SEBAGAI upaya mencegah meluasnya wabah Covid-19, pemerintah mengijinkan daerah untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Aturan PSBB tertuang dalam PP No 21 tahun 2020 tentang PSBB Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), yang kemudian dibuat pedoman pelaksanaannya dengan Permenkes No 9 tahun 2020. Daerah yang telah memenuhi syarat tertentu, boleh mengajukan PSBB kepada pemerintah pusat. Saat tulisan ini dibuat, ada 18 daerah di Indonesia sudah mendapatkan ijin PSBB, yaitu 2 provinsi dan 16 kabupaten atau kota, termasuk Kota Pekanbaru di Provinsi Riau. Untuk level provinsi salah satunya provinsi tetangga Riau yaitu Sumatera Barat.

Kebijakan ekonomi pada masa wabah ini seharusnya mengikuti dan mendukung kebijakan di bidang kesehatan yaitu mencegah wabah Covid-19 meluas bahkan habis. Meskipun demikian, ekonomi bukanlah persoalan yang sederhana yang sekedar dikesampingkan saja selain kebijakan kesehatan. Tulisan ini membahas bagaimana persoalan ketahanan pangan rakyat jika kebijakan PSBB diambil oleh suatu daerah. Pembahasannya adalah terakit dengan strategi ekonomi jangka pendek menghadapi Covid-19, tidak membahas kebijakan ekonomi yang mendukung kegiatan produktif yang hanya dapat dilaksanakan pasca wabah Covid-19 selesai. Bagaimanapun, perekonomian tidak akan bergerak jika wabah Covid-19 ini masih merajalela.

Jika dilihat dampak ekonominya, wabah Covid-19 telah membuat perekonomian merosot melalui banyak jalur, seperti jalur permintaan masyarakat – jatuhnya permintaan produk oleh masyarakat dan ekspor, jalur produksi dengan turunnya produktivitas tenaga kerja akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengurangan jam kerja pada perusahaan-perusahaan, pabrik-pabrik, UMKM, dan sektor informal, sulitnya impor bahan untuk produksi, serta melumpuhkan jalur transportasi dan distribusi barang dan orang. Banyak sektor ekonomi termasuk di dalamnya yang tergolong UMKM, apalagi jenis usaha yang masuk kategori informal, yang jumlahnya sangat banyak, terhempas saat ini.

Persoalan sosial ekonomi yang muncul akibat wabah Covid-19, apalagi setelah terapnya PSBB, adalah persoalan menurunnya pendapatan masyarakat, yang menyebabkan turunnya daya beli. Artinya masyarakat menjadi tidak mampu membeli bahan kebutuhan sehari-hari. Jangankan membayar cicilan kredit atau utang, membeli beras saja sudah berat. Jika PSBB dilakukan dengan ketat agar dapat berhasil mencegah wabah meluas, maka mobilitas masyarakat makin terbatas, yang dapat semakin menyulitkan kondisi ekonominya. Persoalan ekonomi jangka pendek yang harus disiapkan strategi mitigasinya oleh pemerintah daerah, adalah kemampuan masyarakat mengakses bahan pangan khususnya bahan pangan pokok menjadi sangat lemah bahkan habis.

Meskipun sebagian masyarakat masih merasa aman-aman saja dari sisi pendapatan, yaitu pegawai negeri atau pegawai perusahaan yang kuat bertahan, namun tidak dapat diabaikan bahwa sebagian masyarakat lagi yang menggantungkan hidup dari usaha dan sektor informal dan UMKM yang kemudian tutup usaha, juga masyarakat yang bekerja di sektor formal yang kemudian diberhentikan. Di samping itu, persoalan pelik lainnya yang harus menjadi perhatian adalah ketersediaan bahan pangan itu sendiri, terutama jika daerah yang menerapkan PSBB bukanlah penghasil pangan yang cukup dan tergantung pada daerah lain, seperti misalnya beberapa daerah di Riau, selain Kota Pekanbaru yang sudah menerapkan PSBB, dan yang juga akan menyusul seperti Kota Dumai, Kabupaten Bengkalis, kemudian Kbupaten Kampar, Siak dan Pelalawan. Tiga kabupaten terakhir tampaknya cukup menjanjikan dalam ketahanan pangan, meskipun belum 100 persen aman. Secara keseluruhan, berdasarkan penjelasan Pemprov Riau pada rri.co.id pada 11 Maret 2019, stok pangan khususnya beras di wilayah Riau sebesar 70 persen didatangkan dari Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan, sehingga ketergantungan Riau pada daerah tetangganya terus meningkat. Ada uang tapi tidak ada barang, juga tetap mengkhawatirkan.

Beberapa kebijakan dari pemerintah pusat sudah ditelurkan seperti kemudahan pajak, bantuan langsung tunai pada Program Keluarga Harapan, kartu pra kerja, kebijakan relaksasi pembayaran kredit dan KUR untuk UMKM, keringanan biaya listrik, dan kebijakan-kebijakan makroekonomi, fiskal dan moneter lainnya. Di lapangan, kebijakan-kebijakan tersebut dikombinasi dengan kebijakan pemda yang bersifat spesifik dan jangka pendek. Terutama terkait penerapan PSSB, kebijakan ini perlu dikerjakan dengan fokus dan konsentrasi tinggi. Strategi pengamanan ekonomi rakyat dalam menghadapi masa PSSB di daerah ini adalah kombinasi dari perbaikan kemampuan beli masyarakat dan jaminan ketersediaan barang.

