PEKANBARU - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD Riau mengapresiasi dan mengucapkan terimakasih kepada Pemerintah Provinsi Riau dan Bank Riau Kepri yang telah mengusulkan Ranperda Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Bank Pembangunan Daerah Riau Dari Perusahaan Daerah (PD) Menjadi Perseroan Terbatas (PT) Bank Pembangunan Daerah Riau.  

Poin utama dari Ranperda ini ialah menjadikan Bank Riau Kepri menjadi Bank Riau Kepri Syariah. Rencana konversi ini sebenarnya sudah cukup lama dan telah dibahas secara bertahap dan maraton oleh Pemerintah Provinsi Riau dan Bank Riau Kepri (BRK).

Ketua Fraksi PKS, Markarius Anwar mengatakan, ini merupakan ikhtiar yang perlu disambut dengan suka cita dan penuh optimisme. Mengingat Riau dengan budaya Melayu yang berangkat dari nilai Islam sudah sepantasnya tampil percaya diri dengan nilai tersebut.

"Alhamdulillah di awal tahun 2021 ini kita sudah sampai pada tahap pembentukan Panitia Khusus (Pansus) di DPRD Riau, semoga 0roses pembahasan nantinya mampu memberikan kejelasan kepastian hukum terkait pengelolaan BRK di masa akan datang," ujar Markarius, Selasa (5/1/2021).

Kejelasan yang dimaksud pria yang biasa disapa Eka ini adalah memberikan kejelasan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan BRK Syariah, kejelasan hak dan kewajiban bagi pihak ketiga yang berhubungan dalam lingkup lebih luas, dan memberikan kejelasan dan kepastian hukum bagi pengelolaan dana yang disertakan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau pada BRK Syariah. 

Selain itu, pembahasan nantinya diharapkan tidak hanya berkutat soal aspek yuridis semata tapi juga implikasi sosiologis BRK ke depan. 

"Ketika BRK hijrah ke syariah maka framework dan pemahaman organisasi terhadap ilmu syariat harus paripurna. Karena syariah bukan jargon dan sekedar 'pelaris dagangan'," tegasnya.

Dilanjutkan Eka, pihaknya sangat mendukung proses konversi Bank Riau Kepri ini menjadi Bank Riau Kepri Syariah. Apalagi, di Indonesia sudah ada dua Bank Pembangunan Daerah (BPD) berubah ke system syariah, yaitu Bank Aceh dan Bank NTB. Keinginan mulia ini patut diapresiasi dan kita dukung bersama. 

Alasan paling mendasar, tentunya karena Riau budaya melayu kental dengan nilai keislaman, yang mencakup segala lini kehidupan termasuk ekonomi. Namun, alasan ini tentu tak semata sentimen keagamaan semata, potensi ketika BRK dikonversi ke syariah juga menjanjikan. 

Dari data dan informasi yang ada, apabila dikonversi ke syariah akan memberikan kontribusi bagi peningkatan pangsa pasar perbankan syariah nasional. 

Dengan profil aset senilai Rp. 25,5 Triliun, membuat BRK berpeluang masuk jajaran 10 bank syariah terbesar di Indonesia, bahkan berpeluang masuk 5 besar. 

Selain itu pada pada tahun 2019, berdasarkan data yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), industri perbankan syariah berhasil mencatatkan pangsa pasar sebesar 6,13% dari sisi aset dibandingkan seluruh perbankan.

"Pencapaian tersebut merupakan momentum penguatan bagi industri perbankan syariah kedepan. Sekarang bagaimana peluang dan optimisme tersebut kita matangkan dan awali dengan mendukung proses yuridis ini," terangnya.

PKS juga mendorong Pemprov Riau dan BRK untuk menempatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang benar-benar memahami sistem perbankan syariah ini. Mulai dari Komisaris, Dewan Pengawas, Direksi sampai kepada pejabat-pejabat lainnya harus orang-orang yang memiliki kepahaman dan latar belakang keilmuan ekonomi syariah dan pengalaman dalam perbankan syariah. 

Hal ini sangat penting, karena prinsip syariah yang akan dipakai dalam segala bentuk akivitas BRK kedepannya tentu harus di handle oleh orang-orang yang ahli dalam bidang ekonomi dan perbankan syariah. 

