JAKARTA – Pimpinan Polri diduga mengetahui sepak terjang faksi mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.

Dikutip dari Kompas.com, dugaan tersebut diungkapkan Penasihat Ahli Kapolri Bidang Keamanan dan Politik, Muradi, dalam program Back To BDM di Kompas.id, seperti dikutip pada Jumat (16/9/2022).

Dituturkan Muradi, kemungkinan para pimpinan Polri menganggap kelompok polisi yang dikendalikan oleh Ferdy Sambo alias geng Sambo itu dianggap sebagai dinamika di internal Polri.

Sebab menurut Muradi, Polri juga membutuhkan sumber pendanaan di luar yang sudah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mendukung operasional dan organisasi.

''Kalau saya dari beberapa kali menangkap (pernyataan), mereka (pimpinan Polri) tahu,'' kata Muradi.

Isu tentang keberadaan faksi yang diduga dikendalikan Sambo di tubuh Polri muncul bersamaan proses penyidikannya dalam kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.

Menurut Muradi, Polri sejak berdiri sudah memanfaatkan cara untuk mendapatkan dana di luar yang sudah ditetapkan dalam APBN untuk operasional organisasi.

Pola yang sama, kata Muradi, juga diterapkan di tubuh TNI.

Selain itu, menurut Muradi, pendanaan operasional atau kegiatan Polri yang di luar APBN biasanya dipasok dari divisi yang mempunyai pemasukan besar, seperti Korps Lalu Lintas atau reserse.

Muradi mengatakan, kemungkinan besar Sambo dan sejumlah anak buahnya juga menangani pendanaan di luar APBN. Selain itu, lanjut dia, kegiatan yang dilakukan oleh Sambo dan kelompoknya dinilai harus terbuka dan diketahui pimpinan dan bukan digunakan untuk memperkaya diri.

''Tapi kan pada akhirnya kemudian kalau saya prinsip utama dari organisasi kan 2. Selama pendanaan digunakan untuk organisasi, bukan untuk memperkaya diri, bukan untuk membangun bargaining, daya tawar politik, yang ini saya kira enggak ada masalah,'' ujar Muradi.

''Yang kedua, dana itu kemudian digunakan hanya untuk hal-hal yang sifatnya kontingensi,'' lanjut Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran itu.

Muradi mengatakan, kasus Brigadir J digunakan oleh pihak lain untuk membongkar tentang kelompok yang diduga dipimpin Sambo.

''Itu yang terjadi kasus FS. FS ini kan kasus misalnya ramai pembunuhan Brigadir J, itu stimulasi saja. Karena sebenarnya sudah ada masalah jauh sebelum itu. Karena dominan sekali, faksi ini dominan sekali,'' ujar Muradi.

Bahkan menurut Muradi, pihak yang membocorkan soal diagram tentang kaitan sejumlah polisi yang termasuk dalam faksi Sambo yang dijuluki ''Kerajaan Sambo" atau "Konsorsium 303'' justru datang dari internal Polri.

''Data itu kan bukan diambil dari orang luar. Orang dalam. Data, diagram, itu dari dalam. Jauh sebelum itu saya dapat. Saya merasa kenapa internal merespons, karena sudah jauh sangat-sangat dominan di dalam,'' papar Muradi.

Dalam kasus pidana pembunuhan itu, Brigadir J tewas akibat sejumlah luka tembak di rumah dinas Ferdy Sambo, di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta, pada 8 Juli 2022 lalu.

Di awal pengungkapan kasus, Polri sempat mengatakan bahwa Brigadir J tewas akibat baku tembak dengan Bharada E atau Richard Eliezer.

Kemudian, setelah dilakukan penyidikan, ternyata terungkap bahwa skenario baku tembak adalah rekayasa yang dibuat Sambo.

Hasil penyidikan tim khusus Polri mengungkapkan Brigadir J tewas ditembak Bharada Richard atas perintah Ferdy Sambo.

Sejumlah anggota Polri juga diduga terlibat melanggar etik terkait penanganan kasus Brigadir J.

Beberapa di antaranya diputuskan dipecat melalui sidang komisi kode etik profesi (KKEP).

Polri telah menetapkan 5 tersangka pembunuhan berencana, termasuk Ferdy Sambo.

Empat tersangka lain adalah Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu (ajudan Sambo), Bripka Ricky Rizal, Kuat Ma'ruf (asisten rumah tangga sekaligus sopir Sambo), dan Putri Candrawathi.

Para tersangka dijerat kasus pembunuhan berencana yakni Pasal 340 juncto 338 juncto 55 dan 56 KUHP dengan ancaman hukuman pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun.***