''MAK lon due tah,'' ujar sopir mobil rental yang kami tumpangi di Pulau Sabang, Aceh, menjawab pertanyaan kami.

''Pak, kalau bahasa Aceh-nya ibu saya lapar, itu apa?''.

Pertanyaan itu kami ajukan karena ketertarikan kami mendengarkan percakapan sang sopir melalui telepon, yang selalu menggunakan bahasa Aceh. Berbeda dengan Bahasa Melayu misalnya, atau Bahasa Minang, yang relatif bisa difahami secara pasif karena sebagian besar kosa katanya sudah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia.

Menurut kami, bahasa Aceh punya keunikan tersendiri, karena kosa katanya umumnya berbeda dengan bahasa Indonesia.

Didorong ketertarikan itulah, secara spontan kami bertanya apa nahasa Acehnya, ''ibu saya lapar sekali''. 

Mak lon due tah, itulah yang perlu kami ucapkan untuk memberi pesan bahwa orangtua kami sedang lapar sekali.

Sekalipun terkesan iseng, dialog kami dengan sopir mobil rental tersebut menyisakan sebuah renungan tentang banyak hal, salah satunya seperti menguatkan kesadaran kami akan khasanah keberagaman yang Tuhan Yang Maha Kuasa anugerahkan kepada bangsa Indonesia.

Indonesia adalah negara dengan tingkat keberagaman yang sangat tinggi, bahkan tertinggi di dunia. Baik keberagaman dari sisi bahasa,  budaya, suku dan agama. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), seperti yang digunakan BPS pada saat pelaksanaan Sensus Penduduk (SP) pada tahun 2010, ada 1.158 bahasa daerah di Indonesia. Juga masih mengacu kepada SP 2010 yang dilakukan oleh BPS, tidak kurang ada 1.340 jumlah suku di Indonesia. Yang lebih unik, jumlah suku yang begitu banyak tersebut, tersebar di ribuan pulau yang ada di Indonesia.

Menurut BPS, tidak kurang dari 17.504 pulau yang ada di Indonesia, tersebar dari Merauke di timur sampai dengan Sabang di ujung barat. Keberagaman bahasa dan suku di Indonesia, ditambah dengan sebaran geografis kepulauan yang begitu luas, menjadi variabel utama munculnya beragam kultur dan budaya yang ada di Indonesia. Efek lanjutannya, Indonesia pun dikenal sebagai negara dengan keberagaman kuliner yang cukup tinggi.

Belum lagi keberagaman dari sisi bahasa dan suku ini, ditambah dengan keberagaman dari sisi agama, dimana secara resmi ada 6 agama yang ada di Indonesia.

Keberagaman yang begitu tinggi seperti ini tentu bukan perkara mudah untuk meramunya menjadi harmoni. Tidak sedikit  negara di dunia yang gagal dalam mengelola keberagamannya. Bahkan sebaliknya, keberagaman menjadi sumber pemicu konflik berkepanjangan di negara tersebut.

Konflik semenanjung Korea berujung pada pecahnya Korea menjadi 2 negara, perang saudara di Yugoslavia yang menyebabkan bangsa itu sirna dan terpecah menjadi beberapa negara, serta banyak sejarah konflik saudara lainnya di dunia, menjadi contoh bahwa keberagaman bisa menjadi sumber utama munculnya konflik besar di sebuah negara.

Sebagai bangsa, kita harus berterima kasih kepada para founding fathers Indonesia yang selama puluhan tahun berjuang meyakinkan para elit lokal di berbagai daerah di Nusantara, untuk mau meleburkan identitas primordial mereka ke dalam satu identitas bersama, Indonesia.

Proses dialog untuk mencari nilai bersama yang menyatukan Nusantara saat itu dimulai dari perjuangan melalui jalur pergerakan politik dan diplomatik yang ditandai dengan bermunculannya organisasi-organisasi kebangsaan di awal abad 20. Diawali dengan berdirinya Sarikat Islam pada tahun 1905, Boedi Oetomo pada tahun 1908, kemudian berlanjut dengan berdirinya Indische Partij pada tahun 1912, dan banyak organisasi pergerakan nasional lainnya. Proses pencarian identitas bersama itu mulai menemukan wujud nyatanya ketika para pemuda puluhan tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 1928, mendeklarasikan ikrar Soempah Pemoeda, bahwa mereka semua sepakat pada konsensus satu tumpah darah, satu bangsa dan satu bahasa, yaitu Indonesia.

Perjuangan untuk mengkristalisasi identitas bersama bernama Indonesia tersebut sampai pada puncaknya puluhan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1945 yang ditandai dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat.

Para founding fathers kemudian merumuskan tujuan bersama yang termaktub dalam naskah pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, para founding fathers bangsa pun merumuskan 5 nilai dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang selanjutnya dikenal dengan Pancasila.

Tujuan dan nilai berbangsa yang dirumuskan oleh para founding fathers ini terbukti efektif membimbing bangsa yang majemuk ini melewati etape-etape krusialnya pasca kemerdekaan. 

Tujuan dan nilai berbangsa itu seperti memberi warning kepada setiap kelompok anak bangsa di negeri ini, untuk tetap menjaga identitas primordialnya, tapi tetap dalam kerangka saling menghormati dengan ragam kelompok identitas yang lain, demi terwujudnya keharmonisan bangsa.

Maka, mak lon due tah bagi kami bukan sekedar belajar percakapan sehari-hari bahasa Aceh, tapi lebih dari itu, adalah momentum untuk mensyukuri kebesaran dan kekayaan bangsa ini, yaitu berupa kemajemukan yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Kuasa kepada bangsa ini, tetapi tetap terjadi harmoni dan kedamaian di dalamnya.

Bukankah itu pesan yang disampaikan Tuhan kepada hamba-Nya: ''Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal...'' (Quran; Surat Al Hujurat ayat 13).

Maka, jika seluruh anak bangsa ini, terutama pada jajaran pemimpin-pemimpinnya, komitmen dengan tujuan dan nilai-nilai dasar yang telah diletakkan oleh para founding fathers, keberagaman bangsa adalah kekayaan yang tidak perlu dikhawatirkan, bahkan bisa menjadi modal bagi Indonesia untuk menjadi negara yang kuat.

Pertanyaannya, apakah kita semua bisa terus berkomitmen dengan hal ini?. Semoga.***

Catatan:

Penulis sengaja mencantumkan simbol tanda tanya di akhir kalimat Mak Lon Due Tah pada judul tulisan ini, sebagai kesadaran penulis akan adanya kemungkinan salah ketik maupun ejaan atas tulisan tersebut.

Muji Basuki adalah statistisi di BPS Provinsi Riau.