JAKARTA - Komunitas Warteg Indonesia (Kowantara) menolak kebijakan baru PPKM Level 4 yang berkaitan dengan izin makan di tempat (dine in) dengan durasi 20 menit bagi pengunjung. Sebab, kebijakan ini mereka nilai bisa membahayakan keselamatan pengusaha warung dan pengunjung.

"Sementara ini kami menolak daripada membahayakan," ujar Ketua Kowantara Mukroni seperti dilansir GoNews.co dari tayangan CNN Indonesia TV, Senin (26/7/2021).

Menurut Mukroni, potensi membahayakan bagi pengusaha warung berasal dari proses penyiapan yang tergesa-gesa. Sebab, waktu yang diberikan cuma 20 menit dari pengunjung memesan makan hingga menyelesaikan proses makannya.

"Misal beli pecel lele, itu kan harus digoreng dulu, buat sambel dulu. Apalagi kalau makan kepiting di kaki lima, ini butuh waktu cukup lama. Menurut kami, kalau dilarang dine in atau take away, mending dibebaskan saja, karena ini membahayakan. Kalau juru masak tergesa-gesa, minyak bisa tumpah dan lainnya," jelasnya.

Tak hanya bagi pengelola, batas waktu makan 20 menit itu juga bisa membahayakan pengunjung. Batas waktu yang singkat bisa membuat mereka terburu-buru makan yang bisa menyebabkan tersedak hingga tetap terkena penularan covid-19.

Ia mengaku tak tega bila pengunjung warteg yang merupakan pekerja paruh baya harus disuruh makan cepat-cepat. "Takut tersedak kalau ditargetkan 20 menit. Ini kalau ada apa-apa, siapa yang tanggung jawab? Ini mungkin bukan kena covid, tapi tersedak. Lagi pula kan covid tidak tunggu 20 menit," katanya.

Di sisi lain, Mukroni juga belum yakin bahwa kebijakan ini bisa mengembalikan kerugian akibat penurunan omzet yang selama ini diderita para pemilik warteg dan warung makan lainnya. Apalagi, penurunan omzet sudah mencapai 50 persen sampai 90 persen.

Ia memberi gambaran, omzet yang semula bisa mencapai Rp3 juta sampai Rp4 juta, kini turun hanya sekitar Rp300 ribu per hari. Kondisi ini terjadi sejak pandemi covid-19 mewabah hingga saat ini di era PPKM Level 4.

"Bahkan banyak rekan-rekan kami yang harus mengundurkan diri dari usaha ini alias tutup dan kerugiannya juga lumayan, Mungkin ada 50 persen yang tutup, usahanya alami kebangkrutan," tuturnya.

Sementara beberapa pengusaha warteg dan warung makan lain yang tidak tutup bukan tanpa usaha. Mereka kini beralih menjajakan lauk dan sayur dari offline di toko menjadi online melalui aplikasi pengantaran dengan ojek online.

"Tapi ini kan juga tidak mudah karena prosesnya misal satu bulan untuk usahakan bisa pindah, bisa metamorfosis dari offline ke online. Tapi ini juga solusi sementara. Ada faktor daya beli dan orang kantor. Mereka kalau makan siang kan lewat online yang luas," terangnya.

Lebih lanjut, Mukroni menagih bantuan insentif dari pemerintah. Sebab, pemerintah kabarnya sudah memberi bantuan berupa Banpres Produktif Usaha Mikro (BPUM) kepada UMKM. Namun, ia mengaku banyak pengusaha warteg yang justru belum dapat bantuan ini.

"Ini yang kami pertanyakan karena kita ada komunitas se-Jabodetabek. Tapi mereka bilang kok saya tidak dapat? Padahal di media, triliunan dana yang digelontorkan pemerintah. Ini apa pendataannya langsung atau bagaimana agar pemerintah bisa tepat sasaran ke usaha yang terimbas pandemi. Karena banyak teman-teman yang masih belum dapatkan bantuan dari pemerintah," ungkapnya.

Sekretaris Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PCPEN) Raden Pardede menjawab soal penolakan dari asosiasi pengusaha warteg itu. Menurutnya, aturan ini sebenarnya boleh diartikan secara fleksibel, di mana perhitungan waktu 20 menit bukan dari waktu pengunjung memesan makan, melainkan sejak pengunjung duduk dan makanan siap.

"Menurut saya kalau sudah ada pelonggaran, dipakai saja, itu bisa dihitung 20 menit dari duduknya saja. Ini memang bukan kondisi ideal, harus ada penyesuaiannya, daripada sama sekali tutup, lebih berat lagi," kata Raden pada kesempatan yang sama.***