JAKARTA - Kebijakan lockdown (mengunci wilayah) yang dilakukan Pemerintah Italia, ternyata belum mampu menahan laju kematian akibat virus corona di negara itu. Buktinya, dalam 24 jam terakhir angka kematian akibat Covid-19 di Italia mencapai 889 orang.

Dikutip dari kompas.com, total korban meninggal akibat terinfeksi virus corona di Italia hingga Sabtu (28/3/2020), sudah mencapai 10.023 orang.

Korban meninggal akibat virus corona di Italia mencapai lebih dari 10.000 orang, meski sudah menjalani lockdown selama 16 hari.

Pemerintah Italia mempertimbangkan memperpanjang masa lockdown yang seharusnya berakhir pada Jumat pekan depan (3/4/2020).

''Apakah ini waktu yang tepat membuka kembali negara? Saya kira kami harus memikirkannya secara matang,'' kata kepala perlindungan sipil, Angelo Borrelli.

Dilansir AFP Sabtu (28/3/2020), Borrelli mengatakan, saat ini pihaknya harus bisa membatasi seminimal mungkin pergerakan untuk menyelamatkan banyak nyawa.

Italia sempat berharap bahwa tren wabah virus corona bakal menurun setelah angka kematian harian melambat pada 22 Maret lalu.

Tetapi pada Jumat (27/3/2020), mereka membukukan 969 kematian, menjadi jumlah tertinggi yang dicatat Roma, membuyarkan asa negara itu.

Pada Sabtu malam waktu setempat, Perdana Menteri Giuseppe Conte menyatakan bahwa warga harus siap jika diminta di rumah lebih lama.

''Jika mereka memahami, tentunya mereka tidak akan terburu-buru ingin kembali memulai hidup normal,'' kata Conte dalam pidato yang disiarkan televisi.

Usulkan Utang Bersama

Ekonomi yang mulai melemah karena perjuangan melawan virus corona membuat para pemimpin Eropa terjebak dalam diskusi bagaimana menyikapinya.

Negara-negara Benua Biru di kawasan selatan, yang paling terdampak wabah Covid-19, meminta Uni Eropa menanggalkan bujet finansialnya.

Salah satu organisasi terkuat dunia itu sudah melonggarkan dompetnya. Manuver yang tidak terlihat sejak krisis finansial global pada 2008-2009.

Tapi Conte berargumen itu belum cukup. Dia mendapat dukungan dari Spanyol, dengan pemerintah Perancis juga mendorong argumen tersebut.

Mereka mengusulkan Uni Eropa untuk mengeluarkan ''obligasi corona''. Yakni bentuk utang bersama untuk mengumpulkan uang guna memenuhi kebutuhan warga.

Namun, usulan untuk membentuk utang bersama-sama mendapat pertentangan dari Belanda serta, negara yang mempunyai anggaran kuat.

Conte mengatakan, dia dan Kanselir Jerman Angela Merkel tidak saja berbeda pandangan. Tetapi mereka ''bertengkar'' pekan ini mengenai implementasinya.

''Jika Eropa tidak bangkit untuk menyikapi tantangan ini, maka mereka bakal kehilangan raison d'etre (alasan untuk eksis) di hadapan rakyatnya,'' tegas Conte kepada Il Sole 24 Ore.

Titi Kritis

Zona Eropa diprediksi bakal memasuki resesi dalam beberapa bulan mendatang. Tetapi, Italia terancam menghadapinya lebih dulu setelah menutup hampir semua bisnis pada 12 Maret.

Sejumlah prediksi menyebut Negeri ''Pizza'', negara dengan ekonomi terbesar ketiga di zona pengguna euro, bosa mengalami kontraksi tujuh persen pada tahun ini.

Produk Domestik Bruto (GDP) negara itu sempat menyusut 5,3 persen pada 2009, Conte memperingatkan para pemiimpin Eropa di ambang bahaya jika melakukan ''kesalahan tragis''.

''Saya mewakili negara yang paling menderita, dan saya tidak bisa menunda-nunda,'' tegas PM yang menjabat sejak 1 Juni 2018 tersebut.

Otoritas kesehatan menuturkan, jumlah mortalitas karena Covid-19 bisa bertambah karena ada panti jompo yang tak melaporkan jika ada yang meninggal.

Belum lagi jumlah mereka yang meninggal di rumah. ''Ini sesuatu yang berbeda dari krisis 2008. Kami berada di titik kritis dalam sejarah Eropa,'' tutupnya.***