JAKARTA - Mengambil Tema "Dengan Puasa Menahan Kebencian Memupuk Keberagaman". The Islah Centre bekerjasama dengan Fahmine Institute menggelar Refleksi Ramadan di Kampus Fahmina Institute Cirebon, pada tanggal 20 Juni 2017.

Dalam acara tersebut pihak The Islah Centre menghadirkan pembicara Dr Faqihudin Abdul Kodir, MA (Ketua Yayasan Fahmina Institute), Dr KH Hussein Muhammad (Pemimpin Ponpes Daru Tauhid Cirebon dan Pembina Yayasan Fahmina) Drs. Marzuki Rais (KPU Cirebon).

Acara ini dihadiri oleh sekitar 115 orang termasuk tokoh lintas Mazhab dan lintas Agama se wilayah tiga Cirebon diantaranya : Habib Sholeh Suaib (Tokoh Syiah Cirebon), Rosyidin (Ketua Pemuda Lintas Iman), Devida (Aktivis Fahmina Institute), Pendeta Yohanes, para pastur, biksu, dan lain-lain.

Dalam pemaparannya, salah satu pembicara yakni, Devida (Mantan Ketua Pemuda Lintas Iman) mengatakan, tidak hanya kaum muslim saja yang menjalankan ibadah puasa, bahkan yang beragama khatolik dan hindu budha juga melakukan ibadah puasa walau dengan aqidah dan cara yang berbeda-beda.

"Pada bulan puasa ini kita menjalankan ibadah bukan hanya menutup mulut dari makanan tetapi juga memupuk keberagaman dan menahan kebencian," ujarnya.

Sementara itu, Faqihihuddin Abdul Kodir, MA (Ketua Yayasan Fahmina Institute) menjelaskan, "dalam memupuk keberagaman, dalam berpuasa mungkin harus kita pikir lagi, seperti apa puasa kita hari ini, terlebih saat berpuasa saudara kita tertangkap OTT menerima uang 1 miliyar dari penguasa."

"Selama ini kita baru bisa meninggalkan puasa sebanyak 12 jam. Paska magrib kita makan secara berlebihan. Karenanya Ramadhan adalah momentum merefleksikan diri, meneguhkan nilai-nilai positif dalam masyarakat, temen-teman dan saudara-saudara kita yang sedang berjuang untuk keluar dari peperangan seperti yang terjadi di Suriah," tukasnya.

Masih kata dia, di negara-negara seperti Irak, Turki, Pakistan dan India, perbedaan mendapatkan tantangan ketika perbedaan dituntut untuk bisa menciptakan perdamaian dan saling menghargai.

"Termasuk konfik besar antara Qatar yang sedang dikucilkan oleh Saudi Arabia padahal dua-duanya Sunni, perbedaan pandangan politik membuat mereka bersitegang sampai saat ini," paparnya.

Saat ini lanjutnya, di negara lain dan dunia sedang saling berlomba untuk mencari perbedaan dan akhirnya mereka saling menjatuhkan. Diantara mereka saling tembak karena perbedaan misalnya negara Inggris, Perancis dan lain-lain.

"Banyak pihak yang mengatakan bahwa pemicu utama konflik adalah perbedaan agama, namun Karen Amstrong berpendapat bahwa kekerasan bukan hanya masalah agama. Namun karena dalam tubuh manusia terdapat gen kekerasan yang dikendalikan oleh agama. Kekerasan atas nama agama leih besar angkanya dibandingkan dari kekerasan non agama," tandasnya.

Selain agama, dominasi politik menjadi motif kekerasan antarnegara; bom di Jepang yang memporak porandakan kota Nagasaki dan Hirosima itu akibat dari imperialisme, penyerangan Amerika dan sekutunya atas Negara Irak yang telah menelan korban satu juta jiwa lebih adalah salah satu bentuk dominasi politik atas nama demokrasi dipakai banyak Negara untuk menyerang Negara lain.

"Artinya dalam tubuh manusia itu ada hawa nafsu atau syahwat, jika nafsu diberi kekuatan yang besar maka akan berdampak pada tindakan. Perbedaan agama bahkan perbedaan mazhab saja senantiasa menjadi masalah di tengah masyarakat kita, disinilah diperlukan kohesi sosial dan kebesaran hati, agar Ramadhan mampu menjaga syahwat dan nafsu," ujarnya.

