"Oi dunsanak, kalau ada nampak jernang kasih tahu sama kami dan kalau kami nampak pohon gaharu, kami tunjukkan sama dunsanak."

Begitulah percakapan antara Hendrianto, warga Airbuluh Kecamatan Kuantan Mudik Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau dengan orang rimba atau suku anak dalam (SAD). Percakapan itu terjadi ketika Hendrianto masih berumur 17 tahun dan sedang mencari pohon gaharu di wilayah hutan lindung Bukit Tigapuluh.

Hendrianto muda tak begitu tahu dengan pohon jernang yang diburu oleh suku anak dalam (SAD). Mereka tak menjelaskan secara spesifik bentuk dan kegunaan dari jernang tersebut. Pengetahuannya hanya sebatas buah rotan yang berwarna merah.

"Saya mengetahui informasi jernang ini dari orang rimba dan mereka mencari itu di hutan," ujar Hendrianto kepada GoRiau.com mengenang kisahnya berkenalan dengan jernang, akhir Januari 2021.

GoRiau Hendrianto, Ketua KTH Bukik Hi
Hendrianto, Ketua KTH Bukik Hijau memperlihatkan buah jernang yang sudah dipanen dengan latar pohonnya. (foto: wirman susandi)

Tak lama setelah pertemuan dengan SAD, lanjut Hendrianto, ia menjumpai pohon jernang yang sedang berbuah lebat. Ingatannya langsung melompat ke masa lalu, ya orang rimba itu.

Untuk memastikan bahwa tumbuhan itu jernang, Hendrianto mengambil buahnya lalu digosokkan ke kuku. Alhasil, kukunya berwarna merah seperti kena inai. "Benar, ini jernang."

"Saya cari mereka lalu saya tunjukkan arahnya. Saat itu, saya diberi upah tunjuk sebesar Rp10 ribu," ujarnya.

Hendrianto penasaran dengan jernang. Ia kepo. Lalu, bertanya sama mereka terkait pemasaran dan kemana mereka menjual jernang.

"Oi dunsanak, jernang ini kemana dijual? Mereka menjawab, di Dharmasraya ada toke yang membeli," kata Hendrianto menyampaikan percakapan dengan SAD.

Mendapat informasi itu, Hendrianto mencoba menghubungi kawan-kawannya yang ada di Dharmasraya dan bertanya dimana toke jernang. Dari situ, ia mengetahui beberapa orang toke yang siap menampung dengan harga fantastis.

"Saya kaget, harga resin jernang sangat mahal," kata Hendrianto.

Setelah mengetahui toke jernang, Hendrianto masih punya PR yang harus diselesaikannya. Yakni, cara mengambil resin buah jernang. Karena itu, ia terus berkomunikasi dengan SAD sambil diam-diam mempelajari ilmu pengolahannya.

Tak butuh waktu lama bagi Hendrianto untuk belajar. Ia melihat, SAD memiliki alat semacam keruntung yang terbuat dari anyaman rotan. Kemudian, buah jernang dimasukkan ke wadah tersebut, lalu dipukul-pukul dari luar.

"Saya pelajari mengolah jernang, kalau seperti itu, dari botol plastik pun bisa nih. Saya coba dan berhasil," ujar Hendrianto. Kendati demikian, Hendrianto tetap membuat wadah pengolahan dari rotan yang dianyam.

Hidup di sekitar kawasan hutan lindung Bukit Betabuh dan saban hari keluar masuk hutan, ternyata Hendrianto tak jua menguasainya. Wajar, saat itu kawasan hutan lindung Bukit Betabuh luasnya ratusan ribu hektare.

Karena itu, Hendrianto minta petunjuk kepada salah seorang kakek di Airbuluh. Namanya Yunus. Di tahun 1960-an, ia sudah mencari jernang di kawasan hutan lindung Bukit Betabuh. Saat itu, harga resin jernang senilai Rp15 ribu per Kg-nya.

"Saya tanya, dimana saja lokasi pohon jernang ini. Kemudian, saya catat dan buatkan petanya," kenang Hendrianto.

GoRiau Satu unit alat berat sedang me
Satu unit alat berat sedang merambah hutan lindung Bukit Betabuh.(foto: LAMR Kuansing)

Bermodalkan itu semua, Hendrianto memulai perburuan. Tepatnya sekitar tahun 2001. Ia keluar masuk Bukit Betabuh, mengikuti petunjuk dari sang kakek bernama Yunus.