Berandai-andai untuk kondisi terburuk, dan bahkan umpamanya masa PSBB diperpanjang dan diperluas, apakah masih terjamin pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat? Pertama, pemerintah harus menjamin bahwa barang tersedia di daerah dengan PSBB, dan masyarakat mampu mengaksesnya. Kedua, pemerintah mengetahui data secara akurat seberapa banyak keluarga yang tidak mampu mengakses barang kebutuhan pokok, yang selama ini, data ini selalu bermasalah. Ketiga, pemerintah menyiapkan kebijakan dan anggaran yang cukup untuk keadaan terburuk – yang kadang dibelanjakan tidak efektif - untuk membantu masyarakat agar berkemampuan mengakses bahan kebutuhan pokok. Strategi ini tampak biasa, namun pada pelaksanannya bukanlah hal yang mudah, dan perlu fokus. 

Ketersediaan pangan, menjadi hal krusial karena beberapa daerah seperti Kabupaten Bengkalis, yang memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pangan yang berasal dari luar daerah. Meskipun Pemprov Riau dan Pemkab Bengkalis menjamin ketersediaan pangan sampai lebaran dan beberapa bulan ke depan, namun dengan kondisi psikologi masyarakat sedang buruk, penuh kekhawatiran, apalagi saat usaha dan pekerjaan hilang, pernyataan tersebut belum bisa menenangkan. Jaminan ini harus nyata di depan mata rakyat, dan aksi-aksi pemerintah yang tampak di lapangan sangat menentukan. Bagaimana jaminan ini dapat dipercaya jika harga-harga sudah mulai meningkat? Sebagaimana Seriau.com mencatat pada 4 April 2020, harga-harga sembako sudah merangkak naik. Atau isu-isu distribusi bahan pangan yang terhambat datang dan lain-lain yang dapat meresahkan.  

Kebijakan yang mungkin terlihat sederhana namun patut dipikirkan serius adalah pengadaan lumbung pangan di wilayah-wilayah misalnya desa, kelurahan, tingkat RW, atau bahkan pada komunitas tertentu. Lumbung pangan dapat diisi dan menyimpan bahan pangan utama yang tahan lama, seperti beras, minyak goreng, ikan kaleng, ikan asin, dan lainnya. Lumbung ini dikelola masyarakat, bukan individu, yang dapat diisi secara swadaya oleh masyarakat yang mampu, dan nanti dimanfaatkan pada saat krisis oleh semua masyarakat di wilayah tersebut termasuk yang tidak mampu. Pemda maupun Bulog juga dapat bekerjasama untuk membantu mengisi lumbung tersebut. Keuntungan adanya lumbung adalah secara langsung dapat mencegah lalu-lalang masyarakat antar daerah dalam mencari pangan, mengurangi keramaian di pasar, menghindari kumpulan orang berebut bansos sembako, bahkan dapat menenangkan psikis rakyat akan kekurangan pangan dan dapat mencegah inflasi. Saat ini dapat dimulai belanja pangan ke daerah yang masih surplus di dalam provinsi maupun ke Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan bahkan Jawa.

Dengan konteks keterkaitan ekonomi antar daerah dalam mendukung ketersediaan pangan, Gubernur Riau perlu mengambil peran yang besar dan sentral sebagai koordinator PSBB daerah kabupaten/kota di wilayah provinsinya. Gubernur dapat mengatur koordinasi hubungan daerah penghasil pangan dalam provinsi misalnya kabupaten Kampar atau Rohil, untuk mendukung ketersediaan pangan di Pekanbaru, Kota Dumai, kota Duri dan kota Bengkalis, atau lainnya. Gubernur dapat memperkuat jaminan distribusi luar daerah dengan menghubungi kepala daerah luar seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Ingat, bahwa tidak ada yang menjamin bahwa ego daerah penghasil pangan ini tidak akan tampil, yaitu dengan alasan penyelamatan rakyat daerah sendiri didahulukan, baru rakyat daerah lain, maka stok pangan tidak dikirim ke luar daerahnya, maka segala strategi pengamanan pangan perlu dilakukan sejak awal. Bahkan Gubernur, bisa melakukan negosiasi dengan luar negeri bila diperlukan, dengan kemungkinan meminta bantuan atau melakukan impor beras atau gula dari Vietnam, Malaysia, atau Thailand.

Kebijakan lain yang dapat diterapkan dengan cukup keras adalah melakukan karantina wilayah pada daerah atau desa khusus penghasil pangan pokok, agar jangan sampai tertular dan menjadi daerah pandemik Covid-19, sehingga tidak dapat berproduksi. Misalnya daerah Harapan Baru di wilayah Duri yang merupakan penghasil pangan di Bengkalis, atau sawah penghasil beras di Rohil, Siak, Pelalawan, atau Kampar.

Industri pengolahan bahan makanan, ikan, ayam dan lain-lain dijaga keberlangsungan produksinya semasa PSBB. Jamin keamanan pekerjanya dari penularan Covid-19. Mereka merupakan pahlawan level kedua setelah petugas medis, dan dapat dilengkapi dengan APD khusus untuk dapat bekerja memproduksi terus menerus. ***

Firmansyah, S.E., M.Si., Ph.D adalah dosen pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Diponegoro