JAKARTA - Ketua Fraksi PAN DPR RI, Saleh Daulay menilai DPR perlu melakukan kajian mendalam sebelum menyatakan menerima atau menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker).

Menurut Saleh, Perppu Cipta Kerja berisi banyak pasal sehingga dibutuhkan waktu lebih lama untuk mempelajarinya.

"Setiap produk Perppu, tentu perlu mendapat persetujuan DPR, untuk itu perlu ada kajian. Masing-masing partai akan membahas dan memberikan pandangannya, dan pada akhirnya DPR boleh menyatakan menerima atau menolak," kata Saleh di Jakarta, Senin (3/1/2022).

Dia menjelaskan Perppu tersebut baru diterbitkan pada 30 Desember 2022 sehingga dirinya belum tuntas mempelajarinya secara mendalam.

Menurut dia, ada dua hal penting yang harus didalami terkait Perppu tersebut yaitu apa menjadi ketentuan baru dan apa perbedaannya dengan UU Ciptaker yang sudah disahkan.

"Nanti baru bisa membandingkan apa yang sudah baik, yang perlu disempurnakan, yang perlu dilengkapi dengan aturan turunan, dan seterusnya," ujarnya.

Selain itu menurut dia, pemerintah harus menjelaskan kepada publik terkait sifat kegentingan yang memaksa terkait terbitnya Perppu Ciptaker tersebut.

Saleh menilai pemerintah perlu menjelaskan apakah betul bahwa resesi ekonomi global bisa dijadikan sebagai pertimbangan untuk menyebutkan adanya kegentingan yang memaksa.

"Pihak yang menerbitkan perppu adalah pemerintah sehingga harus menjelaskan soal kegentingan. DPR dan masyarakat adalah bagian yang ikut untuk menilai soal kegentingan tersebut," katanya.

Saleh menjelaskan dirinya mendapatkan informasi bahwa Perppu Ciptaker dikeluarkan untuk menggugurkan keputusan MK yang mengatakan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat.

Menurut dia, pemerintah harus menjelaskan hal tersebut, apa benar dengan keluarnya Perppu Ciptaker maka status inkonstitusional bersyarat jadi hilang.

"Bagaimana kalau nanti setelah berubah jadi UU, lalu dilakukan uji materi ke MK, lalu diambil keputusan yang sama? Kalau ini para ahli hukum dan tata negara yang bisa menganalisi dan berkomentar," ujarnya.***