SUKSES penyelenggaraan dan prestasi olahraga Indonesia meraih posisi empat besar pada Asian Games Jakarta-Palembang 2018 patut mendapat acungan jempol. Sayangnya, kesuksesan itu ternoda oleh kasus Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK) terhadap Sekjen KONI Pusat, Ending Fuad Hamidy, Jhony Awuy (Bendahara), Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora, Prof Mulyana dan sejumlah pejabat lainnya terkait dana hibah Kemenpora.

Ya, noda hitam untuk kesekian kalinya kembali menghiasi dunia olahraga. Kasus besar pernah terjadi pada tahun 2014 yang melibatkan Menpora Andi Alfian Mallarangeng. Di kasus korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Bogor, Andi Mallarangeng divonis empat tahun.

Munculnya kasus OTT KPK ini menjadi sejarah kelam untuk pertama kali melibatkan petinggi KONI Pusat. Di bawah kepemimpinnan Tono Suratman yang menjabat selama dua periode kepengurusan 2011-2014 dan 2014-2019 itu terjadi. Kedua pejabat yang setia mendampinginya menjadi "korban". Ending Fuad Hamidy divonis hukuman 2 tahun 8 bulan dan denda Rp 100 juta subsider 2 bulan kurungan dan Johnny dengan hukuman 1 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp 50 juta subsider 2 bulan kurungan di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Perlu dicatat juga di bawah kepemimpinan Tono Suratman berbagai persoalan muncul. Yakni, adanya dualisme organisasi tenis meja yakni PB PTMSI dan PP PTMSI yang tak kunjung terselesaikan. Yang lebih parah lagi, organisasi ini malah terbelah menjadi 3 setelah KONI Pusat menggelar Munaslub PTMSI yang digelar KONI Pusat di Hotel Twin Jakarta, bulan lalu.

Hasil Munaslub PTMSI yang mendapat protes keras beberapa Pengprov PTMSI dengan tindakan Walk Out dari ruang sidang setelah ditetapkannya Peter Layardi sebagai calon tunggal. Calon lain Turmin tidak bisa mengikuti Munaslub PTMSI karena diganjal persyaratan.

Kini, KONI Pusat kembali disorot pengurus cabang-cabang olahraga (PB/PP) dengan adanya upaya calon tunggal Ketua Umum KONI Pusat periode 2019-2023 pada Musyawarah Olahraga Nasional Luar Biasa (Musornaslub) KONI yang rencananya digelar di Jakarta, 2 Juli 2019 mendatang.

Hal itu bisa dilihat melalui persyaratan yang ditetapkan KONI Pusat lewat Tim Penjaringan dan Penyaringan. Dengan adanya ketentuan setiap bakal calon harus didukung 10 KONI Provinsi dan 21 PB/PP, praktis hanya Marciano Norman yang mengantongi 26 KONI Provinsi lah yang berhak maju. Sedangkan calon lain Muddai Madang hanya mendapat dukungan 8 KONI Provinsi meskipun dukungan dari PB/PP telah memenuhi persyaratan dipastikan terganjal.

Soal calon tunggal ini, Sekjen PB WI, Ngatino sudah mengingatkan agar Tim Penjaringan dan Penyaringan mau memberikan kesempatan pada bakal calon lain untuk menghindari adanya aklamasi pada Musornaslub seperti yang terjadi pada Musornas KONI di Papua 2014 dimana Tono Suratman sebagai calon tunggal.

Apa yang diimbau Ngatino mestinya mendapat perhatian Tono Suratman. Apalagi, ketiganya sudah mengabdi terhadap dunia olahraga Indonesia. Yakni, Marciano Norman (mantan Ketua Umum PB TI), Muddai Madang (Wakil Ketua Umum KOI), dan Hendarji Supandji (Mantan Ketua Umum PB Forki). "Soal siapa yang terpilih biarkan lah seluruh anggota KONI Pusat yang menentukan." Itu pesan Ngatino.

Tak ada salahnya memang Hendarji Supandji diberikan tempat apalagi dia pernah menjabat Wakil Ketua Umum KONI Pusat pada era Rita Subowo. Begitu juga Muddai Madang yang pernah menjabat sebagai Ketua KONI Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) selama dua periode.

Kini muncul pertanyaan kok bisa pengurus KONI Pusat di bawah kepemimpinan Tono Suratman dan Tim Penjaringan dan Penyaringan sepertinya tidak memberikan perlakuan khusus kepada kedua bakal calon ketua umum ini? Apakah sudah lupa peran keduanya membesarkan KONI Pusat.

Apakah mereka sudah tidak lagi mengingat sepak terjang Muddai Madang dalam membangun prestasi olahraga di Sumatera Selatan dan mensukseskan penyelenggaraan PON di Palembang 2004 yang merupakan gawean KONI Pusat.

Atau peran Muddai Madang mendorong Gubernur Sumsel Alex Nurdin membangun kompleks olahraga Jakabaring Sport Centre (JSC) yang bisa digunakan untuk event nasional dan internasional. Begitu juga dengan perannya mensukseskan penyelenggaraan SEA Games Jakarta-Palembang 2011, Islamic Solidarity Games (ISC) 2013, dan Asian Games Jakarta-Palembang 2018.

Harusnya, Tono Suratman bangga dengan adanya keinginan Hendarji Supandji dan Muddai yang mau meneruskan perjuangannya dengan kembali mengabdi kepada KONI Pusat untuk membangun prestasi olahraga Indonesia ke depan. Dengan adanya lebih dari satu calon, otomatis peserta bisa memilih yang terbaik, baik program maupun upaya dan strategi dalam menghimpun dana dalam membangun prestasi olahraga Indonesia.

Tantangan ke depan itu cukup berat karena pemerintah sudah menetapkan sasaran prestasi bukan lagi SEA Games tetapi lebih memprioritaskan Asian Games dan Olimpiade. 

(Azhari Nasution/Wartawan Gonews Group) ***