BAGANSIAPIAPI - Kondisi ekonomi yang memprihatinkan ditambah lapangan kerja yang tidak seimbang mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat kota Bagansiapiapi. Selain isu merumahkan tenaga honor akan dirumahkan, juga berhembus terancam tutupnya usaha galangan kapal yang selama ini sudah mempekerjakan ratusan buruh lokal.

Masalah tutupnya usaha galangan kapal yang sudah dilakoni warga secara turun temurun mencuat setelah tim Diskrimsus Polda Riau melakukan penggerebekan ke sejumlah tempat penampungan kayu usaha galangan kapal yang berlokasi di Jalan Pembangunan, Pelabuhan Nelayan, Bagansiapiapi baru-baru ini.

Sejak peristiwa itu, tidak terdengar lagi bunyi mesin pembelah kayu di pinggiran sungai Rokan. Di lokasi itu hanya tampak kayu-kayu berserakan nyaris seperti daerah tak berpenghuni. 

"Kemana lah kami mau mengadu kalau galangan kapal tutup. Nanti kami mau makan apa, apakah anak-anak kami harus merampok!" keluh Asiah seraya mengingat suaminya sudah sepekan hanya berada di rumah sejak galangan kapal berhenti beroperasi. 

Berhentinya aktivitas usaha galangan kapal tidak hanya mendera bagi kaum buruh pembuat kapal. Dampaknya juga berimbas kepada buruh penarik kayu dan tukang masak di lokasi usaha galangan kapal. 

Seperti yang disampaikan Ruski (35), salah satu buruh penarik kayu yang mengutarakan kondisi keluarganya yang tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan pokok serta masa depan anaknya yang terancam tidak bisa melanjutkan sekolah. 

''Tempat kerja kami hanya satu-satunya di galangan kapal. Jika galangan kapal ini tutup apa yang mau kami makan dan menyekolahkan anak kami. Sebagai buruh, hanya pekerjaan ini  yang dapat kami lakukan,” tutur Ruski.

Dia mengungkapkan, bersama rekan sekerjanya mereka harus menelan pil pahit ketika melihat galangan kapal yang selama ini tempat mereka bergantung hidup harus tutup. Untuk beralih profesi lain, dirasakan tidak mungkin karena jangankan kebun sawit, rumah pun mereka menyewa. 

Keluhan yang sama juga disampaikan Jufri (26), yang bekerja sebagai tukang Kelong. Dirinya sudah sepekan ini tidak bekerja, karena tidak adanya bahan baku pasca razia. 

''Keluarga kami semua bekerja di galangan kapal ini, mulai gaji Rp 80 Ribu hingga Rp120 Ribu perhari,'' ujarnya.

Jika aktivitas galangan kapal tutup total, kata Jufri, mungkin penglihatannya bakal gelap. Dia tidak tahu kemana lagi arah tujuan untuk mencari makan sehari-hari. 

"Kami tidak memiliki kebun dan ladang, sementara tuntutan kebutuhan rumah tangga tiap hari terus mendesak, ditambah beban biaya anak-anak sekolah. Kami disini sebagai buruh kasar, jangan dipersulitlah, usaha galangan kapal ini sudah jadi tumpuan hidup kami sejak puluhan tahun lamanya,'' bebernya. ***