LAHIRNYA UU No 40 tahun 1999 tentang Pers di awal reformasi merupakan harapan besar bagi hidupnya independensi media sebagai pilar keempat demokrasi (fourth estate). Roh dan semangat undang-undang tersebut juga punya hakikat "melepaskan" pengaruh kekuasaan dari aktifitas pers.

Karena pers adalah pilar keempat demokrasi, maka pers dibutuhkan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh penyelenggara kekuasaan negara, karena itu diperlukan pers yang independen, bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun, termasuk pengaruh kekuasaan pemilik media.

Pengaruh pemerintah pada pers pada hakekatnya merupakan masuknya pengaturan apapun terhadap usaha pers oleh pemerintah seperti yang dilakukan di era orde baru, dimana pemerintah melalui Departemen Penerangan, bisa membuat "rambu-rambu" untuk gerak media.

Meski pers independen, namun sebagai bagian dari kehidupan bernegara, pers membutuhkan hubungan dengan kekuasaan tanpa ikatan formil. Artinya, hubungan legislatif, yudikatif dan eksekutif dengan pers hanyalah hubungan dalam kerangka menjalan demokrasi sesuai dengan tujuannya, bukan untuk mencapai tujuan bersama.

Menilik regulasi pers di era reformasi, hampir seluruh isi UU No 40 tentang Pers sudah menjamin independensi pers, baik dari turunan peraturan maupun organ yang mendukung. Sayangnya, dalam implementasi hubungan dengan pemerintah, ada "garis api" yang tersentuh terutama dalam dukungan pemerintah untuk finansial perusahaan pers yang dapat mempengaruhi independensi pers.

Dalam banyak institusi pemerintahan, terutama daerah, terbangun konsensus "kerjasama media" yang dianggarkan khusus dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Masuknya anggaran media sebagai satu pengeluaran daerah, pada hakekatnya adalah penyatuan tujuan antara pemerintah daerah dengan pers.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kerjasama adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang (lembaga, pemerintah dan sebagainya) untuk mencapai tujuan bersama.

Artinya, jika ada anggaran kerjasama media di APBD, maka ada tujuan bersama yang diharapkan dari anggaran yang diberikan. Dengan demikian, bisa saja fungsi pers sebagai alat kontrol pemerintah dari penyalahgunaan kekuasaan menjadi rancu dan hilangnya sebagian peran pers sebagai penyalur aspirasi rakyat.

Anggaran media dalam APBD jika dilihat dari independensi pers bisa menjadi ikatan yang membelenggu media untuk menjadi pilar keempat demokrasi. Karena itu, perlu penghapusan dan pencabutan mata anggaran tersebut dari anggaran pemerintah dan mengembalikannya ke pasar. Dalam arti, jika pemerintah memerlukan dukungan media untuk sosialisasi sebuah produk pemerintah, anggaran bisa dimasukkan ke dalam item kegiatan.

Sebaliknya dengan penghapusan anggaran kerjasama media dari APBD -- sesuai dengan UU No 40 tahun 1999 pasal 3 ayat 2, pers bisa menjalankan fungsi sebagai lembaga ekonomi, yang bisa membangun hubungan ekonomi tanpa mempengaruhi fungsi dan peran pers. ***

• Penulis adalah praktisi media, tinggal di Pekanbaru.