SELATPANJANG - Pilkada serentak 2020 tinggal hitungan bulan, gejolak politik pun mulai hangat, para bakal calon yang ingin maju dalam kontestasi politik mulai melakukan manuver baik secara pribadi maupun lewat tim sukses untuk mendapatkan simpati rakyat sebanyak-banyaknya, dan itu sah-sah saja selama tidak merugikan rakyat dan mampu mewujudkan Pilkada yang aman tertib dan lancar apalagi negeri ini tengah menghadapi Pandemi virus Covid-19 yang pastinya akan mempengaruhi proses Pilkada karena penyelenggara, peserta dan pemilih diwajibkan mengikuti protokol kesehatan.

Menyikapi hal itu, mendapat masukan dari para pakar yang telah malang melintang di dunia politik. Bupati Kepulauan Meranti, Drs H Irwan MSi, Mantan Ketua DPRD Riau, Drh Chaidir, Legislator DPRD Riau Ade Hartati M.Pd, Wakil Dekan Fisipol UNRI Beli Nasution dan sejumlah pakar lainnya.

Para pakar politik yang namanya tak asing lagi ditelinga itu, memberikan masukan dan saran bagaimana agar pelaksanaan Pilkada dapat berjalan aman tertib dan lancar, tentunya dengan jumlah pemilih atau partisipan yang tinggi, dalam acara Dialog Menakar Kesiapan Pemilihan Serentak Lanjutan 2020 di Provinsi Riau melalui video Conference yang ditaja oleh Ikatan Pelajar Riau Yogjakarta (IPRY), Selasa malam (30/6/2020).

Turut serta dalam acara itu, Ketua Keluarga Alumni Pelajar Mahasiswa Riau Yogjakarta (KAPEMARY) Riau, Drs H Irwan MSi, Ketua Bawaslu Provinsi Riau, Rusidi Rusdan, Anggota KPU Riau, Nugroho Noto Susanto, Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR), Anggota DPRD Riau, Ade Hartati MPd, Pengamat Politik Pemerintah UIR, Dr Panca Setyo Prihatin, Wakil Dekan FISIP UNRI, Beli Nasution, Ketua IPRY, Najib dan puluhan peserta lainnya.

Seperti dijelaskan oleh Komisioner KPU Riau Nugroho Noto Susanto pada dasarnya Prinsip Pilkada harus mengacu pada Vox Papuli Vox Dei (suara rakyat suara tuhan), Salus Populi Suprema Lex Esto (keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi), Dasar Hukum Pilkada sesuai dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Pasal 27 Ayat (I) UUD 1945 dan Peraturan Pemerintah mengenai Pandemi Covid-19.

Pilkada serentak yang awalnya akan dilaksanakan pada tanggal 23 September 2020, akibat terjadinya Pandemi Covid-19 terpaksa diundur menjadi 9 Desember 2020. 

Untuk masalah penganggaran diakui Nugroho Noto Susanto sudah tidak ada masalah karena untuk penyelenggaran Pilkada ditengah pandemi Covid-19 ini mendapat bantuan dari Pemerintah Pusat melalui APBN untuk membiayai pengadaan APD.

Cuma yang jadi masalah tiap pelaksanaan Pilkada adalah potensi pelanggaran klasik seperti Hate Speech, Politik Uang, Kampanye Hitam, Hoax/Fake News, Netralitas ASN, Politiisasi SARA, dan lainnya yang dianggap oleh peserta Pilkada sebagai upaya jitu untuk memenangkan kontestasi politik daerah itu.

Untuk menghindari itu semua Bupati Meranti Drs. H. Irwan M.Si yang juga menjabat Ketua Keluarga Alumni Pelajar Mahasiswa Riau Yogjakarta (KAPEMARY) turut memberikan masukan, Bupati Irwan mengatakan jumlah pemilih dalam Pilkada sangat mempengaruhi pengakuan dari masyarakat terhadap pemimpin terpilih.

"Semakin besar jumlah pemilih maka semakin tinggi pula pengakuan masyarakat terhadap pemimpin terpilih dan tingginya kepercayaan diri pemenang Pilkada, begitu juga sebaliknya jika jumlah pemilih dibawah 50 persen maka pengakuan akan semakin lemah," jelas Irwan.

Dan masalah ini menurut Irwan menjadi PR untuk KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara dapat meningkatkan partisipasi jumlah pemilih.

Lebih jauh dikatakan Irwan, menurut pengalamanya mengikuti 2 kali Pilkada, terlalu kakunya Panwaslu dan KPU dalam mengatur dan mengawasi pelaksanaan Pilkada akan membuat ruang gerak para peserta Pilkada menjadi sempit padahal apa yang dilakukan oleh peserta itu secara tidak langsung merupakan sebuah sosialiasi untuk menarik  masyarakat agar mau memilih dan berpartisipasi dalam Pilkada.

