NAMANYA Carlos Camilo Clavijoola, namun setelah memeluk Islam dia lebih suka disapa Ibrahim Carlos. Berikut ini kisah singkat perjalanan hidup Carlos menemukan hidayah hingga memutuskan bersyahadat.

Dikutip dari Republika.co.id yang melansir Daily Sabah, Ibrahim Carlos lahir di Honduras. Pada usia 15 tahun, Carlos ikut orang tuanya migrasi ke Panama. Saat di Panama, ia semakin menjauh dari imannya.

''Saya sangat bingung dengan ritual pengakuan dosa. Saya merasa seperti saya jatuh ke dalam kekosongan dalam hal keberadaan spiritual. Saya berhenti hadir ke gereja dan mencari bantuan Tuhan untuk mengisi kekosongan di hati saya,'' kata Ibrahim.

Pada 2004, ia berada di Spanyol untuk bekerja dan terus berpindah gereja. Suatu hari, ia bertemu teman orang Spanyol bernama Fatih Alvaro Samper. Fatih ini merupakan mualaf yang membuka jalan bagi Ibrahim untuk menemukan hidayah.

Menurut Carlos, perilaku Fatih penuh dengan kebaikan. Terlebih, ia bekerja di badan amal yang membuatnya terkesan.

''Dia memberi saya sebuah buku puisi oleh Mevlana Jalaluddin Rumi. Saya jatuh cinta dengan buku itu. Kata-kata Rumi menyimpan rahasia iman bagi saya,'' ujar dia.

Ibrahim pertama kali bekerja di Turkish Diyanet Foundation (TDV), sebuah kelompok amal yang aktif di seluruh dunia. Dia mengaku telah melihat kehebatan peradaban Turki dengan membantu orang lain tanpa memandang ras dan agama.

Sejak 2018, ia menjabat kepala delegasi Bulan Sabit Merah Turki di Islamabad. Adapun keluarga religiusnya, ia harus menghadapi tentangan dari mereka.

"'Saya memiliki tunangan yang memutuskan saya ketika dia mengetahui saya masuk Islam. Saya sangat dekat dengan saudara perempuan saya dan ketika dia mengetahuinya, dia mengatakan saya sudah meninggal baginya,'' tambahnya.

Setelah itu, Fatih memperkenalkan saudara-saudara Muslimnya kepada Carlos. Keyakinan Ibrahim untuk menjadi mualaf semakin mantap setelah ia berkunjung ke restoran yang dikelola Muslim di Granada, Spanyol. Dia melihat Muslim datang dari berbagai kota untuk bekerja dan membantu secara gratis.

Akhirnya, ia memantapkan untuk mengucapkan kalimat syahadat. Setelah menjadi mualaf, Ibrahim mencari tempat di mana ia bisa belajar lebih banyak tentang agama. Atas rekomendasi teman-temannya di Spanyol, dia pergi ke Turki.

''Turki adalah tempat yang dapat mempelajari sejarah dan budaya Islam dengan sebaik-baiknya. Tinggal di Turki membuka jendela baru dalam hidup saya. Saya terkesan dengan amal orang-orang di sini,'' tuturnya.***