SETELAH 30 menit mini bus yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan sedang dari persimpangan Jalan Lintas Sumatera, di Pasar Baru, Kecamatan Bayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, kami menemukan penunjuk arah bertuliskan ''Air Terjun Bayang Sani'', di sebelah kanan jalan.

Kami pun kemudian berbelok ke kanan, memasuki jalan kecil yang sudah beraspal tersebut. Ya, kami memang bermaksud menuju air ke terjun Bayang Sani.

Sekitar sepuluh menit menyusuri jalan kecil di tengah pemukiman, sawah dan kebun penduduk, kami pun tiba di lokasi yang dituju, air terjun Bayang Sani. Setelah memarkirkan kendaraan, kami turun ke lembah, tempat jatuhnya air terjun.

Pemandangan eksotis nan menakjubkan langsung kami nikmati. Dinding bukit tempat turunnya air dalam jumlah besar terlihat memutih seperti salju. Suara gemuruhnya terdengar sangat keras.

Air yang terjun dari ketinggian sekitar 80 meter itu jatuh ke kolam di lembah kaki bukit. Kami pun tak sabar untuk menceburkan diri dan merasakan sejuknya air kolam pemandian di kaki air terjun tersebut.

Ternyata benar, airnya sangat sejuk. Sayangnya, ketika itu airnya tidak terlalu jernih, karena dua hari sebelumnya turun hujan lebat.

Yang menakjubkan lagi, batu-batu dalam kolam pemandian dan sekitarnya, tidak ada yang licin, sehingga tidak perlu khawatir tergelincir, namun harus tetap berhati-hati.

Kolam pemandian yang ada di kaki air terjun tersebut ternyata tidak terbentuk secara alami, melainkan sengaja dibuatkan beton penampung airnya, sehingga air tidak langsung mengalir ke sungai yang berhulu ke air terjun tersebut.

Menurut cerita penduduk setempat, beton penampung air di kaki air terjun tersebut sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. ''Beton itu dibangun orang Belanda, makanya kuat. Tidak pernah rusak, meski sering dihantam banjir besar,'' kata Erlisna (60), saat berbincang-bincang di lokasi air terjun, Sabtu (28/12/2019).

Wanita yang mengaku lahir di kampung Bayang Sani itu menambahkan, berbeda dengan beton yang dibangun orang Indonesia, dalam beberapa tahun saja sudah hancur. ''Itu, beton yang hancur itu, orang kita yang bangun beberapa tahun lalu,'' kata Erlisna, sambil menunjuk ke arah beton yang hancur.

Disambung Erlisna, orang Belanda sengaja membuatkan kolam di bawah air terjun sebagai tempat pemandian, terutama tempat mandi dan berenang bagi istri dan anak-anaknya, termasuk anak gadisnya (noni Belanda).

Pada masa penjajahan Belanda dulu, kata Erlisna, di sekitar air terjun itu terdapat perumahan orang Belanda. Namun yang mandi dan berenang di kolam pemandian itu bukan hanya orang Belanda yang berdiam di situ, melainkan juga orang-orang Belanda yang tinggal di Painan dan Padang. ''Mereka sengaja datang ke sini untuk mandi. Begitulah kata orang-orang tua dulunya,'' ujarnya.

Orang Belanda, kata Erlisna, menyebut kolam pemandian itu walkum. Namun Erlisna mengaku tidak tahu apa arti walkum tersebut. ''Orang Belanda menyebutnya walkum, tapi kami tak tahu apa artinya,'' akunya.

Mungkin walkum yang disebut Erlisna maksudnya adalah vall koem (bahasa Belanda), yang artinya lembah sapi. Mungkin saja dulu di lembah tersebut banyak ternak sapi milik penduduk, sehingga orang Belanda menyebutnya lembah sapi.

Selain air terjun yang ada di lembah, kata Erlisna, masih ada enam air terjun lain di atasnya, namun yang sering didatangi wisatawan hanya tiga. ''Yang empat lagi, lokasinya agak jauh dan jalannya sulit,'' ujarnya.

Anda berminat mandi dan berenang di kolam pemandian noni Belanda? Silakan datang ke air terjun Bayang Sani. Setelah puas merendam di air terjun Bayang Sani, Anda bisa pula menikmati pesona jembatan akar yang jaraknya hanya sekitar 5 kilometer dari air terjun Bayang Sani.***