 1,5 derajat Celsius di tahun 2100.

Kalau di tahun 2030 kita tak bisa memotong emisi sebesar yang dipersyaratkan untuk mencapai tujuan itu, umat manusia bakal kesulitan untuk bisa membuat kondisi kehidupan yang baik. Disisi lain, kita kini hidup dalam cara yang trajektorinya mengarah pada kenaikan 3,2 derajat Celsius. Kondisi ini menjanjikan katastropik bagi peradaban manusia. Pertanyaannya kemudian adalah apakah kita semua akan membuat perubahan sedrastis dan secepat yang dibutuhkan untuk bisa menghindari kondisi yang sangat buruk untuk anak-cucu kita? Ataukah, seperti yang 'diramalkan' oleh sastrawan besar Kurt Vonnegut, kita cuma bakal menulis di batu nisan Bumi yang mati : 'We could have saved the Earth, but we were too damned cheap.'

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sedang merancang RPJMN 2020-2024 dengan bertemakan 'hijau', yakni, mengutamakan perencanaan pembangunan berkelanjutan, dengan menempatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan sumber daya alam sebagai bahan pertimbangan. RPJMN Hijau ini juga mendapat dukungan dari Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), yang dituangkan dalam Indonesia Vision 2050, yang merupakan hasil pertemuan anggota IBCSD dengan mengangkat tema "Dukungan Korporasi Dalam Penyusunan RPJMN 2020-2024".

Ini merupakan respon sektor swasta dalam menghadapi tantangan bisnis ke depan terkait dengan kerusakan lingkungan dan kelangkaan sumber daya alam. Intinya IBCSD sebagai perwakilan dunia usaha akan turut aktif berperan dalam RPJMN Hijau 2020-2024. IBCSD juga memastikan keterlibatannya dalam penyusunan rencana aksi nasional sebagai pelaksanaan dari Perpres 59 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, mengacu pada sasaran nasional. Struktur model yang dikembangkan di Bappenas masih dalam perhitungan sektor mana yang berpengaruh dan memiliki dampak besar terhadap SDA dan lingkungan, baik secara sektoral maupun lebih luas.

Skenario kebijakan ini akan bersifat aplikatif untuk daerah, misalnya di sektor energi, industri, lahan dan lain-lain. Sejak terbit Peraturan Pemerintah Nomor 46/2016 tentang Tata Cara Kajian Lingkungan Hidup Strategis sebagai dasar pembangunan berkelanjutan, maka Bappenas wajib menyusun KLHS khusus dalam RPJMN 2020-2024. Penyusunan ini tentunya perlu melibatkan berbagai lintas kepentingan terkait isu lingkungan, sosial dan ekonomi yang harus diintegrasikan dalam perencanaan dan kebijakan pembangunan. Untuk mewujudakan RPJMN 2020-2024 'hijau' ini Bappenas bekerjasama dengan IIASA atau International Institute for Applied Systems Analysis, yaitu lembaga penelitian di Austria dalam RESTORE+ Project.

Terkait dengan Restore+ di Indonesia, kegiatan yang dilaksanakan mencakup pengumpulan data melalui urun daya bersama masyarakat yang dikombinasikan dengan pemodelan tata guna lahan dan rantai pasok komoditas berbasis lahan. Tujuannya mengindentifikasi area dengan potensi restorasi dan pemanfaatan berkelanjutan serta implikasinya terhadap aspek produktivitas ekonomi, keragaman hayati, emisi gas rumah kaca dan dampak sosial lainnya.

Permasalahan Lingkungan di Provinsi Riau

Berdasarkan laporan Civil Society Organization (CSO) setidaknya ada 8 permasalahan lingkungan yang dihadapi Provinsi Riau yaitu: (1) Laju deforestasi belum dapat dikendalikan; Luas tutupan hutan Riau pada tahun 1990 adalah sebesar 5.446.007 Ha, dan terus mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Pada tahun 2017 luas tutupan hutan tersebut tinggal 1.412.982 Ha. Artinya selama 27 tahun terakhir laju deforestasi di Riau sebesar 4.033.025 Ha. (2) Luas lahan kritis terbesar ketujuh secara Nasional; hasil perhitungan tahun 2015 tercatat bahwa luas lahan kritis di Riau mencapai 4,79 juta ha; (3) Rendahnya Realisasi Perhutanan Sosial; realisasi Perhutanan Sosial (PS) baru mencapai 83.928,54 Ha atau hanya setara dengan 5,96 persen dari areal pencadangan seluas 1.407.630 Ha (4) Kejadian Karhutla setiap Tahun; Sejak tahun 2011 sampai tahun 2018 jumlah titik api di Provinsi Riau mencapai 61.280 titik, dengan luas lahan terbakar sebesar 17.035 Ha (5) Permasalahan Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG); Permasalahan khusus yang terjadi pada lahan gambut di Riau salah satunya adalah pemanfaatan untuk kegiatan industri, kehutanan dan perkebunan.

