PEKANBARU – Anggota DPR RI Dapil Riau I, Dr H Achmad, angkat bicara terkait penurunan harga Tandan Buah Segar (TBS) petani sawit yang saat ini anjlok, hingga di dibawah Rp 1000/kg.

Menurut Mantan Bupati Rokan Hulu dua periode ini, banyak masyarakat yang menjerit menghadapi kondisi ini, sebab di waktu yang bersamaan harga pupuk masih melambung tinggi.

Dia menuntut tanggungjawab pemerintah untuk hadir dan menyelesaikan masalah ini, supaya masyarakat tidak semakin keterpurukan pasca Pandemi Covid-19.

"Pemerintah harus bertanggungjawab atas kondisi yang dialami para petani khususnya petani sawit diseluruh Indonesia. Pemerintah harus segera mengatasinya secara tuntas dan tidak hanya memberikan solusi yang akan menimbulkan masalah baru lagi," kata Achmad, Senin (27/6/2022). 

Politisi Partai Demokrat itu menuding pemerintah tidak memiliki upaya konkrit yang memperlihatkan keberpihakan pada petani. Sebab, pemerintah masih membiarkan persoalan harga pupuk yang tidak sebanding lagi dengan hasil kebun petani.

"Harga TBS sangat rendah. Per hari ini harga TBS Rp 600/kg. Dan harga pupuk sawit yang sangat mahal. Disaat kondisi petani sawit seperti ini negara tidak hadir. Ya seperti itulah kondisinya. Dimana saat ini negara?" kesalnya.

Jika ini terus dibiarkan dan pemerintah tidak mengambil kebijakan yang betul-betul memihak kepada petani, ditegaskan Achmad, itu artinya pemerintah sudah mengabaikan nasib 17 juta petani sawit di Indonesia

"Ini berakibat fatal nantinya terhadap petani sawit mandiri dan kebun masyarakat. Mereka akan terancam kehidupannya," tegas Achmad.

Jangankan di saat harga TBS terpuruk begini, waktu harga TBS stabil dan naik saja, harga pupuk di tingkat petani terus merangkak naik. Bahkan kenaikan harga pupuk tidak sebanding dengan kenaikan TBS.

"Waktu harga sawit naik, pupuk naik. Tatkala harga TBS turun, harga pupuk tetap tinggi. Ini kan hantaman bagi petani karena sudah tidak sebanding lagi antara hasil produksi sawit dengan operasionalnya. Masyarakat akan meninggalkan kebun mereka karena tidak sesuai hasilnya lagi," terangnya.

Achmad menyebut, kekacauan harga TBS kelapa sawit karena pemerintah gagal mengambil kebijakan dan menyelesaikan kisruh harga crude palm oil (CPO) yang berdampak tragis.

Situasi ini justru semakin memprihatinkan pasca pemerintah mencabut larangan ekspor CPO. Meskipun harga harga CPO Rotterdam naik-turun tipis pada akhir-akhir ini, namun masih baik secara ekonomi.

"Namun permasalahannya harga CPO Rotterdam tersebut tergerus sampai 62 persen persen saat tender CPO di KPBN (Rp 8000/kg CPO) dan tentunya di level harga TBS petani pasti lebih anjlok lagi, yaitu kisaran 92% (Rp.1.700/kg TBS) dengan catatan rendemen TBS Petani sebesar 21%. Kenapa bisa begitu," kata Achmad dalam keterangan tertulisnya, Senin (27/6/2022).

Dia menyebut dari data posko pengaduan harga TBS APKASINDO di 22 provinsi, diketahui harga TBS swadaya mencapai Rp 1.116/kg  dan petani bermitra sudah pecah dua ribu menjadi Rp.1.700/kg. 

"Harga ini 28-65% dibawah harga penetapan Dinas Perkebunan di 22 Provinsi Sawit APKASINDO," katanya. 

Untuk itu, politisi Demokrat itu mendesak pemerintah harus mencabut atau mengurangi beban di hilir karena beban di hilir, yang menanggungnya adalah hulu yakni petani.

“Tidak ada pilihan lagi. Konkritnya, segera cabut itu DMO/DPO dan FO, pasti ekspor langsung lancar, hanya itu obatnya," tegas Achmad.

Achmad juga mendesak pemerintah supaya berhenti 'bersandiwara' dengan krisis minyak goreng. Menurut dia itu masalah sederhana namun sengaja digoreng dengan tujuan tertentu.

"Sejak awal kebijakan larangan ekspor CPO dan turunannya sudah saya prediksi akan menimbulkan malapetaka, dan benar adanya. Presiden tidak mampu memadamkan api yang dipicunya," katanya.

Maka lanjutan dia, langkah kongkritnya jika ingin menyelesaikan masalah ini adalah maka cabut DMO, DPO dan FO agar harga TBS petani stabil lagi.

"Karena dari simulasi sederhana ini dapat dikatakan bahwa sesungguhnya petani sawit lah yang menanggung semua beban-beban tersebut," pungkasnya. ***