JAKARTA - Dalam rangka refleksi pasca 25 tahun ratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA), ECPAT Indonesia bersama Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA), JARAK, Rumah Faye dan Gugah Nurani Indonesia mengadakan Konferensi Nasional dari tanggal 20-22 November 2016 di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta.

Dalam kesempatan Konferensi Pers (20/11) hadir Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, Irwanto (Board of ECPAT Indonesia), Misran Lubis (Direktur PKPA), Ahmad Marzuki (Direktur Jarak) Faye Simanjuntak (Rumah Faye), Yongki Choi (Country Director Gugah Nurani Indonesia) dan Direktorat Jendral Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Republik Indonesia.

Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai berharap konferensi ini akan mampu menyumbang penerapan Undang-undang (UU) Perlindungan Saksi dan Korban no 32 tahun 2014. Sejatinya telah mengakomodir beberapa kebutuhan perlindungan terhadap anak yang menjadi korban maupun saksi. Diantaranya adalah masuknya tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak sebagai tinndak pidana yang korbannya mendapat prioritas perlindungan. Dan juga adanya aturan mekanisme yang lebih rinci mengenai pemberian perlindungan kepada saksi dan korban.

"Semua perbaikan tersebut merupakan usaha pemenuhan hak anak dalam upaya perlindungan saksi dan korban," tutur Abdul Haris.

Meski begitu, LPSK tetap berharap adanya rasa peduli terhadap pemenuhan hak anak pada para aparat penegak hukum, aparat pemerintahan, dan masyarakat. Hal ini dikarenakan masih sering terjadi perlakuan yang salah dari mereka terhadap anak yang menjadi saksi dan korban.

Padahal peran serta aparat penegak hukum, aparat pemerintahan, dan masyarakat sesuai perannya masing-masing dapat meringankan beban anak yang menjadi saksi dan korban. "Jangan sampai anak tersebut menjadi korban untuk yang kesekian kalinya karena salahnya perlakuan terhadap mereka," ujarnya.

Sementara itu Yongki Choi Country selaku Director Gugah Nurani Indonesia menyampaikan, KHA meletakkan standar bersama bagi setiap orang di berbagai belahan dunia.

Konvensi juga memberikan perhatian terhadap berbagai perbedaan realitas budaya,sosial ekonomi dan politik dari negara-negara pihak. Dengan upaya masing-masing pihak dapat melakukan implementasi hak- hak yang sama bagi semua anak. Dalam penerapan 54 pasal yang terkandung dalam KHA, negara harus berpegang pada prinsip: non diskriminasi; kepentingan terbaik bagi anak; hak hidup, keberlangsungan hidup dan tumbuh kembang; serta penghargaan terhadap pendapat anak.

"Pemenuhan dan perlindungan atas hak asasi manusia yang paling mendasar,termasuk bagi anak-anak, sesungguhnya bukanlah hal baru bagi Indonesia, sebagaimana telah diamanatkan dalam UUD 1945. Namun Instrumen Internasional HAM, dalam Hal ini Konvensi Hak Anak mampu berperan sebagai pengingat ketika mekanisme perlindungan dan pemenuhan hak anak di Indonesia belum berjalan secara baik." ujar Yongki.

Dalam kesempatan yang sama Ahmad Sofian, Koordinator Nasional ECPAT Indonesia melihat bahwa situasi perlindungan anak di Indonesia masih harus terus dikuatkan. Lemahnya sistem penegakan hukum yang tidak didukung dengan peraturan yang memadai, serta tantangan melindungi anak di era teknologi internet saat ini masih menjadi pekerjaan berat.

"Kasus-kasus kekerasan seksual serta eksploitasi seksual anak masih terus menerus terungkap, harapan kita kasus ini bisa berhenti dan kita akan mendengar lebih banyak berita baik di media masa tentang anak-anak Indonesiayang menatap masa depan dengan baik," tegasnya.

