KEPUTUSAN keluarganya mempekerjakan wanita Muslim sebagai asisten rumah tangga (ART/pembantu), ternyata merupakan skenario Allah SWT memberikan hidayah kepada Yessy. Ya, Yessy memutuskan bersyahadat bermula dari mendengar sang ART melantunkan ayat Alquran (mengaji). Begini kisahnya.

Dikutip dari Republika.co.id, Yessy menuturkan, ketika dirinya masih sekolah dasar (SD), keluarganya memiliki seorang ART bernama Zahra, Yessy memanggilnya Mbak Zahra. 

Mbak Zahra sehari-hari bekerja dengan giat dan rapi. Sebagai seorang Muslimah, sang ART ini tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Ibadah itu dilakukannya di dalam kamar kecilnya. Saat shalat, pintu kamarnya selalu ditutup karena khawatir tampak dari pandangan tuan rumah. 

Yessy ingat, Mbak Zahra bersikap demikian bukan karena kedua orang tuanya galak. Ayah dan ibunya juga tidak pernah melarang-larang ART tersebut untuk melaksanakan ibadah menurut agamanya itu. Shalat secara sembunyi-sembunyi dilakukan atas keinginannya sendiri. 

Kebetulan, kamar Mbak Zahra terletak di belakang rumah, dekat dapur. Sementara itu, kamar Yessy berada agak jauh darinya, yakni berhadapan dengan teras. 

Pada suatu hari, ART ini sedang di dalam kamarnya sembari mengaji. Secara tidak sengaja, Yessy kecil mendengar lantunan ayat-ayat suci Alquran dari arah tempat pembantunya itu berada. Hal itu membuatnya tertarik. 

''Saya tertarik dengan apa yang sedang dilantunkan Mbak Zahra. Makanya, saya mendatanginya ke kamar,'' ujar perempuan berdarah Tionghoa itu, seperti dilansir Republika dari akun YouTube seorang pengurus Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Firdaus Sanusi, beberapa waktu lalu. 

Ia kemudian mengintip bagian dalam kamar tersebut melalui birai jendela. Tampak di sana, Mbak Zahra sedang duduk dengan mengenakan mukena. Di tangannya, terdapat mushaf Alquran. 

Waktu itu, Yessy kecil merasa agak heran. Sebab, letak kamar sang ART tidak dekat dengan kamarnya. Namun, suara lirihnya yang sedang mengaji kitab suci umat Islam itu sampai ke arah teras. 

''Suaranya tidak keras, malahan sangat pelan. Seharusnya, itu hanya terdengar olehnya, tetapi saya masih bisa mendengarnya dari kamar saya,'' kata pemilik nama lengkap Yessy Dwy Sulyany ini. 

Sejak saat itu, Yessy kecil sering bermain ke kamar Mbak Zahra. Putri tuan rumah ingin mencari tahu tentang ibadah yang dilakukan mbaknya itu. Pertama-tama, mukena yang dipakainya ketika sholat membuatnya jatuh hati. 

Ia kemudian ingin juga dibelikan. Namun, Mbak Zahra enggan memberikannya karena takut dimarahi majikannya. Tidak menyerah, Yessy lalu minta kitab yang sedang dibaca ART-nya itu. Waktu itu, dirinya belum mengetahui bahwa mushaf tersebut bernama Alquran. 

Mbak Zahra ternyata tetap enggan memberikannya. Yessy kecil pun tidak berputus asa. Uang jajannya ditabung sedikit demi sedikit. Beberapa waktu kemudian, tabungannya itu dibuka. Hasilnya akan dipergunakannya untuk membeli kitab suci Alquran.

Pada suatu siang, Yessy kecil berangkat ke toko buku terbesar di daerah Matraman, Jakarta. Pada rak bagian buku-buku agama, ia pun menemukan apa yang dicarinya. Setelah yakin bahwa kitab yang dipegangnya sama dengan yang dimiliki Zahra, Yessy kemudian membelinya. 

