HARI ini ada rapat kerja dengan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Provinsi Riau di ruang Komisi D DPRD Provinsi Riau. Banyak hal yang akan kita bahas.

Beberapa hari belakangan, komentar saya tentang Dispora memang menghiasi banyak media harian terbitan Pekanbaru. Isinya mengkritisi prestasi olahraga kita yang melorot pada event Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) XII tahun 2013 di Jakarta.

Riau hanya mampu menduduki peringkat enam, dengan mendulang 10 medali emas, 12 perak dan 17 perunggu. Hasil ini jauh anjlok dari event serupa saat berlangsung di Riau dua tahun sebelumnya, 2011. Saat itu Riau mampu mendulang sebanyak 30 emas, 27 perak dan 24 perunggu.

Artinya Riau kehilangan sekitar 20 medali emas pada sejumlah nomor cabang olahraga yang selama ini diunggulkan. Ada apa ini. Lorotannya kok jomplang sekali. Dari 30 emas menjadi 10 medali emas. Masyarakat pun banyak bertanya-tanya, apa yang terjadi.

Kalau soal sarana penunjang untuk latihan, saya pikir sarana yang ada di Riau cukup mumpuni. Sebab Riau baru saja menjadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII 2012. Sehingga sarana gedung masih sangat kinclong dan bahkan ada beberapa berstandar internasional.

Alhasil sarana olahraga yang dimiliki saya pikir lebih dari cukup. Itu artinya para atlet bisa berlatih maksimal sebagai persiapan jelang bertanding.

Terus bagaimana masalah anggaran. Saya pikir juga tak ada masalah. Sebab lewat APBD Provinsi Riau 2013, tersedia anggaran sebanyak Rp 4 miliar khusus untuk POPNAS. Tentu jumlah yang tidak sedikit.

Dari jumlah Rp 4 miliar itu, digunakan untuk bonus atlet dan para pelatih yang mampu menyumbang medali sebanyak Rp 1,1 miliar. Sisanya untuk pembinaan, Training Center (TC) dan lain-lain.

Apalagi yang kurang ya? Fasilitas lengkap dan duit ada. Tapi kok melorot jauh prestasinya. Bertolak dari situ, setelah melalui rapat internal Komisi D yang saya pimpin sendiri sebagai ketua, akhirnya diputuskan gelar rapat kerja, untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi.

Ya, sudah dapat ditebak. Edi Satria selaku Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Provinsi Riau yang langsung datang bersama sejumlah stafnya, memiliki beragam alasan yang terkesan ngeles. Cari-cari alasan.

Kira-kira seperti ini jawabannya. Saat Popnas berlangsung di Jakarta, banyak nomor lomba cabang olahraga yang menjadi andalan Riau, tidak dipertandingkan di Popnas Jakarta. Alasan lain: banyak penilaian wasit dan juri yang tidak fair sehingga merugikan atlet Riau.

Misalnya cabor tinju. Harusnya Riau bisa meraih empat medali emas, namun dalam partai final hanya mampu mendulang dua medali emas saja. Wasit dinilai berat sebelah. Itu kata mereka di antara penyebab melorotnya prestasi Riau. Pokoknya seribu satu alasan.

Hebatnya, akibat lorotan prestasi tersebut, dana bonus yang sudah disiapkan sebesar Rp 1,1 miliar, masih tersisa banyak dan harus dikembalikan ke kas daerah. Untuk atlet peraih medali emas, menerima bonus sebesar Rp17,5 juta. Atau naik sebesar Rp2,5 juta jika dibandingkan Popnas sebelumnya yang hanya Rp 15 juta.

Sementara peraih medali perak yang periode sebelumnya hanya menerima Rp 10 juta, kali ini menerima Rp12,5 juta dan perunggu yang sebelumnya Rp 5 juta menjadi Rp7,5 juta. Kemudian untuk pelatih yang atlet binaannya berhasil meraih medali, akan mendapat bonus yang besarnya setengah dari angka bonus atlet per medali.

Dari hitung-hitung perolehan medali tersebut, dana yang terserap hanya sekitar Rp710 juta dari Rp 1,1 miliar yang sudah disiapkan pemerintah. Sehingga masih ada sisa anggaran mencapai sekitar Rp390 juta lagi.

Ya, inilah fakta. Dana ada dengan bonus besar dan fasilitas mumpuni, tapi ternyata tak mampu menghasilkan prestasi memuaskan. Saya pikir ini masalah dan sepertinya ada persoalan dengan proses pembinaan kita. Perlu ada evaluasi serius dan menyeluruh.

Dari hasil telisik yang saya dapat, termasuk dari rekan-rekan media, memang banyak info miring di internal Dispora Provinsi Riau, yang menyebabkan prestasi melorot. Di antaranya: ada atlet yang dikirim ternyata bukan atlet yang betul-betul berprestasi. Pemilihan atlet lebih kepada factor kedekatan.

Kemudian sesama pengurus internal cabang olahraga ada yang tidak harmonis. Dampaknya, proses pembinaan tidak berjalan optimal. Info miring yang saya dapatkan ini memang sudah dibantah oleh Kadispora, Edi Satria, saat rapat kerja berlangsung.

Tapi saya tentu tidak sepenuhnya percaya atas bantahan tersebut dan ini akan tetap menjadi catatan kami. Untuk itu saya berpesan kepada para pengurus agar bisa bekerja serius sehingga membuahkan prestasi yang membanggakan.

Kedepan tak ada alasan untuk tidak berprestasi. Sebab semuanya sudah ada. Duit ada dan sarana juga ada. Bahkan sangat mumpuni. Jika tidak juga mampu berprestasi, saya sarankan untuk segera mencari pengganti unsur pimpinan yang bisa bekerja lebih baik. ***

Jumat, 4 Oktober 2013

Penulis adalah Ketua Komisi D DPRD Provinsi Riau