Misran Lubis Direktur Eksekutif PKPA berpendapat, sudah seperempat abad Indonesia berkomitmen terhadap dunia untuk memastikan anak-anak di Indonesia terpenuhi hak-haknya berdasarkan prinsip-prinsip yang tercantum didalam KHA. Selama 25 tahun telah melewati banyak fase, mulai dari perubahan sistem politik nasional dan perubahan regulasi hukum.

Namun faktanya situasi pemenuhan hak anak dan perlindungan anak masih berada dalam status "darurat perlindungan anak".

"Refleksi paska 25 tahun ratifikasi KHA di Indonesia, bukan sebagai upaya untuk pembuatan alternatif report, tetapi lebih pada upaya untuk melihat kedalam, melihat secara kongkrit, apa yang telah kita lakukan, apa yang telah dicapai oleh Indonesia, baik pemerintah, masyarakat dan lembaga-lembaga penggiat perlindungan anak dalam melindungi anak-anak dari kekerasan dan eksploitasi," ujarnya.

Misran menambahkan, Kita tidak ingin Indonesia hanya sekedar berhasil melahirkan norma hukum, tetapi gagal membangun struktur dan prosedur. Dari refleksi ini, harapannya akan muncul praktik-pratik baik untuk membangun sistem perlindungan anak, yang nantinya dapat direalisasikan secara masif di seluruh Indonesia. Di tahun 2016 ini beberapa kasus kekerasan anak di Indonesia mencuat ke permukaan, hal ini menjadi keprihatinan bagi kita semua.

Sementara itu Rumah Faye berharap dengan diadakannya Konferensi Nasional Perlindungan Anak ini dapat menghasilkan langkah-langkah tegas dalam memerangi kasus kekerasan anak terlebih perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual. Lebih dari itu, peran masyarakat, pekerja sosial, dan generasi muda dalam membantu memberantas kekerasanpada anak menjadi hal yang sangat penting.

"Keterlibatan anak-anak dalam konferensi ini juga menjadi semangat baru bagi Rumah Faye sendiri. Semoga dengan peran langsung dari anak-anak dalam konferensi ini kebijakan-kebijakan yang diambil dapat sungguh-sungguh mewakili gagasan-gagasan mereka. #stopprostitusianak” ujar Faye Simanjuntak Direktur Rumah Faye.

Direktur Jarak Ahmad Marzuki menegaskan semua pihak meski berperan dalam memastikan semua anak terpenuhi hak-haknya secara optimal. Dirinya mendorong langkah-langkah lebih strategis, diantaranya adanya penguataan bagi sektor swasta untuk memiliki kebijakan dan tindakan yang terikat pada prinsip hak anak dan hak azasi manusia. Kemudian, mengefetifkan sistem pengaduan, pemantauan, pengawasan dan perlindungan hukum bagi anak.

"Memperluas cakupan dan jangkauan layanan pada anak baik bidang pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dan perlindungan anak melakukan tindakan cepat dan efektif bagi anak yang mengalami kekerasan dan eksploitasi yang dijalakan dalam sistem terpadu baik di perkotaan, perdesaan, dan daerah terpencil,” pungkasnya.

Sebagai informasi, Konferensi Nasional Perlindungan Anak 2016 merupakan pertemuan nasional pertama yang melakukan evaluasi atas system perlindungan anak dari penegakan hukum di Indonesia. Pertemuan ini menjadi ruang kolaborasi ide demi terbentuknya system koordinasi antar berbagai pemangku kepentingan yang ada.

Selain itu, Konferensi ini bertujuan untuk menemukan fomula baru dalam mekanisme perlindungan anak-anak yang menjadi korban kekerasan dan eksploitasi serta membangun system koordinasi dan pelayanan perlindungan saksi dan korban dalam kasus eksploitasi seksual komersial anak (ESKA). Karena meskipun sudah terdapat undang-undang yang terkait dengan perlindungan anak, masih ditemukan banyaknya anak-anak yang menjadi korban kekerasan, perdagangan dan ekspolitasi. (rls)