"Setelah buah jernang terkumpul, saya olah. Kemudian, resinnya ini saya bawa ke toke di Dharmasraya. Ternyata memang laku," ujar Hendrianto. Saat itu, dirinya tak mengetahui kegunaan dan manfaat dari jernang ini. Ia hanya tahu bahwa getah jernang punya nilai jual tinggi.

"Sejak hari itu, saya cari terus. Senin sampai Jumat saya masuk hutan, terus Sabtu saya olah. Hari itu juga, toke dari Dharmasraya datang membeli kesini. Hanya sekali saya antar, setelah itu mereka yang jemput," kata Hendrianto.

Ternyata, banyak toke yang memburu jernang kepada masyarakat. Bahkan, kata Hendrianto, para toke berebut menjemput jernang ke Airbuluh.

"Dulu Hp tak ada. Sekarang pun sinyal tak ada. Jadi, setiap Sabtu toke datang ke sini. Mereka sudah tahu, kalau kita punya jernang," tutur Hendrianto.

Sejak saat itu, jernang menjadi sumber perekomian Hendrianto. Bukit Betabuh memberinya kehidupan.

Pernah, suatu ketika ia bersama dua orang temannya mencari jernang. Mereka menemukan satu pohon jernang dengan berat kotor lebih dari 50 Kg. Setelah diolah dan dijual, masing-masing mereka mendapatkan bagian sebesar Rp1,7 juta.

"Akhir 2018, saya pernah jual dengan harga Rp4,8 juta per kilogram-nya. Kalau sekarang, harganya Rp2,5 juta. Ini disebabkan pandemi Covid-19. Kata toke, barang tak bisa diekspor," katanya.

Dalam masa pencarian jernang di belantara Bukit Betabuh, jalan Hendrianto tak selalu berjalan mulus. Bertemu binatang buas adalah hal biasa. Bahkan, ia pernah tersesat. Tapi, hal itu tak menyurutkan niatnya untuk mencari jernang.

"Mau bagaimana lagi, ini mata pencarian saya," katanya.

Dari hasil jernang, Hendrianto mampu menghidupi keluarganya. Bahkan, ia bisa menjamin pendidikan empat orang anaknya. Saat ini, anak yang paling tua sedang duduk di bangku kelas XII SMA setempat.

Jernang merupakan tanaman sejenis rotan yang merambat di antara pepohonan. Buahnya seperti buah salak, bersisik dan terlihat kemerahan. Sebenarnya, warna merah tersebut adalah lapisan getah yang menutupi kulitnya. Getah ini disebut resin.

Di luar negeri, resin ini disebut dragon blood. Berdasarkan penelusuran GoRiau.com, dragon blood digunkan untuk bahan kosmetik, pewarna dan bisa juga untuk obat-obatan.

Jernang yang tumbuh di Bukit Betabuh ada dua jenis. Yakni, jernang jantung dan jernang beruk. Sejak adanya KTH, jernang Aceh pun mulai dibudidayakan. Dari tiga jenis jernang tersebut, petani menyatakan jernang jantung yang terbaik.

Hendrianto hanyalah satu di antara ratusan masyarakat Airbuluh yang bergantung pada jernang. Setidaknya, ada enam kelompok tani hutan (KTH) yang eksis di Desa Airbuluh. Setiap kelompok beranggotakan 30 orang.

GoRiau Potret udara pembalakan liar d
Potret udara pembalakan liar di kawasan hutan lindung Bukit Betabuh tahun 2017. (foto: wirman susandi)

Sejak tahun 2016, Hendrianto dibawah binaan Yayasan Hutanriau sudah membentuk kelompok tani hutan. Salah satunya KTH Bukit Hijau. KTH Bukik Hijau semakin berperan aktif dalam menjaga hutan lindung Bukit Betabuh, ketika Airbuluh ditetapkan sebagai daerah Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2019.

Dalam beberapa tahun terakhir, KTH yang ada di Airbuluh sudah melakukan pelestarian terhadap jernang di kawasan Bukit Betabuh.  Setiap KTH memiliki areal seluas 50 hektare. Yayasan Hutanriau menargetkan total areal yang akan ditanam jernang seluas 1.500 hektare.

Mereka mulai melakukan pencarian anakan jernang hingga penyemaian. KTH kesulitan dalam mendapatkan bibit jernang. Satu-satunya sumber bibit adalah anakan di hutan. Karena ingin bibit yang banyak, KTH mencoba menyemai.

