PEKANBARU - Anggota Komisi II DPRD Riau, Marwan Yohanis mengakui bahwa sosialisasi terkait dana hibah replanting untuk petani sawit di Riau masih sangat-sangat kurang, sehingga banyak masyarakat yang belum mendapatkan kesempatan ini.

Dikatakan Politisi Gerindra tersebut, ketika di awal-awal menduduki Komisi II yang membidangi perkebunan ini, dirinya baru mengetahui bahwa realisasi replanting masih minim, dia langsung turun ke lapangan melakukan sosialisasi.

"Ketika ada kesempatan reses dan sosialisasi perda. Saya selalu mengikutsertakan Dinas Perkebunan (Disbun) untuk menyampaikan itu. Saya bawa mereka ke daerah yang banyak sawit, seperti Pangean, Sentajo Raya, Benai, Kuantan Tengah. Camat rata-rata hanya tahu sekilas, Kepala Desa rata-rata tidak tahu, apalagi masyarakat," terangnya kepada GoRiau.com, Jumat (12/2/2021).

Dijelaskannya, di awal-awal program replanting ini, memang banyak melibatkan petani yang tergabung dalam Koperasi Unit Desa (KUD), yang notabenenya merupakan petani yang KPPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota).

"Saya sampaikan ke mereka, kalau tidak mau bekerja dan mendata, ambil saja data dari perusahaan itu, pakai itu saja. Makanya, periode awal-awal itu, yang dapat dana ini adalah Singingi dan Singingi Hilir," katanya.

Padahal, jika melihat objek utama replanting ini adalah kebun masyarakat yang dimiliki secara mandiri, misalnya yang punya kebun sawit sudah memasuki usia tua, bibitnya tidak bagus atau yang sudah berbuah tapi buahnya tak maksimal.

"Ketika saya sampaikan itu, masyarakat itu bilang, 'kalau kami tahu apa program seperti itu, kami juga mau pak', artinya kan memang sosialisasi belum masif," tuturnya.

Lebih jauh, Marwan melihat banyak aturan yang sudah dibuat pemerintah supaya program ini bisa terealisasi dengan baik, termasuk mempermudah persyaratan. Dimana, pengajuan bisa dilakukan jika satu kelompok tani punya lahan 50 hektar atas nama pribadi, ini tentunya sangat sulit dipenuhi.

Untuk periode ini, persyaratan diubah menjadi kepemilikan lahan 50 hektar yang berada dalam radius 10 hektar atau 1 Km. Sekalipun harus berbeda kampung maupun kecamatan masih bisa diajukan, boleh dibawah 50 hektar tapi anggotanya minimal 20 orang.

Kemudian, dari segi anggaran juga dilakukan peningkatan, dari yang semula Rp 25 juta perhektar menjadi Rp 30 juta perhektar.

"Apakah sudah ada yang mendaftar atau tidak, saya belum follow up karena dia daftarnya kan via online. Yang jelas kita sudah mensosialisasikan itu dengan Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), dan masyarakat yang punya kebun. Tujuannya, supaya mereka bisa mengerti dan paham," tambahnya

Legislator Dapil Inhu-Kuansing ini juga menyinggung pola pihak ketiga yang seperti dipaksakan, padahal seharusnya pola yang disarankan adalah pola swakelola, sehingga masyarakat bisa mendapatkan manfaat dari sana.

Dalam rapat terakhir membahas replanting ini, DPRD menemukan bahwa pengawasan untuk konsultan diserahkan ke daerah, dan dana untuk perjalanan petugas sangat tidak memadai.

Karena dana ini tidak maksimal, makanya petugas dianggap tidak bekerja, sehingga konsultan diberikan kepada pemerintah pusat

"Ketika ditarik ke pusat, biayanya menjadi jauh lebih membengkak dibandingkan dana sebelumnya, kalau dana ini diberikan kepada petugas yang di daerah, saya yakin mereka akan sanggup, jadi ini saya duga hanya akal-akalan supaya dana pengawasannya dikelola oleh pusat," tuturnya.

"Kalau waktu pengawasannya untuk petugas daerah, uangnya cukup ke Lipat Kain dengan tujuan ke Kuansing. Kalau uang yang dianggarkan untuk petugas dari pusat, anggarannya bisa sampai ke Inhil," tambahnya.

Dia menduga, karena pengawasan dari pusat, makanya program replanting ini kebanyakan memakai pola pihakketiga, dan yang namanya pihak ketiga tentunya ada kepentingan-kepentingan pribadi.

"Jangankan replanting, ketika ada pembangunan gedung sekolah, banyak kontraktor yang berlomba datang ke kepala sekolah untuk mengerjakan itu. Makanya, saya harapkan ini bisa dikerjakan secara swakelola, supaya uang lebihnya bisa dibelikan ke pupuk atau biaya hidup sampai kebunnya berbuah lagi," tutupnya.

Diberitakan sebelumnya, meski sudah digaungkan oleh Presiden Jokowi sejak beberapa tahun yang lalu, namun nyatanya program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) belum sesuai dengan yang sudah ditargetkan.

Bahkan, pada tahun lalu, capaian realisasi PSR hanya sekitar 9000 hektar saja, artinya hanya 40 persen dari yang sudah ditargetkan. Untuk tahun ini, pemerintah menargetkan 180 ribu hektar, dan untuk Riau ditargetkan 26.500 hektar. ***