JAKARTA - Partai Persatuan Pembangunan (PPP), mengklaim akan mendapat jatah lebih dari satu kursi menteri. Hal Ini diungkapkan Sekjen DPP PPP Arsul Sani, saat dihubungi wartawan, Kamis (15/82019).

"Insyaallah tidak (kursi PPP berkurang), yang jelas lebih (banyak) dari yang sekarang," kata Arsul.

Menurut Arsul, jumlah kursi tersebut berbeda dengan periode kepemimpinan Jokowi pada 2014-2019 yang hanya mendapat satu kursi, yakni Lukman Hakim Saifuddin sebagai Menteri Aagama.

Sebelumnya diberitakan, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Kabinet Kerja pada periode mendatang akan diisi menteri dari partai politik memiliki porsi yang sedikit lebih kecil ketimbang kalangan profesional.

Perbandingan menteri dari kalangan profesional dengan unsur partai politik adalah 55 persen berbanding 45 persen. Ada juga menteri muda usia 25 tahun dan satu kepala daerah yang akan masuk jadi menteri.

Analis politik dan Direktur Indostrategi Arif Nurul Imam menilai susunan kabinet yang terdiri 45 persen partai politik berpotensi membuat koalisi pendukung Presiden Joko Widodo gelisah. Sebab, porsi sebesar 45 persen tentunya akan mengurangi jatah kursi yang digantikan oleh kelompok profesional sebesar 55 persen.

"Situasi ini tentu menjadikan parpol gelisah karena praktis akan mengurangi jatah kursi menteri yang digantikan kaum profesional," ujar Arif seperti dilansir GoNews.co dari Kompas.com, Kamis (15/8/2019).

Seperti diketahui ada enam parpol di DPR yang tergabung dalam koalisi pendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin pada Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019.

Keenam parpol tersebut adalah PDI-P, Partai Golkar, Partai Nasdem, PKB, PPP, dan Partai Hanura. Arif menilai, koalisi pendukung dapat terpecah jika Presiden Jokowi gagal mengelola konflik dan manajemen politik.

Namun, koalisi juga dapat semakin solid apabila Presiden Jokowi berhasil melakukan negosiasi dan kompromi politik. "Di politik semua mungkin, bisa pecah jika gagal mengelola konflik dan manajemen politik. Tapi bisa juga tetap solid jika ada negosiasi dan kompromi politik," kata Arif.

"Meski demikian, sekali lagi, Jokowi di periode kedua tak memiliki beban sebesar (Pilpres) 2014 karena 2024 tidak bisa maju lagi," ucapnya.***