"Berdasarkan pengalaman KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara dan pengawas Pilkada sering membuat gerakan para peserta Pilkada menjadi terbatas dan ini akan mempengaruhi rendahnya partisipasi pemilih karena sosialisasi peserta menjadi sedikit," jelasnya lagi.

Kemudian menyangkut masalah SARA, Black Kampanye, Hate Speech, Hoax dalam Pilkada, menurut Irwan sangat sulit dihindari karena masalah diatas bagi sebagian besar para peserta Pilkada merupakan senjata paling efektif untuk memenangkan kontestasi politik. 

Bahkan pakar politik lainya berpendapat kemenangan bukan ditentukan oleh tim sukses yang tampak tapi ditentukan oleh tim yang tak terlihat (akun palsu, berita hoax dan lain-lain)

Namun hal ini dapat diantisipasi dengan menggencarkan edukasi kepada masyarakat dan peserta Pilkada tentang bagaimana berdemokrasi yang sehat dan mengikuti Pilkada secara Fairless.

Selanjutnya Bupati Irwan, juga mengomentari masalah Politik Uang, menurutnya masalah Politik Uang atau Money Politik sangat susah dihilangkan karena sudah membudaya. Hal itu didukung oleh rendahnya pendidikan dan faktor pendapatan masyarakat.

"Tingkat penghasilan dan pendidikan di Indonesia tidak bisa disamakan dengan standar eropa dan hal ini sangat berpengaruh terhadap cara fikir dan bertindak masyarakat apalagi jika dilaksanakan di daerah terpencil dengan akses informasi yang sangat terbatas. Disini akan terjadi politik uang karena tidak ada uang masyarakat pasti tidak akan datang," paparnya.

Dicontohkan Bupati Irwan, masyarakat petani atau nelayan yang setiap hari pergi ke ladang akan enggan pergi memilih karena jika pergi memilih maka ia akan kehilangan waktu dan penghasilannya. Dan politik uang acap kali dianggap menjadi kompensasi.

Kemudian ia juga menanggapi soal aturan Netralitas ASN dalam sebuah Pilkada, menurutnya hal ini juga sulit untuk dihilangkan karena dari kaca matanya, ASN tidak akan pernah bisa netral. Karena dengan mendukung salah satu peserta Pilkada merupakan salah satu cara untuk mendapatkan panggung dalam sebuah pemerintahan. Bagi pejabat yang mendukung tentunya akan mendapatkan jabatan yang baik dan strategis, dan bagi yang tidak menentukan sikap kariernya akan biasa-biasa saja apalagi yang ketahuan tidak mendukung.

Satu hal lagi yang perlu menjadi perhatian menurut Irwan adalah aturan Pemerintah Pusat melalui Mendagri, KPU RI dan Bawaslu, yang melarang Kepala Daerah untuk melakukan perombakan kabinet 6 bulan sebelum Pilkada dan 6 bulan setelah pelantikan.

"Jika boleh saran sebaiknya demi Pilkada yang lebih bernilai dan bermartabat sebaiknya pasal ini direview lagi  karena akan menganggu jalannya pembangunan, contohnya salah seorang pejabat yang calonya kalah kemungkinan akan bekerja setengah hati dan ini akan membuat kerusakan sistem serta pincangnya pemerintahan, sementara untuk menggantinya harus menunggu waktu selama 6 bulan," jelas Irwan.

Sementara itu Mantan Ketua DPRD Riau Chaidir, juga mengomentari kenapa adanya Black Kampanye, Money Politik menurutnya hal itu terjadi akibat rendahnya sportifitas peserta Pilkada, untuk itu azas Jurdil harus dijaga benar oleh KPU dan Bawaslu.

"Setiap peserta Pilkada boleh menggunakan semua cara untuk menang tapi tidak boleh menghalalkan semua cara," ujar Chaidir.

Politikus PAN Ade Hartati, melihat kecilnya partispasi Pilkada tak luput dari kurangnya kehadiran perempuan dalam kontestasi politik sehingga kaum perempuan malas memilih karena tidak memiliki perwakilan. Dan hal ini menurut Ade perlu menjadi perhatian dari KPU.

Sementara Wakil Dekan Fisipol UNRI, Beli Nasution, berpendapat yang terpenting dalam mewujudkan Pilkada yang baik adalah para peserta Pilkada harus senantiasa menjaga Idealisme terutama dalam menghadapi politik praktis.

Sekedar informasi, dialog-dialog menakar kesiapan pemilihan serentak lanjutan 2020 di Provinsi Riau melalui video Conference yang ditaja oleh Ikatan Pelajar Riau Yogjakarta (IPRY) yang berlangsung santai namun berisi itu berjalan selama 3 jam. Nantinya masukan dari para pakar dan peserta tersebut akan menjadi catatan bagi KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara dalam mewujudkan Pilkada serentak 2020 yang aman, tertib, lancar serta bermartabat.(rls)