SELATPANJANG - Pakar lingkungan Dr Elviriadi SPi MSi menilai Pemerintah pusat dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK-RI) tidak memiliki perencanaan berbasis data dalam mengatasi Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla). Akibatnya, upanya mengatasi Karhutla tidak memberikan hasil maksimal.

Demikian diungkapkan Elviriadi ketika ditemui GoRiau, Minggu (10/7/2016) malam. Kata Elviriadi, Ia melihat pemerintah pusat dan KemenLHK tidak memiliki perencanaan berbasis data dalam mengatasi Karhutla. Apalagi Pemerintah hanya menggalakkan pembangunan sekat kanal, yang rupanya tidak cocok dalam penanganan Karhutla pada beberapa daerah di Riau.

Katanya lagi, beberapa waktu lalu Ia melakukan penelitian di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu). Di sana, jenis tanahnya Ombrogen, dan itu tidak memerlukan kanal blocking. Lalu, di Inhu ditarget akan dibangun ratusan sekat kanal, sementara parit yang bisa dibangun sekat kanal hanya sekitar 30-an.

Masih menurut Elviriadi, untuk parit yang akan diblocking, harus pula memperhatikan aliran air. Kalau parit yang airnya tidak mengalir sia-sia saja dibangun sekat kanal. "Aliran air disekat, itu yang membuat permukaannya naik. Kalau tidak ada aliran bagaimana bisa berfungsi maksimal," katanya.

Elvi juga menjelaskan, mengatasi Karlahut di tanah jenis Ombrogen ini bukan melalui sekat kanal. Tetapi harus banyak tanaman yang mengandung aluminium (Al) dan Iron (Fe) yang tinggi, seperti tanaman pakis. Sebab, apabila senyawa Al dan Fe berinterisaksi dengan lignin, ini akan melahirkan hemiselulosa.

"Di Inhu tidak cocok sekat kanal, tapi tetap saja dibangun. Ini menandakan mereka tidak memiliki perencanaan tentang kondisi tanah di Riau," ujar Elviriadi.

Elviriadi mencontohkan dalam dunia kedokteran, penanganan pasien tanpa melalui diagnosa yang akurat akan berdampak negatif. Bisa saja terjadi malapraktek yang menyebabkan pasien meninggal dunia. "Begitu juga kalau saya lihat penanganan Karhutla di Riau, semua daerah disamaratakan, harus dibangun sekat kanal. Itu artinya ada 12 pasien dikasih obat yang sama, sementara penyakitnya berbeda," ujarnya lagi.

Pakar lingkungan ini juga menyarankan kalau memang Pempus dan KemenLHK tidak memiliki perencanan berbasis data dalam mengatasi karhutla, mereka harus punya dan mengetahui data tentang luas gambut per kabupaten, statusnya apakah rusak ringan, rusak sedang, atau mungkin sudah rusal berat, petakan titik rawan terbakar, dan permasalahan lain tentang gambut.

"Kalau sudah ada data lengkap tentang lahan gambut di Riau, baru ada terapi yang tepat," kata Elvi juga.

"Akibat tidak punya perencanaan berbasis data dalam penanganan Karhutla itulah, makanya sampai hari saat ini masih ada kebakaran lahan. Jelas kan sekat kanal itu tidak berfungsi maksimal," tutur dosen UIN Suska Riau ini lagi. ***