"Awalnya. buah yang kami semai, delapan bulan baru tumbuh. Kalau sekarang sudah tahu caranya dan dalam dua minggu sudah tumbuh," ujar Hendrianto. Hal itu tak terlepas dari sentuhan Yayasan Hutanriau.

Upaya Yayasan Hutanriau bersama KTH untuk melestarikan jernang tak berjalan mulus. Persoalan utama yang mereka hadapi adalah pembalakan liar. Ya, aksi pembalakan liar sudah lama terjadi di Bukit Betabuh.

Para pelaku menggunakan alat berat dan masuk dari wilayah Sumatera Barat. Kegiatan ilegal loging ini tak hanya membabat hutan, tapi juga secara otomatis merusak jernang.

"Pernah, jernang yang kami tanam itu dicincang di pohon yang tumbang. Mungkin mereka berpikir itu mengganggu. Padahal, kami sudah memberikan penjelasan bahwa jernang jangan diganggu, karena ini sumber kehidupan kami," ujar Hendrianto.

Konflik antara KTH dan pembalak liar sudah beberapa kali terjadi. Pada awal November 2018, pondok milik KTH Bukik Hijau dibakar orang tak dikenal. Kuat dugaan, pondok tersebut dibakar oleh pelaku illegal logging. Sebab, ada sebuah pesan yang dituliskan di sandaran bangku. Pesan itu berisi ancaman.

Maraknya aksi pembalakan liar membuat Bukit Betabuh kehilangan 'tuah-nya'. Seharusnya, kawasan ini menjadi rumah yang nyaman bagi hewan langka, seperti harimau dan hewan yang dilindungi. Kini, Kerajaan si raja hutan semakin sempit.

Berdasarkan SK Menhut 73 tahun 1984, luas hutan lindung Bukit Betabuh mencapai 82.300 hektare, kini hanya tinggal 25.000 hektare. Dalam empat dekade terakhir sudah habis 57.300 hektare akibat pembalakan liar.

Sebagian besar, kawasan tersebut disulap menjadi perkebunan kelapa sawit. Umumnya, perkebunan ini dikuasai oleh para cukong.

GoRiau Kepala DLHK Riau, Makmun Murod
Kepala DLHK Riau, Makmun Murod bersama Melki Rumania dari Yayasan Hutanriau dan Kepala UPT KPH Singingi, Abriman saat panen jernang di Airbuluh, 26 Januari 2021. (foto: wirman susandi)

Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau, Makmun Murod menyatakan komitmennya untuk membantu masyarakat dalam mengamankan kawasan hutan.

"Menjaga hutan lindung adalah tugas kami. Kami tidak akan tinggal diam, kami akan menyusun strategi dalam mengatasi persoalan ini," ujar Murod saat panen jernang di Airbuluh, 26 Januari 2021. Pada kesempatan ini, Murod didampingi Kepala UPT KPH Singingi, Abriman.

Dikatakan Murod, illegal logging bukanlah persoalan yang mudah. Dalam penanganannya perlu dilakukan secara terintegrasi, dengan melibatkan berbagai unsur, terutama pihak hukum.

"Persoalan ini sangat berat, karena melibatkan berbagai oknum, sehingga penanganan harus terintegrasi, tidak hanya kehutanan. Tapi, kita akan melibatkan unsur pihak hukum, supaya ada pembelajaran kepada pelaku," papar Murod.

Dinas LHK Riau mengapresiasi Yayasan Hutanriau bersama KTH yang memiliki kesabaran dalam melindungi kawasan Bukit Betabuh, yakni dengan menanam jernang.

"Kami sangat mengapresiasi para petani hutan. Dengan menanam jernang, hutan dijaga dan masyakat menikmati hasilnya," kata Murod.

Dalam UU Cipta Kerja, lanjut Murod, hutan lindung harus bersih dari segala macam gangguan. Karena itu, pihaknya akan berupaya untuk menangani persoalan illegal logging di Bukit Betabuh.

Kini, masyarakat menanti aksi dari Pemerintah Provinsi Riau. Mengingat, setiap hari selalu terjadi pembalakan liar.***

Catatan: Redaksi melakukan perubahan judul dari semula 'Jernang Mekar di Kala Bukit Betabuh Tak Lagi Bertua' pada 22 Februari 2021, pukul 10.03 WIB