Sesampainya di rumah, Yessy terkejut. Sebab, tidak satu lembar pun dari buku tersebut yang dipahaminya. Tulisan di sana bukanlah yang biasa dibacanya. Yang ada, deretan huruf-huruf yang menyerupai mi. Hal itu lalu ditanyakannya kepada Mbak Zahra. 

''Memang tulisannya seperti itu. Ini namanya bahasa Arab. Jika ingin membacanya, harus belajar,'' ucap wanita yang kinib berusia 43 tahun tersebut menirukan jawaban pembantunya itu.   

Bulan Ramadhan tiba. Saking inginnya mengikuti Mbak Zahra, Yessy kecil ikut-ikutan berpuasa. Padahal, sang ART tidak menyuruhnya atau mengajaknya untuk itu.  

Saat Mbak Zahra shalat tarawih di masjid, Yessy diam-diam mengikuti. Agar ayah dan ibunya tidak menaruh curiga, ia izin kepada keduanya: hendak kerja kelompok bersama kawan-kawan. Cara itu berlangsung terus-menerus selama malam-malam Ramadhan. 

Bahkan, Yessy juga ikut-ikutan berpuasa. Ini yang cukup mendebarkan. Sebab, puasa berarti menahan diri dari makan dan minum selama belasan jam. Hal itu dilakukannya secara diam-diam agar tidak diketahui kedua orang tua. 

Ketika ditawari makan siang, Yessy membawa makanan dan minumannya masuk ke dalam kamar. Sajian itu diletakkannya di atas meja dan baru akan dimakannya ketika Maghrib tiba. Saat sahur pun begitu. 

Pernah dirinya ketahuan bangun saat dini hari dan mencari makanan. Yessy hanya menjawab sekenanya, seperti tiba-tiba lapar, ingin makan. Berhari-hari, metode sembunyi-sembunyi beribadah Islami ini dilakukannya. 

Pada akhirnya, siasat Yessy terbongkar. Kedua orang tuanya kemudian memecat Mbak Zahra. Sebab, sang ART dipandang telah memengaruhi putri mereka untuk berkenalan dan mengikuti ajaran Islam.  

Yessy kehilangan pembimbingnya, ia tak lagi memiliki orang untuk bertanya-tanya. Bersyukur ia saat itu menempuh pendidikan menengah di sekolah negeri. 

Pada masa itu, kurikulum agama hanya ada pelajaran agama Islam. Alhasil, murid- murid yang non-Muslim diperbolehkan untuk meninggalkan kelas selama pelajaran tersebut berlangsung. Mereka diarahkan untuk belajar mandiri di perpustakaan. Akan tetapi, Yessy menolak untuk pergi dari kelas. Ia pun mengikuti jalannya pembelajaran agama Islam hingga usai kelas.

Karena itu, dirinya sedikit demi sedikit memahami beberapa aspek dalam ajaran Islam. Datanglah momen ujian kelulusan.

Waktu itu, dirinya sering melewatkan ibadah mingguan, termasuk sekolah iman di tempat ibadah (agama lamanya sebelum memeluk Islam). Maka ketika ujian agama, Yessy muda angkat tangan. Ia menyerah dalam mengerjakan soal-soal. 

''Saya hanya bisa mengerjakan soal agama Islam karena selama di sekolah ini saya belajar agama itu saja. Karena jumlah kertas ujian disesuaikan dengan jumlah murid, soal agama Islam pun kurang. Pihak sekolah lantas memanggil kedua orang tua saya,'' tutur dia. 

Ayah dan ibunya terpaksa setuju bahwa putrinya itu akan mengerjakan soal mata pelajaran agama Islam. Sebab, keduanya khawatir, Yessy tidak akan lulus sekolah. Sepulang sekolah, mereka pun memarahi dan memperingatkannya. 

Dari sana, tekad Yessy untuk menjadi pemeluk Islam justru kian kuat. Remaja itu lantas berupaya menemukan tempat mengaji. Dipilihnya sebuah madrasah yang berlokasi tak jauh dari rumah.

