GAZA -- Kobaran api dan kepulan asap muncul setelah dua ledakan dahsyat menghentak gedung Al-Jalaa, di pusat Kota Gaza, Palestina pada Sabtu (15/5/2021). Beberapa detik kemudian, gedung 11 tingkat itu terbelah, runtuh dan ambruk ke tanah.

Dikutip dari Republika.co.id, gedung yang kini tinggal tumpukan puing mirip kuburan raksasa itu merupakan bangunan perkantoran sekaligus tempat tinggal.

Beruntung, tidak ada korban jiwa dalam serangan tersebut. Para penghuni berhasil mengevakuasi diri dengan cepat. Mereka dapat peringatan singkat sejam sebelumnya.

Mengapa tempat ini menjadi sasaran gempuran rudal pasukan Israel? Yang pasti, pasukan Israel tahu, di gedung ini lusinan jurnalis Aljazeera dan Associated Press (AP) berkantor.

Beruntung, tidak ada korban jiwa dalam serangan tersebut. Para penghuni berhasil mengevakuasi diri dengan cepat. Mereka dapat peringatan singkat sejam sebelumnya.

Presiden dan CEO Associated Press, Gary Pruitt, mengatakan mereka ''syok dan ngeri'' atas serangan ini. Apalagi, militer Israel sangat tahu gedung itu tempat jurnalis mereka berkantor sejak lama. ''Ini adalah kejadian yang sangat mengganggu. Kami nyaris menghindari kematian yang mengerikan. Lusinan jurnalis AP dan kontributor ada di dalam gedung tersebut dan untungnya kami mampu mengevakuasi mereka tepat waktu,'' kata dia.

Israel mengklaim serangan itu dilakukan karena gedung Al-Jalaa menyimpan aset kelompok Hamas. Namun, pernyataan itu dinilai mengada-ngada. Serangan diduga kuat untuk membungkam media.

''Serangan yang kami lihat terhadap gedung tersebut sangat mengejutkan dan, tampak bagi saya, seperti upaya bahaya untuk membungkam media, mensenyapkan kritik, dan paling buruk, untuk menutup-nutupi konflik di sini,'' ungkap pendiri Ethical Journalism Network Aidan White.

Ini bukan pertama kalinya Israel menargetkan organisasi media dan jurnalis di Gaza. Pada 2014, kelompok pejuang hak asasi Palestina Al Haq mengatakan serangan ke gedung-gedung kantor berita menjadi bagian dari sasaran militer Israel saat itu. Serangan masa itu termasuk terburuk. PBB melaporkan lebih dari 1.500 warga sipil Palestina, termasuk 500 anak terbunuh.

Analis politik Aljazeera Marwan Bishara menilai pengeboman di Al-Jalaa bukan hanya menyasar media dan jurnalis saja. Itu juga serangan terhadap jurnalisme, informasi, dan kebebasan penyiaran.

Hal serupa diungkapkan Joel Simon, executive director of the Committee to Protect Journalists (CPJ). Menurutnya serangan itu menguatkan dugaan bahwa militer Israel sengaja menyerang kantor media untuk mengusik pemberitaan soal penderitaan manusia di Gaza. Menurut laporan CPJ, dua gedung lain tempat lusinan media berkantor juga menjadi sasaran pengeboman pada 11 Mei dan 12 Mei 2021. Sebagian besar dihuni jurnalis Palestina.

Soal alasan militer mengebom Al-Jalaa, Jeremy Dear, deputy general secretary di International Federation of Journalists menilainya sangat lemah. Ia meyakini ada gelagat membungkam berita dari Gaza.

''Ini adalah serangan ketiga terhadap gedung tinggi yang ditempati berbagai media massa, selain itu kami mencatat 30 insiden dimana jurnalis dipukuli dan ditahan. Jelas ini bukan kejadian biasa, ini adalah upaya sistematis menargetkan media di Gaza untuk mencegah laporan dari sana,'' ujarnya.

Barbara Trionfi, executive director International Press Institute berbasis di Viena, Austria mengutarakan kekhawatiran sama. Menurutnya serangan tersebut sungguh ''mengerikan''. ''Apapun alasan di balik penyerangan ini, hal itu tidak dapat diterima,'' kata dia.***