SEBELUM memutuskan menjadi mualaf, Persephone Rizvi dikenal sebagai ratu pesta. Hampir setiap malam hingga pagi, dia membuang waktunya di kelab malam. Rizvi beruntung, karena Allah SWT memilihnya sebagai penerima hidayah, sehingga akhirnya dia mantap bersyahadat dan kemudian berhijab. Begini kisahnya.

Dikutip dari Viva.co.id, Rizvi menceritakan kisah perjalanan hidupnya menjadi mualaf melalui film dokumenter baru untuk BBC Three. Rizvi mengaku Islam telah menyelamatkan hidupnya.

''Saya sering membuat kekacauan ketika masih remaja. Akhir pekan saya lalui dengan berpesta. Akhir pekan saya dipenuhi dengan pemikiran kartu identitas siapa yang akan kami gunakan (untuk masuk kelab malam)? Pakaian apa yang saya kenakan? Bagaimana minuman alkoholnya, lalu siapa yang akan mengantar saya dan teman-teman ke kota?

Pesta-pesta itu akan berlangsung hingga pukul 04:00 atau 05:00. Setelahnya, pesta masih berlanjut di rumah hingga akhirnya saya bangun tidur dalam keadaan mabuk. Saya ingat pernah berkelahi dengan banyak gadis dan mereka menjentikkan rokok ke arah saya. Semua itu akhirnya terasa melelahkan. Saya harus mengubahnya. Mengonsumsi alkohol adalah cara saya menghadapi keadaan dan melewati pengalaman menguras emosi yang saat itu tidak saya pahami. Saya berjuang mencari tahu tujuan hidup saya, saya ingin menjadi lebih baik demi diri sendiri. Namun pada saat itu, saya tidak tahu apa yang saya lakukan. Saya kemudian menjadi seorang Muslim.

Saya bekerja di layanan call centre selama musim panas, tepat sebelum saya mulai kuliah. Salah satu rekan kerja saya yang bernama Haleemah adalah seorang Muslim. Saya berpuasa di bulan Ramadan bersama Haleemah. Itulah kali pertama saya mengenal Islam.

Awalnya, saya tidak berpikir untuk menganut agama. Saya berpuasa untuk menantang diri sendiri. Ego saya berkata, saya pasti bisa berpuasa 30 hari. Pada hari pertama berpuasa, saya masih berpesta dan minum alkohol, tetapi perilaku saya perlahan mulai berubah. Ada masa-masa ketika saya merasa, 'saya lebih baik dari ini, saya lebih berharga'.

Bulan puasa yang penuh pantangan itu ternyata mampu meredakan ego saya dan saya merasa bersyukur. Saya juga merawat diri, sesuatu yang sangat saya butuhkan pada saat itu. Itulah panggilan saya menuju Islam.

Saya tumbuh dewasa dengan menghadiri sekolah Minggu. Orang tua menginginkan saya dan saudari saya untuk memiliki pemahaman agama. Ayah saya adalah orang Inggris berkulit hitam, juga penganut Kristen yang rutin ke gereja. Ibu saya juga menginginkan agar kami memiliki pengetahuan mengenai keyakinan, namun mereka tidak memaksakannya. Sementara itu, tidak ada Muslim di keluarga saya.

Selama tahun pertama saya berkuliah, saya meneliti Islam secara serius dan mempertimbangkan untuk menjadi seorang Muslim. Saya bolak-balik dari kampus di Salford ke rumah orang tua di Huddersfield, tetapi mereka tidak menyadari seberapa besar minat saya pada Islam. Saya menyembunyikannya dengan baik sampai suatu waktu, saya masuk ke dalam rumah menggunakan hijab sambil berkata, 'Saya seorang Muslim sekarang!'

Orang tua saya terkejut sekaligus bingung, tetapi mereka tidak senang dengan keputusan saya saat itu. Mereka mempertanyakan pilihan saya, juga mencoba memastikan apakah keputusan itu tepat. Ayah saya berpikir saya terlalu bersemangat, dan ketika saya mengingat masa itu, saya memang tidak terlalu moderat. Saya ingin melakukan segalanya secara harfiah, namun tidak memahami interpretasi Alquran dengan benar. Saya ingin melakukan segalanya dengan keyakinan yang kuat.

Laki-laki tidak lagi mengganggu saya setelah memakai jilbab. Saya menyingkirkan banyak pakaian yang menurut saya tidak lagi pantas digunakan, mencopot kuku palsu, mengganti nama di media sosial, menghapus banyak foto yang tidak pantas, serta membuat akun Facebook baru sehingga tidak ada yang bisa melihat saya.

Saya sempat berpikir semua pakaian bergaya Barat itu haram. Saya tidak bisa berada di sekitar siapa pun yang mengonsumsi alkohol, saya juga enggan pergi ke tempat-tempat yang memungkinkan ada aktivitas seksual.

Saya sangat tertutup mengenai perjalanan spiritual saya pada saat itu, juga tidak suka ditanyai terkait hal ini. Sekarang, saya sudah menjadi lebih santai. Apabila seorang teman ingin minum alkohol, saya tidak akan protes, itu pilihan mereka.

