PEKANBARU - Mahkamah Agung RI melalui putusannya No 1087 K/Pid.Sus.LH/2018 tertanggal 17 Desember 2018 terhadap PT Peputra Supra Jaya memvonis perusahaan telah melakukan usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan skala tertentu yang tidak memiliki izin usaha perkebunan.

Berdasarkan putusan MA itu, eksekusi lahan PT Peputra Supra Jaya (PSJ), yang berada di Desa Gondai, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, Riau, dilakukan hingga kini.

Eksekusi ini dilakukan berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa lahan seluas 3.323 hektare yang dikelola oleh PT PSJ harus dieksekusi, karena masuk dalam kawasan hutan , dimana dari 3.323 hektare lahan yang dieksekusi, sebagian diantaranya merupakan lahan milik petani yang dikelola oleh PT PSJ dengan skema KKPA.

Menanggapi kondisi ini tokoh masyarakat Melayu Riau, Azlaini Agus SH MH berpendapat putusan Mahkamah Agung RI No 1087 K/Pid.Sus.LH/2018 tertanggal 17 Desember 2018 terhadap PT Peputra Supra Jaya, harus dihormati bersama.

Menurut mantan anggota DPR RI ini, jika ada masyarakat petani yang tergabung dalam KUD merasa dirugikan bisa saja menuntut ganti rugi kepada PT PSJ. Namun lanjutnya, tentu tergantung perjajian antara KUD selaku plasma dengan PT PSJ selaku inti.

Yang pastinya, kata Azlaini Agus, IUP tidak bisa diberikan di kawasan hutan, apalagi memang tidak memiliki SK Pelepasan Kawasan Hutan dari Menteri LHK RI.

Wanita yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Ombudsman RI ini mengatakan, salah satu klausul di dalam IUP, harus nya ada ketentuan yang diketahui PT PSJ yang harus segera mengurus Izin Pelepasan Kawasan Hutan.

"Sekarang ini kita amati kebun sawit PT PSJ yang dieksekusi sesuai Putusan MA itu, luasnya 3.323 Ha, karena lahan  tersebut yang menjadi objek perkara yang sudah in-krach. Jadi, kebun sawit itu memang illegal, dan harus dilaksanakan putusan hukum itu, " jelasnya.

Terkait tentang  sisa lahan PT PSJ seluas 4.500 hektare, Azlaini menyatakan, sepanjang tidak punya izin sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka itu termasuk kategori kebun sawit Illegal.

"Kalau ada izin dan tidak berada di kawasan hutan, maka lahan tersebut legal," ujarnya, Sabtu (1/2/2020).

Azlaini Agus yang juga dijuluki 'Singa Riau" ini menyebutkan, sebagaimana diketahui, berdasarkan kajian Pansus DPRD Riau tahun 2017  terdapat 1,8 juta hektare kebun sawit Illegal.

Sedangkan menurut kajian KPK, sambungnya, 1,2 Juta hektare, kebun sawit itu berada di dalam kawasan hutan, yang menurut ketentuan tidak dapat diperuntukkan untuk kebun sawit.

Dalam peristiwa yang terjadi di Kabupaten Pelalalawan diakui Azlaini Agus, memang secara kemanusiaan warga masyarakat Anggota KKPA PT PSJ, akhirnya menjadi korban.

"Saya sendiri belum membaca Perjanjian Kepesertaan Masyarakat dalam KKPA dengan PT PSJ.  Menurut saya dampak Putusan MA tersebut juga akan bisa berdampak ke pihak Perbankan yang memberikan kredit KKPA, " ungkapnya.

Disisi lain, dalam Permentan No. 26/2007 Pasal 11 ayat (1) menyebutkan, perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B, wajib membangun kebun untuk masyarakat, sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun perusahaan, dengan catatan kebun yang dibangun oleh perusahaan perkebunan tidak diperkenankan dibangun dalam kawasan hutan, baik kebun inti maupun kebun plasma. 

Ditanyakan apakah wajib PT PSJ mentaati Permentan No. 26/2007 Pasal 11 ayat 1 tersebut, Azlaini Agus menjelaskan, dari segi hukum positif, seharusnya PT PSJ tidak melibatkan masyarakat dalam pembangunan perkebunan yang sudah jelas melanggar peraturan. Karena berada di dalam kawasan hutan seperti Putusan Mahkamah Agung RI No 1087 K/Pid.Sus.LH/2018 tertanggal 17 Desember 2018 terhadap PT Peputra Supra Jaya.

Kemudian, dari perspektif perdata, tentu harus dilihat dari isi perjanjian kerjasama KKPA antara PT PSJ dengan masyarakat/KUD.

"Kasus Gondai ini harus menjadi pelajaran berharga bagi para Bupati, agar tidak seenak perut mengeluarkan IUP, tanpa melihat apakah perusahan tersebut benar -benar memiliki lahan," tegasnya.

Kemudian, tegasnya lagi, perlu diperhatikan apakah lahan tersebut ada di dalam kawasan hutan, atau kawasan lain yang dilarang utk membangun perkebunan, seperti hutan lindung, TMS, atau tanah ulayat masyarakat adat sepanjang memang ada.

"Seharusnya sebelum menerbitkan IUP, para Bupati harus melakukan kajian secara seksama, " pungkasnya. ***