Sementara itu, KH. Dr (Hc) Husein Muhammad berpendapat, perbedaan suku, agama, warna kulit dan bahasa adalah fitrah dari Allah agar manusia saling mengenal satu sama lain. Fitrah itu sama dengan proses alam semesta yang tidak akan berhenti keanekaragamannya.

"Secara individual ataupun social manusia akan tetap berbeda bahkan sampai hari kiamat. Sebagaimana perbedaan penciptaan langit dan bumi, siang dan malam yang merupakan tanda-tanda kebesaran Allah.Semua manusia adalah saudara, hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak boleh saling menyakiti, saling merendahkan satu sama lain, bahwa yang paling hebat adalah yang paling bertaqwa kepada Allah. Tidak boleh mendzolimi, mencacimaki, atau merendahkan," ujarnya.

"Cukuplah seseorang dikatakan sebagai orang jelek. Begitu orang merendahkan saudaranya itu sudah jelek. Tidak boleh saling melukai, menyakiti, dan merampas harta dan haknya sebagai gambaran dari ketaqwaan kita," lanjutnya.

Masih kata dia, manusia sering dibawa dalam kehancuran karena hawa nafsu. Karenanya, kita harus mampu mengendalikan diri kita sendiri. Musuh paling utama dalam kehidupam manusia musuh adalah hawa nafsu.

Apabila manusia masih mengobarkan permusuhan, kebencian dan perselisihan itu karena ketidak mampuan mereka dalam mengendalikan hawa nafsu. Lidah adalah kunci keselamatan manusia karenanya ada bahasa keselamatan manusia itu terletak bagaimana manusia itu mampu menjaga lidahnya.

"Orang yang banyak dosa adalah orang yang banyak berbicara yang tidak berguna. Karenanya lidah dihukum lebih berat dan lebih banyak dari berbagai bagian tubuh lainnya," tandasnya.

Ujaran kebencian kata dia, adalah salah satu contoh hal yang sering menjadi pemicu bahaya, bahkan pada level tertentu sampai menyebabkan perang. Peperangan yang terjadi di Irak salah satunya adalah karena ujaran kebencian yang senantiasa didengungkan oleh Amerika dan aliansinya.

"Penyebaran kata-kata bohong itu dapat mengahancurkan. Puasa menjadi momen penting untuk merenungkan diri sendiri agar puasa tidak hanya menahan lapar saja, tetapi mampu merasakan penderitaan orang lain. Muslim yang baik adalah orang yang tidak menebar fitnah, kebencian, menggunjing. Jaganlah kau merendahkan kaum lain, karena bisa jadi yang direndahkan lebih mulia dari kaum yang direndahkan," tutupnya.

Persoalan perebutan kekuasaan adalah persoalan yang sering memicu konflik ditengah masyarakat menurut Marzuki Raiz (KPU Kabupaten Cirebon) menjelaskan, untuk mendaptakan kekuasaan mereka menggunakan cara apapun.

"Dalam waktu dekat ini, 27 Juni 2018 kita akan melaksanakan pilkada serentak. Akan melakukan pilkada untuk memilih gubernur, walikota dan bupati," paparnya.

Biasanya ketika masa-masa kampanye, menjelang pemilihan banyak hal-hal negatif yang berseliweran yang tentu saja bisa menyebabkan perpecahan di tengah masyarakat.

Karena katanya, tidak ada jaminan apakah pilkada di tahun ini akan aman seperti tahun-tahun sebelumnya? Di Papua misalnya, rumah Ketua KPU dibakar, didaerah lain penyelenggara Pilkada juga masuk penjara.

"Di tingkat penyelenggara ada konflik karena ketidakpuasan calon, saling menjatuhkan satu calon dengan calon lain, dan yang paling mudah menyulut konflik salah satunya adalah persoalan agama," tukasnya.

"Kalau kita berkaca pada DKI Jakarta, sehingga pertarungannya sangat kuat dan yang dimunculkan adalah isu agama. Pasal 69 Undang-Undang 10 Tahun 2016 tentang pilkada serentak harus benar-benar dipahami untuk penyelenggaraan pilkada yang aman dan tertib," tandasnya.

