JAKARTA - Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, menilai bahwa Indonesia seolah tak mensyukuri berkah Tuhan terhadap pohon kelapa sawit. Pasalnya, pelaku industri domestik hanya mau memanfaatkan tandan buah setara (TBS) sawit hanya untuk produk minyak goreng saja.

Padahal, negara-negara Eropa sudah lebih jauh memanfaatkan sawit untuk kepentingan lain yang dampaknya lebih luas, dan punya nilai ekonomi lebih tinggi. "Kita bikin minyak goreng sawit seolah kita tak percaya Tuhan. Konsep Eropa mulai 1992 membuat sawit itu tujuan utamanya apa? Yaitu lemak, sebagai pengganti lemak binatang dan lemak ikan. Dan juga lampu-lampu, dan dulu dipakai lubrikan," paparnya saat ditemui di Jakarta, dikutip Minggu (22/1/2023).

"Terus ada ahli Prancis menemukan bahwa minyak sawit itu sama dengan lemak binatang, ada gliserin ada fatty acid. Oleh karena itu cocok untuk bikin produk lain," ujar Sahat.

Sahat lantas mencontohkan Port Sunlight, sebuah pemukiman pekerja di kawasan Merseyside, Liverpool, Inggris yang dulunya berkembang berkat sukses memaksimalkan potensi sawit di luar sekadar minyak goreng.

"Maka itu kalau kau ke Liverpool, ada pelabuhan Port Sunlight. Itu mulai abad 18 dibuat Port Sunlight. Kenapa? Mula-mula sawit digunakan untuk sabun, itu Inggris (yang mulai)," ungkapnya.

Di sisi lain, Indonesia sebagai penghasil kelapa sawit terbesar dunia terlena dengan iming-iming ekspor TBS sawit. Setelah bahan mentah itu diambil dan diolah negara luar sehingga punya nilai ekonomi lebih tinggi, Indonesia kembali membelinya untuk dikonsumsi.

"Nah, mereka hanya perlu itu. Kita saking bodohnya ikut terus. Padahal vitamin di dalam itu bayangkan, itu pemberian Tuhan, kita mubazirkan. Kita buang. Kita malah mau minyak goreng yang putih. Kita lebih seneng mata dibanding otak," keluhnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, mengeluhkan tata kelola sawit Indonesia yang masih lemah. Menurutnya, pengelolaan industri sawit di Tanah Air masih kalah maju dibanding Malaysia dan China.

Itu dikemukakan Sahat saat dirinya dipanggil sebagai saksi dalam Sidang Majelis Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), tentang dugaan praktik monopoli dan persaingan usaha tak sehat alias kartel minyak goreng.

"Coba contoh, kenapa Malaysia berhasil, kenapa China berhasil. Saya sampaikan ke pemerintah, jangan hanya macan kertas. Berikan peraturan-peraturan langsung otomatis merasa jalan, enggak bisa," tegas Sahat di Kantor KPPU, Jakarta, Jumat (20/1/2023).

Sahat menilai, pemerintah seharusnya punya power yang lebih besar dalam urusan tata kelola sawit nasional. Tidak hanya sebatas regulasi saja, tapi juga dalam bentuk fisik seperti memfasilitasi penyimpanan stok.

"Coba lihat China, berapa juta ton tangki minyaknya, itu saja digelontorkan selesai. Malaysia dia tak punya tangki, tapi dia punya sistem," papar dia.

Sebagai contoh, Malaysia disebutnya bisa mengatur harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng sebagai produk turunan sawit di angka RM 52 per kg pada Januari-Juni 2022. Saat Pemerintah Negeri Jiran menurunkan harganya jadi RM 34 per 5 kg, semua perusahaan di sana mau mengikutinya.

"Itu enggak susah, karena semua mesin penjualan ter-register semua di keuangan. Jadi begitu ada selisih tinggal reimburse, enggak ribut. Kalau di kita begitu, bancaan (bagi-bagi untung) semua itu. Jadi belum (siap), tapi perlu waktu," tegasnya.

Oleh karenanya, ia turut memohon kepada KPPU untuk menciptakan sistem tata kelola sawit seperti dilakukan Malaysia. "KPPU tolong bikinkan, jadi kita bisa elegan dalam berbisnis itu," imbuhnya.

Adapun dalam pertemuan bersama KPPU ini, Sahat menjalani sidang lanjutan terkait dugaan kasus kartel minyak goreng yang telah didalami sejak 2022 lalu. Dalam hal ini, Sahat maju sebagai saksi persidangan setelah diusung oleh dua perusahaan raksasa minyak goreng, Musim Mas dan Wilmar.***