PEKANBARU - Kepala Kejaksaan Negeri Pekanbaru, Riau, Idianto, pertanyakan dasar hukum dari surat edaran No 27/SE/2015, tentang optimalisasi penanganan perkara melalui pengadilan dan di luar pengadilan, hingga dalam tahapan penyelidikan dan penyidikan.

Hal tersebut jadi pertanyaan, pasca aksi seorang pejabat pemerintahan provinsi Riau yang menolak diperiksa sebagai saksi oleh penyidik, terkait pengusutan Tindak Pidana dugaan korupsi (Tipikor) kelebihan besaran silinder dua unit kendaraan dinas Gubernur dan Wakil Gubernur Riau. 

Saat itu, sang pejabat Pemprov Riau ini 'ogah' dimintai keterangan oleh penyidik, dengan modal 'memamerkan' surat edaran (SE) dari Plt Gubri tersebut. "Kita semua sama di mata hukum. Surat edaran itu dasar hukumnya apa," tanya Kepala Kejaksaan Negeri Pekanbaru, Riau, Idianto. 

Pada poin keempat dalam SE ini dibunyikan, dalam prosedur penanganan pidana, penyidik terlebihdahulu memberitahukan kepada kepala daerah sebelum melakukan penyidikan, kecuali kasus tangkap tangan, pidana dengan ancaman hukuman di atas lima tahun, serta sangkaan telah melakukan kejahatan negara.

Inilah yang kemudian menuai reaksi dari Idianto, karena dalam hal koordinasi pengawalan penggunaan APBD tidak berkaitan dengan tahapan penegakkan hukum, baik penyelidikan atau penyidikan. Proses penegakkan hukum berpegang kepada aturan dan ketentuan yang berlaku, bukan surat edaran. 

Dalam hal penegakkan hukum, sambung dia, kejaksaan akan berkoordinasi dengan inspektorat daerah. Ini juga berkaitan dengan proses perhitungan kerugian negara, jika itu dalam penyidikan dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor).  "Kalau koordinasi dengan inspektorat, iya," ungkap Idianto. 

Keberadaan surat edaran ini dikhawatirkan akan mengganggu proses penegakkan hukum di Riau. Meski begitu, Kajari menegaskan jika jajarannya tidak berpegangan pada surat edaran seperti itu, dan proses penegakkan hukum akan terus berlanjut.

Sebelumnya, Kejari Pekanbaru sedang mengusut dugaan tindak pidana korupsi pengadaan mobil dinas Gubri dan Wagubri, yang diduga tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2007, tentang standarisasi sarana dan prasarana kerja pemerintah daerah.

Adapun nominal total nilai kendaraan mewah tersebut ditaksir sekitar Rp4 miliar, dan sudah dibayar lunas. Namun belakangan ditemukan kelebihan besaran silinder, masing-masing 300 dan 1.300 CC. Diduga terjadi pemborosan anggaran akibat pengadaan kendaraan tersebut. ***