"Penempatan SDM sesuai dengan keahliannya ini juga sesungguhnya sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi 'jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran'," sambungnya.

Selanjutnya, sebagai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), BRK memiliki peran penting yaitu harus mampu mendapat keuntungan dan profit sebesar-besarnya bagi daerah. Namun, disisi lain BRK juga dituntut untuk dapat memberi manfaat nyata dan langsung dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat Riau. 

Oleh karena itu Fraksi PKS mendorong BRK ketika sudah hijrah ke sistem syariah untuk lebih diperkuat memberikan manfaat kepada masyarakat Riau, terutama melalui program-program yang menyasar sektor riil, yaitu mendorong pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) serta memasifkan program-program CSR. 

"Kita tak ingin nantinya BRK hanya berpihak dan meilirik pembiayaan dan pelaku usaha besar saja, dan menomorduakan pelaku usaha menengah kecil dan UMKM. Kita menuntut perlakuan sama istimewanya, karena UMKM penggerak ekonomi riil bangsa" tuturnya.

Program-program CSR ini diharapkan mampu membantu baik fasilitas umum seperti rumah ibadah dan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya. Embel syariah, katanya harus dimaknai secara totalitas oleh segenap insan di BRK, supaya nilai manfaat bisa terwujud. 

"Mengingat salah satu prinsip penting dalam karakter sistem ekonomi Islam adalah untuk mewujudkan keadilan sosial, yang menghendaki kepedulian dan mencegah ketimpangan dan kesenjangan ekonomi di tengah masyarakat," ulasnya.

Fraksi PKS juga mengapresiasi adanya penambahan poin dalam Ranperda ini, yakni pada Pasal 6 ayat 1c dimana dalan menjalankan fungsi sosial lainnya dengan menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat termasuk memanfaatkan harta agama untuk kemaslahatan umat berdasarkan prinsip syariah.

"Redaksi ini nantinya perlu diperkuat lagi, selain itu juga belum menyebutkan wakaf secara khusus. Padahal pengelolaan Zakat, Infak dan Wakaf (Ziswaf) punya kekuatan luar biasa dalam rangka memberi nilai kemanfaatan ekonomi bagi masyarakat. Teruntuk wakaf, baik berupa dana dan harta benda berharga termasuk pemanfaatan 'lahan tidur' dapat dikelola dan dimanfaatkan sehingga manfaatnya dapat dirasakan bagi masyarakat dan memperkuat perekonomian daerah," jelasnya.

Jika dilihat data pembiayaan atau penyaluran kredit yang dilakukan oleh BRK selama ini, sepertinya sangat dominan dari penyaluran kredit konsumtif, terutama dari ASN yang hanya dengan memberikan jaminan SK PNS, angka penyaluran kalau dilihat sejak Tahun 2017 cendrung mengalami kenaikan. Dimana, pada tahun 2019 angka penyaluran kredit konsumtif BRK sebesar Rp.14,2 T.

Dengan hijrah ke sistem syariah, hal seperti ini tentu menjadi pekerjaan yang tidak mudah bagi BRK kedepannya. 

Selain tu, pertumbuhan ekonomi Riau yang hanya tumbuh di angka 2,84%, menjadi sinyal bahwa sektor konsumsi masyarakat terganggu, dan dari angka 2,84% tersebut sektor jasa keuangan dan perbankan hanya berkontribusi sedikit. 

"Dengan kondisi ini kita membaca fokus utama masyarakat ketika memperoleh uang adalah memenuhi kebutuhan pokoknya, sedangkan aktivitas menabung bukan menjadi prioritas karena antara pendapatan dan belanja terdapat perbedaan yang begitu besar, bagaimana tantangan ini kedepannya bagi BRK," tegasnya.

Terakhir, zalah satu konsekuensi yang disyaratkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Pengawas Bank se-Indonesia ketika Konversi Bank Konvensional ke Bank Syariah yaitu adanya setoran modal/ekuitas. 

"BRK merupakan BUMD yang modalnya sebahagian besar dari Pemerintah Provinsi Riau, tentu ini akan dibebankan kepada APBD Provinsi Riau. Oleh karena itu F-PKS meminta penjelasan dari Pemerintah Provinsi Riau terhadap kesiapan anggaran dalam setoran modal/ekuitas ini," tutupnya.***