PEKANBARU - Wartawan termasuk pihak yang berisiko terjerat Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Ancaman hukumannya sangat berat, yakni 5 tahun penjara dan denda Rp500 juta.

Karena itu, Komisioner Dewan Pers Asep Setiawan mengingatkan semua wartawan untuk mempelajari dan memahami serta menaati Peraturan Dewan Pers Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak.

''Dengan memahami dan mematuhi Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, mudah-mudahan teman-teman wartawan terhindar dari jeratan hukum ketika menulis beria tentang anak, terutama jeratan UU Peradilan Anak yang ancaman hukumannya sangat berat,'' kata Asep saat menjadi narasumber pada acara Sosialisasi Pedoman Pemberitaan Ramah Anak dengan tema ''Meningkatkan Kualitas Pemberitaan Media yang Ramah Anak'', di Hotel Novotel, Pekanbaru, Riau, Kamis (22/8/2019).

Dijelaskan Asep, UU SPPA Pasal 19 Ayat 1 berbunyi: Identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik. Sedangkan Ayat 2 berbunyi: Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak aaksi, nama orangtua, alamat, wajah dan hal lain yang dapat mengungkap jati diri anak, anak korban, dan/atau saksi.

Sanksi atas pelanggaran UU SPPA Pasal 19 Ayat 1 tersebut dicantumkan dalam Pasal 97, yang berbunyi: Setiap orang yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

''Berat sekali ancaman hukumannya, maka berhati-hatilah bila menulis tentang anak,'' ujar Asep.

Dalam pemaparannya Asep menampilkan di layar 12 poin yang termuat dalam Pedoman Pemberitaan Ramah Anak. Berikut ini rinciannya:

1. Wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberikan informasi tentang anak, khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.

2. Wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.

3. Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orang tuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.

4. Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.

5. Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.

6. Wartawan tidak menggali informasinya dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).

7. Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.

8. Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dan pelaku. Apabila identitas sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, diedit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkap.

9. Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapus.

10. Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait politik dan yang mengandung SARA.

11. Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) semata-mata hanya dari media sosial.

12. Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.bas