TEKNAF - Sungai Naf, pemisah Myanmar dan Bangladesh, jadi saksi bisu kisah horor Arafa, 25, wanita Muslim Rohingya, yang berhasil melarikan diri ke Bangladesh. Wanita muda Rohingya ini mengaku kehilangan anaknya yang baru berusia delapan tahun karena dilempar ke kobaran api oleh tentara Myanmar saat kekerasan terjadi di negara bagian Rakhine beberapa waktu lalu.

Di sebuah gubuk di kamp pengungsi darurat di Bangladesh, tak jauh dari Sungai Naf, Arafa dikelilingi satu anak lelaki dan empat anak perempuannya. Anak-anak Arafa begitu berisik, namun pemalu. Mereka bersembunyi di balik punggung ibunya, dan sesekali keluar masuk gubuk tempat mereka mengungsi.Arafa lantas bercerita tentang kisah yang dia alami kepada TIME di pengungsian. Dia sejatinya, memiliki enam anak. Namun, pada malam di pekan terakhir November lalu, anak keduanya jadi korban kebrutalan tentara Myanmar.Menurut Arafa, anaknya yang dilempar ke kobaran api oleh tentara Myanmar baru berusia delapan tahun. Dia masih ingat, pada 22 November, desanya diserang oleh pasukan keamanan Myanmar atau dikenal sebagai Burma. Keluarga Arafa dianggap sebagai imigran ilegal dan hak-hak kewarganegaraan ditolak oleh negara Myanmar. Komunitas Rohingya pernah jadi korban kekerasan oleh kelompok ekstremis Buddha dan pasukan keamanan Myanmar pada tahun 2012, di mana para aktivis HAM menyebut menyatakan banyak korban tewas dan sekitar 125 ribu orang mengungsi.Kali ini, katar Arafa, serangan militer Myanmar terasa berbeda. Para pasukan keamanan terlihat lebih bertekad, lebih mendorong, untuk menghukum warga Rohingya. Senjata pilihan mereka adalah api.Arafa melanjutkan, militer Myanmar membakar desanya. Saat api melalap rumahnya, dia hampir berhasil melarikan diri dengan enam anaknya. Tapi, seorang tentara Myanmar menyambar anak keduanya yang memisahkan diri dari saudara-saudaranya. Anak itu lantas dilemparkan ke kobaran api.Dalam kekacauan itu, Arafa kehilangan pandangan terhadap suaminya. Tapi, dia tidak bisa kembali ke rumahnya. Dia harus meninggalkan suaminya di belakang, serta meninggalkan tubuh anaknya yang hangus dan terus berlari dengan kesedihan tak terkira.”Saya harus menyelamatkan anak-anak saya yang lain. Kami harus melarikan diri (dari Myanmar),” katanya kepada TIME. ”Mereka membakar segalanya.”Selama dua hari, Arafa dan anak-anaknya bersembunyi di hutan-hutan di tepi sungai di perbatasan Myanmar. Dia merunduk serendah mungkin untuk menghindari deteksi pasukan Myanmar sebelum naik perahu reyot melintasi Sungai Naf yang membawa mereka ke tempat yang aman ke Bangladesh.
Keluarga Arafa tidak sendirian. Ada sekitar 21 ribu warga Rohingya yang yang telah mengungsi di Bangladesh selama dua bulan terakhir. Pengungsian besar-besaran nyaris sinkron dengan bukti citra satelit yang ditunjukkan kelompok-kelompok HAM terkait kekerasan yang dilakukan tentara Myanmar.Kekerasan ini terjadi tak lama setelah sembilan polisi Myanmar tewas ketika tiga pos perbatasan diserang orang-orang bersenjata. Pemerintah Myanmar menyebut pelaku serangan adalah kelompok ekstremis Aqa Mul Mujahidin. Meski kesaksian warga Rohingya dan bukti citra satelit dibeberkan kelompok-kelompok HAM, pemerintah dan militer Myanmar tetap menyangkal tindakan kekerasan itu.“Berita yang keluar menunjukkan bahwa situasi sudah sangat dekat dengan apa yang kita semua akan setuju bahwa itu adalah kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata pelapor khusus PBB tentang HAM di Myanmar, Yanghee Lee.“Kami melihat banyak dari grafis dan foto serta video klip yang sangat mengganggu,” katanya kepada TIME, yang dikutip semalam (12/12/2016). Dia mengaku belum dapat memverifikasi bukti-bukti kekerasan itu secara independen, karena pemerintah Myanmar menutup akses ke Rakhine.”Kami mendengar tentang pemerkosaan dan kekerasan seksual, dan bahkan mayat anak-anak kecil ditemukan,” ujar Lee. ”Kami tidak dapat memverifikasi jumlah berapa banyak yang telah tewas. (Berapa) banyak yang bersembunyi.”