SYEKH Muhammad Mutawalli as-Sya'rawi (1911-1998), merupakan ahli tafsir Alquran abad 21. Ulama besar Al-Azhar ini termashur di dunia, bukan hanya karena ilmunya, namun juga karena kerendahan hatinya.

Dikutip dari Sindonews.com, berikut kisah tentang kerendahan hati Syekh Muhammad Mutawalli as-Sya'rawi, seperti diceritakan ustaz Miftah el-Banjary, pakar ilmu linguistik Arab dan Tafsir Al-Quran asal Banjar Kalimantan Selatan.

''Kisah ini saya dapatkan saat pertama kali datang di Mesir tahun 2006 lalu. Setiap kali majelis, beliau selalu ditayangkan di televisi Mesir hingga dihadiri ribuan orang jamaah yang datang dan tercengang mendengarkan penjelasan beliau tentang tafsiran Alquran yang unik dan mengesankan.

Pernah suatu ketika, setelah usai pengajian, seorang marbot masjid mendapati Syeikh Sya'rawi sedang membersihkan toilet masjid yang kotor. Hal itu beliau lakukan saat semua jamaah sudah pulang dan masjid sudah sepi.

Konon malam itu, si marbot masjid itu bukan main terkejutnya ketika mendapati ada seseorang yang membersihkan toilet di tengah malam. Ia pun mencoba mencari tahu siapa yang melakukan hal itu di tengah malam.

Manakala ia dapati Maulana Syeikh Mutawalli Sya'rawi, si marbot semakin kaget sekaligus penasaran. Bagaimana mungkin seorang yang sangat alim dan mulia mau melakukan hal yang bagi sebagian besar orang dipandang kotor dan hina? pikirnya.

Marbot itu dengan setengah berteriak dengan gaya khas orang Mesir bertanya, 'Ihda ya ammu syaikh! Fi eh? Bi ti'miel ih hadratak? Ada apa ini wahai paman Syekh. Ada apa? Mengapa Anda melakukan hal ini?'

Si marbot itu merasa malu, bahkan merasa sangat bersalah, sebab pekerjaannya yang kotor itu sampai diambil alih oleh seorang yang paling alim di Mesir saat itu.

Syeikh Sya'rawi hanya tersenyum. Agar si marbot tak merasa bersalah dengan tindakan yang beliau lakukan Syeikh Sya'rawi mengatakan: 'Bukan salah Anda. Anda tidak usah merasa sungkan. Saya melakukan ini untuk menebus kesalahan saya.'

'Tadi, ketika saya sedang mengajar jamaah yang sedemikian banyaknya, saya terbesit bahwa saya ini tampil sebagai seorang guru bagi mereka, saya merasa lebih berilmu, meski itu hanya sebatas lintasan persekian detik saja, saya langsung beristighfar'.

'Saya tidak akan membiarkan ada sedikit pun rasa kesombongan boleh terlintas dalam hati saya. Agar menyadarkan nafsu saya bahwa saya ini sesungguhnya bukan siapa-siapa, saya tidak memiliki kemuliaan, maka saya didik nafsu saya agar dia mau melakukan hal yang dianggapnya rendahan dan hina ini. Inilah cara saya mendidik hati saya.' Demikian kurang lebih jawaban menggetarkan dari seorang ulama sufi terkemuka abad ini.

Begitulah para ulama menjaga dan mendidik hati mereka. Pantas saja, Allah 'Azza wa Jalla memuliakan kedudukan mereka, Allah harumkan nama mereka, Allah berkahi ilmu mereka dan orang yang mempelajari kitab mereka sesudah mereka wafat. Meski ratusan tahun lamanya, tetapi tetap melimpah keberkahannya.

Di hati dan jiwa mereka terjaga dari sifat kesombongan dan merasa diri berilmu, meski itu hanya sekadar lintasan rasa. Allahu Akbar! Semoga kisah ini menjadi hikmah dan iktibar bagi kita.''***