Pada komunitas Muslim, orang memiliki pendapat dan batasannya masing-masing mengenai minuman beralkohol atau cara berpakaian. Saya bahkan mengubah gaya hijab saya demi menutupi bagian dada, terutama ketika akan ada banyak pria di sekitar saya. Saya bisa berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya tanpa ada pria yang menyetop saya.

Cara berpakaian saya dulu justru sering membuat pria menyetop saya. Dalam kurun 10 menit ketika berjalan kaki ke kampus, saya bisa berhenti hingga lima kali. Sekarang, para pria itu tidak lagi mengganggu saya. Saya tidak mengatakan keputusan itu salah, hanya saja itu terjadi secara singkat. Saya langsung melakukannya.

Saya sempat merasa teman-teman yang saya kenal tidak lagi cocok dengan dunia saya. Saya berjuang dengan gaya hidup tertentu sebagai seorang Muslim, sedangkan mereka tidak.

Saya masih kuliah ketika mengucapkan dua kalimat syahadat, kalimat penanda bahwa saya resmi menjadi seorang Muslim. Hal itu tidak saya rencanakan. Saya pergi ke Masjid Eccles di Salford membawa daftar pertanyaan kepada imam di masjid itu. Dia menjawab pertanyaan saya, kemudian berkata, 'ulangi setelah saya...'. Jadi saya membaca kalimat syahadat, kemudian imam itu mengatakan, 'selamat, Anda seorang Muslim sekarang!'

Di satu sisi saya merasa kewalahan, tetapi juga senang karena akhirnya melakukan itu. Komunitas Muslim juga sangat menyambut saya. Saya menemukan teman-teman terbaik melalui Islam. Mereka mengajarkan saya arti persaudaraan. Kami bisa berbicara apa adanya antara satu sama lain, kami jujur dengan kelengahan kami, juga saling menghibur saat menghadapi masa sulit.

Teman-teman saya adalah penguat saya. Saya juga memahami tidak ada yang lebih penting dibandingkan orang-orang yang kita pertahankan untuk berada di sekitar kita.

Dulu saya mencoba mengakhiri hidup saya. Gadis-gadis yang kita lihat melalui film, Twaheeda dan Reema, adalah orang-orang yang meyakinkan saya. Mereka mengingatkan saya sepanjang waktu bahwa tempat peristirahatan terakhir kita bukan di dunia. Jargon `hidup cuma sekali` tidak lagi masuk akal bagi saya apabila itu ditujukan untuk perilaku sembrono.

Saya memang tidak selalu melewati semuanya dengan benar. Beberapa kali saya kembali minum alkohol, terutama ketika kondisi mental saya menurun, tepatnya pada masa-masa awal saya masuk Islam. Tetapi, hal itu sudah tidak lagi terjadi dalam kurun waktu yang lama. Saya bisa menghadapi godaan itu dengan tekad untuk bangkit dan menjadi lebih baik.

Saya bahkan tidak harus berpikir dua kali untuk menghindari godaan. Kemungkinan untuk kembali ke gaya hidup yang lama sudah terasa sangat jauh. Bagi saya, tidak masalah meski saya belum menjalani semuanya dengan benar. Itu bukan berarti saya tidak berkomitmen pada agama saya.

Orang tua saya sangat suportif - beberapa kali mereka ikut berpuasa bersama saya. Mereka tidak lagi khawatir bahwa saya tidak menjadi diri sendiri. Setelah apa yang mereka lihat selama bertahun-tahun, saya masih menjadi diri saya sendiri.

Hanya saja, sekarang menjadi versi yang lebih baik. Saya menjadi lebih menghargai, lebih damai, lebih baik pada diri saya sendiri, juga sangat memahami dampak prilaku saya bagi orang lain. Ibu saya sepertinya juga menikmati tantangan baru dalam mencarikan pakaian yang pas bagi saya, yang tidak mengekspos tubuh. Dia sudah seperti penata gaya pribadi bagi saya.

Teman-teman Muslim saya bahkan tidak percaya bahwa pakaian yang saya gunakan berasal dari lemari ibu. Pakaian itu dibuat berlapis-lapis sehingga sesuai dengan kebutuhan berpakaian saya.

Saya sempat mengunjungi kembali Greenhead Park di Huddersfield, tempat di mana saya melalui masa-masa yang menyenangkan sekaligus sulit. Saya sempat mencoba mengakhiri hidup saya di taman ini, ketika kondisi mental saya sangat buruk. Kebiasaan mabuk telah membawa saya ke masa-masa gelap.

Hal itu terjadi setelah kejadian yang sangat buruk, ketika saya terbangun dengan keadaan telanjang di lantai dapur. Saat itu saya tahu saya harus berubah. Saya sering pingsan akibat terlalu banyak minum alkohol. Rasanya seperti di neraka. Itulah mengapa saya mengatakan Islam telah menyelamatkan saya.

Saya sekarang memahami cara terbaik untuk menghadapi masa-masa kelam itu. Saya tidak akan mencapai titik ini. Saya bisa berdoa serta menjaga kesehatan mental dan fisik saya jika bukan karena Islam.''***