KEMAJUAN negara, tidak terlepas dari kemajuan daerah, kemajuan daerah tentu tidak terlepas dari kemajuan sub-sub teritorial lainnya yang masuk dalam struktural kenegaraan. Dalam hal ini, desa adalah salah sub teritorial terpenting dari kemajuan sebuah negara.

Seperti yang dikatakan oleh seorang penulis kondang, Futhut Ea di dalam karyanya, ia mengatakan, jika kota-kota adalah mesin ekonomi, maka desalah penyedia bahan bakarnya. Jadi soal kemajuan desa tidak bisa kita abaikan begitu saja.

Bicara soal kemajuan desa, salah satu program unggulan yang dipandang cukup bisa memajukan dan mendongkrak perekonomian masyarakat adalah program BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Hal ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 (PP 11 Tahun 2021) tentang Badan Usaha Milik Desa. Di dalam peraturan tersebut, pada pasal 3 huruf a sampai e menggambarkan tujuan BUMDes. Yang secara umum berorientasi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Oleh sebab itu, tidak heran jika anggaran dana untuk BUMDes ini mencapai ratusan juta.

Namun, sangat disayangkan, peraturan dalam pelaksanaannya seringkali berseberangan dengan tujuan. Bukan hanya sekelas BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang sering menjadi topik hangat dalam negeri ini, terkait kasus korupsi dan rebutan kursi komisaris. Ternyata hal serupa juga terjadi di BUMDes. Itulah fenomena yang terjadi di desa-desa kabupaten Kepulauan Meranti, tepatnya di kampung halaman saya sendiri, desa Mengkopot. Soal rebutan kursi ketua BUMDes dan simpang siurnya pengelolaan dana.

Menurut hemat saya, sampai sekarang dana BUMDes terpakai hanya sebatas membuat program-program untuk menghabiskan anggaran saja, tidak ada input yang jelas. Bahkan, tanpa ada pembinaan yang berkelanjutan dari setiap program yang telah dicadangkan.

"Yang penting budget dianggarkan terpakai, soal berhasil atau tidaknya BUMdes, itu tak ada soal, sebab tak ada pengawasan yang kuat." Begitulah pengakuan dari salah seorang masyarakat yang sebenarnya saya agak kaget juga mendengarnya. Bagaimana tidak? Dana ratusan juta seperti hilang ditelan bumi dan tidak ada pengawasan dari pihak eksternal yang kuat dan ketat, terkait keberhasilan BUMDes ini.

***

Setelah melakukan riset kecil-kecilan, melalui berbagai perbincangan dengan warga mengenai pengawasan dan perkembangan BUMDes, ada hal yang sangat miris dan tragis terjadi. Ternyata bukan tidak ada pengawasan internal maupun eksternal, hanya saja pengawas pun diduga mendapat jatah dari dana BUMDes.

"Kalau kita bicara hukum, semuanya sudah komplit aturan dan pengawasannya, hanya saja, pengawas juga manusia, butuh makan dan siraman dana." Dengan nada agak bercanda, begitulah pernyataan dari salah seorang penjabat desa.

Fakta lainnya, menurut pengakuan dari beberapa pengurus BUMDes, dana yang telah dipakai untuk program BUMDes sering saja rugi, namun sangat disayangkan, pengakuan itu menurut saya masih sepihak.

Seharusnya yang boleh menentukan rugi atau suksesnya suatu program BUMDes bukanlah pelaksana kegiatan, melainkan lembaga atau badan yang ditugaskan sebagai pengaudit jalannya BUMDes.

Analogi sederhananya, begini. Minsal, saya sebagai pelaksana program BUMDes, ketika dana BUMDes yang saya gunakan tidak pernah diperiksa oleh badan audit dan hanya saya saja yang membuat laporan keuangan dan bukti administrasinya. Maka, bisa saja saya sebagai pelaksana memanipulasi semua rekapan data dan pemakaian dana. Sebab, abuse of power (penyimpangan) itu bisa terjadi, bukan karena tidak adanya dorongan niat, melainkan adanya kesempatan, celah dan lemahnya pengawasan.