Akan tetapi, guru-guru di sana tidak berani mengajarkannya materi keislaman. Sebab, wanita tersebut saat itu belum berislam. Mereka pun masih pikir-pikir untuk membimbingnya bersyahadat. Ada kekhawatiran bahwa kedua orang tua perempuan ini akan melabraknya. Karena tak ada satu pun orang dewasa yang membimbingnya, Yessy pun memutuskan untuk bersyahadat sendiri. Saat itu, dirinya hanya didampingi sejumlah teman.

Masuk Islam 

Sampai di situ, perasaannya masih belum puas. Yessy saat itu teringat lagi pada Mbak Zahra, terutama momen ketika dirinya membeli mushaf Alquran. Tiba-tiba, tebersit gagasan dalam benaknya, yakni mendapatkan mushaf yang tidak hanya berisi ayat-ayat suci, tetapi juga terjemahannya.

Dengan begitu, ia dapat sedikit memahami kandungan Alquran walaupun belum bisa membaca teks berbahasa Arab. Keputusannya membeli mushaf itu sesungguhnya bukan tanpa risiko. Sebab, saat itu kedua orang tuanya sudah mewanti-wanti agar tidak lagi berpikir mendekati ajaran Islam. 

Singkat cerita, mushaf yang diinginkannya dapat diperoleh. Secara acak, Yessy membuka buku tebal tersebut. Pandangan matanya terpaku pada teks terjemahan surah an-Nisa ayat 171 dan 172. Di antaranya berarti, Al-Masih (Isa) sama sekali tidak enggan menjadi hamba Allah, dan begitu pula para malaikat yang terdekat (kepada Allah). Dan barangsiapa enggan menyembah-Nya dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya.

Ayat itu sangat berkesan baginya. Yessy semakin yakin untuk memeluk Islam. Syahadat yang telah diucapkannya kian kokoh dalam hati, lisan, dan perbuatannya. 

Setelah lulus kuliah, ia sempat bekerja pada sebuah perusahaan besar. Akan tetapi, rutinitasnya di sana tidak semudah yang dibayangkan. Sebab, mayoritas pegawai dan atasan beragama non-Islam. Hanya tiga orang Muslim, termasuk Yessy, di kantornya itu. 

Lebih sulit lagi baginya. Sebab, waktu itu KTP-nya belum mencantumkan status beragama Islam. Yessy pun curiga, pihak kantor memudahkannya untuk mendaftar karena alasan itu. 

Sering kali, ia bertanya kepada rekan kerjanya yang Muslim, bagaimana mereka akan shalat. Ternyata, kedua Muslim itu mengaku, selama bekerja shalat ditinggalkannya. Yessy menolak mengikuti cara demikian. Dicarinya kiat agar selalu bisa mendirikan shalat lima waktu. 

Karena anak pemilik perusahaan sering datang dan membawa anjing, khawatir banyak tempat terkena liur, Yessy pun mencari ruangan tersembunyi. Saat itu yang tersisa hanya bangku semen yang tak cukup untuk duduk. 

Lama kelamaan, pihak kantor mengetahui bahwa dirinya Muslimah. Anehnya, beberapa atasannya merasa perlu untuk mengembalikan Yessy ke iman lamanya. Sampai-sampai, seorang rohaniawan dipanggil oleh mereka ke kantor. 

Tidak tahan dengan itu, Yessy memilih mundur dari pekerjaannya. Ia mencari profesi lain. Tidak lama kemudian, dirinya diterima di salah satu bank syariah. 

Kini, ia telah keluar dari dunia perbankan. Fokusnya menjadi penulis penuh waktu, terutama sejak menikah dan memiliki anak 

Namun agar lebih legal, Yessy diajak rekannya, Endah dan dikenalkan kepada PITI. Pada 2015 lalu, Yessy kemudian bersyahadat secara resmi disaksikan oleh Ketua Umum PITI saat ini Denny Sanusi. Dan dia berkeinginan untuk umrah setelah bersyahadat. 

Satu tahun kemudian keinginanya tecapai. Pada 2016, Yessy dapat melaksanakan umrah. Dan hal membahagiakan lainnya adalah satu tahun kemudian sang ayah bersyahadat.***