Terdapat 2,2 juta Ha atau 44 persen KHG telah dibebani izin, dimana fungsi lindung ekosistem gambut yang terbebani izin adalah sebesar 1.252.291,31 Ha, adapun fungsi budidaya yang terbebani izin adalah sebesar 949.688,47 Ha (6) Permasalahan Pertambangan; (7) Permasalahan Perkebunan dan (8) Permasalahan Konflik Pemanfaatan ruang.

Mencermati begitu banyaknya permasalahan lingkungan yang dihadapi Provinsi Riau saat ini, maka paralel dengan Bappenas, Pemerintah Provinsi Riau saat ini juga sedang merencanakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Hijau 2019-2024. Hal ini sesuai dengan Misi Ke Dua Kepala Daerah yaitu: Mewujudkan Pembangunan Infrastruktur Daerah yang Merata dan BERWAWASAN LINGKUNGAN. Berwawasan Lingkungan bertujuan Meningkatkan Kualitas lingkungan hidup, mitigasi bencana dan perubahan iklim. Selanjutnya, untuk mencapai tujuan tersebut perlu direncanakan strategi-strategi dalam 5 tahun kedepan di dalam dokumen RPJMD 2019-2024, yang mengarah pada suitanaible development.

Strategi Pembangunan Berkelanjutan Untuk Riau Hijau

Menurut A.H Rahadian, STIAMI, untuk menyusun strategi RIAU HIJAU setidaknya ada 4 komponen yang perlu diperhatikan yaitu pemerataan, partisipasi, keanekaragaman, integrasi, dan perspektif jangka panjang (1) Pembangunan yang Menjamin Pemerataan dan Keadilan Sosial; Pembangunan yang berorientasi pemerataan dan keadilan sosial harus dilandasi hal-hal seperti: meratanya distribusi sumber lahan dan faktor produksi , meratanya ekonomi yang dicapai dengan keseimbangan distribusi kesejahteraan. Aspek etika lainnya yang perlu menjadi perhatian pembangunan berkelanjutan adalah prospek generasi masa datang yang tidak dapat dikompromikan dengan aktivitas generasi masa kini. (2) Pembangunan yang Menghargai Keanekaragaman; Pemeliharaan keanekaragaman hayati adalah prasyarat untuk memastikan bahwa sumber daya alam selalu tersedia secara berkelanjutan untuk masa kini dan masa datang. Keanekaragaman hayati juga merupakan dasar bagi keseimbangan ekosistem. (3) Pembangunan yang Menggunakan Pendekatan Integratif; Pembangunan berkelanjutan mengutamakan keterkaitan antara manusia dengan alam. Manusia mempengaruhi alam dengan cara yang bermanfaat atau merusak. Dengan menggunakan pengertian ini maka pelaksanaan pembangunan yang lebih integratif merupakan konsep pelaksanaan pembangunan yang dapat dimungkinkan. (4) Pembangunan yang Meminta Perspektif Jangka Panjang; persepsi jangka panjang adalah perspektif pembangunan yang berkelanjutan. Untuk mewujudkan RPJMD Hijau 2019-2024, strategi yang ditempu tentunya adalah action plan strategy, yang mampu menuntaskan atau paling tidak mengurangi kerusakan lingkungan yang lebih parah lagi.

Beberapa strategi yang diusulkan CSO dalam mewujudkan RIAU HIJAU dalam 5 tahun kedepan antara lain: (1) Pengembangan skema insentif fiskal kepada Pemerintah kabupaten melalui bantuan keuangan berbasis ekologis untuk pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup; (2) Pengembangan satu data terpadu sebagai basis data dan informasi pemerintah daerah; (3) Peningkatan kualitas air, kualitas udara dan kualitas tutupan lahan; (4) Pengurangan Kerusakan lingkungan, memperluas konservasi dan restorasi gambut; (5) Peningkatan jumlah ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan; (6) Peningkatan peran serta masyarakat dan Desa dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan; (7) Peningkatan peran masyarakat dalam mengelola hutan dan lahan melalui fasilitasi penyiapan permohonan izin, pembinaan, akses permodalan dan pengembangan usaha; (8) Pengembangan kelembagaan penyelesaian konflik berbasis multi pihak di tingkat Provinsi Riau. Untuk mengejawantahkan strategi ini, maka perlu disusun Arah Kebijakan, Program dan Kegiatan lintas Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota terkait, sekaligus perlunya strategi mandatori anggaran dalam RPJMD Hijau 2019-2024. ***

Penulis: Rahmad Rahim. Ia merupakan Fungsional Perencana Madya - Bappeda Provinsi Riau.