Menghina seorang calon gubernur itu lanjutnya, tidak boleh baik dari agama dan golongan partai politik. Ini justru yang sangat marak di DKI Jakarta, Subang, Bogor, Bandung barat, Sukabumi, Cirebon Kota, Kabupaten, dan Tasik.

"Semoga pilkada benar-benar dipakai sebagai sarana untuk menjaring pemimpin tanpa harus melukai, menyakiti dan menghancurkan golongan yang lain. Padahal kita tidak pernah tahu akan dilahirkan dari suku apa dan ras apa, maka keragaman itu merupakan fitrah, karena itu sudah kuasanya Allah," harapnya.

Karena setiap mendekati pilkada isu politik menggelinding sangat panas masalah money politic membagi-bagikan uang, padahal dalam Undang-undang itu sudah ditetapkan untuk biaya kampaye tidak lebih dari 25 ribu rupiah per orang. Apabila terdapat hal demikian, yang artiya melanggar Undang-Undang yang sudah diteapkan maka akan dikenakan sanksi.

Memang dalam hal ini sudah menjadi budaya dan sulit untuk dihilangkan. Contohnya banyak beberapa okmun pendukung yang masih saja melakukan pelanggaran tersebut tetapi secara jelas terlihat dan terdapat bukti nyatanya maka itu bida dilaporkan kepada KPU dan BAWASLU selaku lembaga yang mengatur ketertiban Pilkada.

Perlu diketahui apabila oknum tersebut terbukt bersalah maka akan dikenakan sanksi baik itu berupa denda maupun sanksi penjara.

Dalam pasal 187 setiap orang dengan sengaja melanggar larangan kampanye akan dipenjara selama 3bulan/12bulan/ enda 600rb dan paling banyak adalah 1 juta.

Contoh kasusnya adalah mengarahkan tuna netra, untuk memilih salah satu calon dan diarahkan sampai pada proses pemilihan berhasil maka itu akan dikenakan sanksi yang berat. Oleh karena itu hal yang paling diutamakan dan paling mendasar untuk ketertiban dan kemaslahatan masyarakat Jawa Barat lebih baik untuk mengkampanyekan Pilgub secara damai.

Saya berharap tidak ada oknum penebar kebencian, menjatuhkan pasangan lain baik dalam ucapan maupun dalam media sosial. Dan dihimbau kepada para pemilih agar menjadi pemilih cerdas dan berhati-hati agar tidak salah memilih, para pemilih yang cerdas juga diharapkan tidak ikut-ikutan dalam melakukan ujaran kebencian dan tidak harus menjelek-jelekkan golongan lain atau calon lain.

Dan yang terakhir, menurut Direktur The Islah Centre, Jakarta, Mujahidin Nur, Isu agama dalam proses Pilkada selalu menjadi isu populis yang sering dipakai oleh politisi atau partai politik tertentu untuk melakukan penyerangan atau melemahkan calon lain yang menjadi lawan politiknya.

"Tipikal persaingan pilkada seperti ini sangat membahayakan karena bisa merusak konsensus sosial; persaudaraan, perdamaian, dan saling menghargai/menghormati satu sama lain yang sudah melembaga dan terbangun di tengah masyarakat kita," tandasnya.

Disamping kontestasi politik seperti ini bisa pada level tertentu bisa menyebabkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Salah satu tugas besar para agamawan paska Pilkada DKI menurutnya adalah, bagaimana mencairkan kebekuan politik antara dua kutub mainstream politik Indonesia ; Kekuatan Politik Pro-Pemerintah dan oposisi pemerintah yang selama ini ‘berbenturan keras’ dalam rivalitas Pilkada DKI.

Kebekuan politik ini terjadi salah satu penyebabnya adalah karena ketidakdewasaan para pemimpin dan politisi yang mempunyai kepentingan dengan Pilkada DKI beberapa waktu lalu.

"Karenanya, tren politik pada pemilu 2019 nanti tidak akan jauh berbeda dengan kontestasi Pilkada DKI beberapa bulan silam. Dibutuhkan komunikasi yang proporsional dan bermartabat untuk menuju rekonsiliasi nasional antara kekuatan oposisi pemerintah dan pemerintah untuk meminimalisir gesekan dua kekuatan ini dalam pemilu nanti," pungkasnya. ***