Oleh sebab itu, untung ruginya BUMDes tidak bisa ditentukan dari hasil laporan pelaksanaannya saja, melainkan oleh pihak internal dan eksternal yang ditugaskan sebagai badan audit. Yang telah memeriksa soal hulu dan hilir akan jalannya BUMDes.

Namun sangat memiriskan, pengawas internal (desa) sendiri tidak tahu apa-apa, ketika saya menanyakan kemana saja dana BUMDes selama ini? Dan bagaimana pertanggungjawabannya? Dari situlah saya mengira dua kemungkinan yang terjadi; Pertama, pengelolaan dana BUMDes tidak transparan. Kedua, dana BUMDes sudah dijatahkan ke kantong-kantong bagi pihak-pihak yang terlibat. Sehingga semuanya ikut bungkam.

***

Secara objektif, saya memandang pemerintahan kabupaten dan desa tidak terlalu serius untuk mengelola jalannya BUMDes, ketidakseriusan itu terlihat dari kampung halaman saya sendiri. Hampir sudah beberapa periode kepala desa silih berganti. Namun, dana BUMDes yang digunakan belum mencapai hasil yang diharapkan dan bahkan masih jauh, kecuali dana BUMDes yang dialokasikan untuk infrastruktur, terlihat dan benar-benar dapat dirasakan keberadaannya. Selain itu, tidak ada.

Seketika terbesit berbagai pertanyaan yang bergejolak di dalam pikiran saya sendiri. Apakah selemah ini kapasitas kita mengelola suatu usaha? Apa memang benar tidak ada desa-desa yang bisa menjadi percontohan? Apakah BUMDes selalu berujung kegagalan? Apa memang benar, tidak ada desa yang berhasil dalam mengelola BUMDes ini?

Tentu kita semua bisa menjawab dengan melihat dan belajar dari keberhasilan desa-desa diberbagai pelosok negeri ini dalam mengelola BUMDes. Seperti satu contoh BUMDes Desa Sukamaju, Kecamatan Lunyuk, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat pada tahun 2012 lalu yang dinilai berhasil karena meraup keuntungan. Jika hal itu terlalu jauh untuk dijadikan contoh, bisa dipastikan di kabupaten-kabupaten tanah melayu ini, pasti ada desa yang berhasil dalam mengelola BUMDes.

BUMDes yang seharusnya mampu menunjang perekonomian, kenapa justru menjadi kisruh dan konflik rebutan kursi kepengurusan? Bahkan, dana BUMDes yang telah terpakai seperti tidak tampak adanya pertanggungjawaban. Dananya kemana? Dialokasikan untuk apa saja? Apa hasilnya? Terus program yang gagal itu bagaimana kelanjutannya? Semuanya tidak ada transparansi pengelolaan. Hanya terdengar dimasyarakat, bahwa program BUMDes ini rugi. Sudah itu saja.

Sebagai warga sipil biasa, saya sangat menyayangkan hal itu terjadi. Mungkin, bukan saya saja, ada juga kemungkinan masyarakat yang merasa resah dan risih melihat buruknya pengelolaan BUMDes ini, tapi pada akhirnya kami semua hanya bisa terdiam.

Kenapa? Karena pengurus BUMDes selalu punya argumentasi dengan berbagai tetek-bengek yang kuat, bahwa mereka seperti tidak berhak disalahkan atas kegagalan pengelolaan BUMDes. Alhasil, penyimpangan yang terjadi hanya berujung pendiaman tanpa sanggahan sama sekali dari masyarakat.

BUMDes yang dianggap mampu menjadi pendongkrak perekonomian masyarakat di desa yang telah dijatahkan mendapatkan kucuran anggaran dari Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) ini justru menjadi lahan penyimpangan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.

Jika hal demikian selama ini terjadi, wajar desa-desa masih dalam kertepurukan ekonomi, sebab dana ratusan juta hanya sekian persen saja untuk program BUMDes, sisanya bisa jadi masuk ke kantong-kantong perorangan, bukan sepenuhnya menjadi program ekonomi yang menunjang jalannya kemajuan dan kesejahteraan. ***

* Penulis adalah penggiat komunitas baca 'Kembul.id' dan kritikus sosial, tinggal di Pangkalankerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau.