PERBUATAN-PERBUATAN yang dilakukan oleh anak-anak remaja sekarang seperti: geng motor, tawuran, penodongan, menyiram air keras pada penompang bus dan lain sebagainya sangat memprihatinkan kerhidupan generasi muda. Kejadian ''berzinah'' yang dilakukan oleh dua remaja pelajar sebuah SMP di jakarta yang heboh dibicarakan di media, menambah sederetan kelakuan remaja yang terindikasikan betapa hancurnya dekadensi moral dan perilaku anak-anak muda bangsa ini.

Kita tidak akan membantah penyebabnya tentu, tidak terlepas dari kehidupan rumah tangga yang kini sudah terserang penyakit materialistis sehingga disadari ataupun tidak telah merusak tata nilai hidup keluarga. Tidak terkecuali di lingkungan sekolah yang jauh dari kedisipliner dan tentu saja sebagai akibat dari kondisi negara yang serba kompleks dengan berbagai masalah hukum, politik serta ekonomi.

Perbuatan yang tidak senonoh (kalau boleh saya katakan persetebuhan) antara dua remaja yang masih duduk di bangku sekolah sebuah SMP di Jakarta yang hampir setiap hari memenuhi lembaran berita di semua masmedia itu, merupakan tamparan hebat negara, dimuka para pemimpin negeri ini. Terutama para pejabat yang berada di Insitusi Pendidikan yang bertanggung jawab tentang pendidikan moral anak dan juga para aparat hukum.

Dalam beberapa pemberitaan dan tayangan mas madia yang saya baca, sangat memprihatinkan saya, mengapa beberapa orang pakar hukum maupun pakar sosial negeri ini membicarakan / mempermasalahkan sesuatu yang sangat tidak relevan sekali. Kebanyakan mereka mempersoalkan perbuatan anak-anak itu sebagai ''telah terjadi permerkosaan'' atau tentang ''dilakukan suka sama suka''. Suatu masalah yang sama sekali tidak ada urgensinya. Mereka bukannya mencari cara menuntaskan kebejadan moral anak-anak terutama apa yang dilakukan oleh kedua remaja atau mencari sebab musababnya.

Perbuatan ''bejad moral'' yang terjadi di salah satu SMP Jakarta itu, ditinjau dari materi perbuatannya menurut saya tidak lagi sebuah ''kenakalan anak remaja'', akan tetapi jelas merupakan suatu perbuatan ''kriminalisatas'' yang dilakukan oleh kedua anak remaja. Kenakalan remaja yang kemudian mengakibat kejahatan seperti tawuran/perkelahian, ejek mengejek yang akhirnya menimbulkan akibat masih dapat ditolerir sebagai kenakalan remaja. Itupun harus didisplit. Bila perbuatan itu dilakukan dengan membawa klewang panjang, pistol atau mungkin juga dengan mempergunakan bom molotof diambil dari rumah, maka sifat itu sudah menjadi suatu perbuatan ''criminal behavior''. Bukan lagi sebagai kenakalan. Perbuatan (Crimenal behavior) ini hanya dapat dilakukan oleh orang dewasa karena daya pikir manusia yang sudah matang ingin membalas dendam. Apakah sifat perbuatan itu masih dapat dikategorikan ''kenakalan anak remaja? Perbuatan yang dilakukan oleh anak remaja itu masih dalam konteks psikologi anak yang bersifat emosional berkelebihan, naluri anak muda mencari jatidirinya dan namun tidak mampu menguasai diri. Sikap-sikap itu masih wajar mendapat perlindungan hukum yang diberikan oleh negara, seperti yang telah termuat di dalam UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, diatur didalam pasal 1 huruf (b) dan (p).

Kejadian yang terjadi pada kedua anak remaja SMP tersebut diatas menurut saya tidak lagi dapat dikategorikan sebagai suatu kenakalan remaja, akan tetapi merupakan suatu perbuatan kriminal murni (pure crimanal) yang hanya dapat dilakukan orang sudah dewasa. Sifat perbuatan anak itu sudah menjurus pada klasifikasi perbuatan orang dewasa atau orang sudah berkeluarga. Alam pikiran anak yang belum dewasa (remaja) demikian itu, sudah terlalu jauh pengetahuannya dan pengertiannya tentang ''sexologi'' kemudian ia melakukan perbuatan. Di saat itu, pribadinya sudah terlepas dari sifatnya sebagai orang yang belum cukup umur. Dengan kata lain perbuatannya bukan lagi sebagai kenakalan remaja. Perbuatan itu telah menjurus dan terindikasi kejahatan seksual. Seorang anak yang belum berumur 16 tahun telah menikah menurut hukum sudah dinyatakan sebagai orang dewasa dan remaja itu tidak akan kembali pada status semula (anak dibawah umur/belum dewasa) sekalipun kemudian ia bercerai masih dalam usia yang masih belum dewasa. Status hukum anak itu tetap dinyatakan sudah dewasa.

Jadi yang perlu dipikirkan perbuatan anak remaja yang sudah melaku berbuatan yang seharusnya dilakukan oleh perbuatan orang dewasa (bersetubuh), masih wajarkah ditolerir sebagai kenakalan remaja. Sifat, tingkah laku dan perbuatan anak seperti itu jelas tidak dapat diidentifikasi sebagai kenakalan remaja lagi. Pemikirannya sudah jauh melampaui dan memasuki alam pemikiran orang yang sudah dewasa (dapat dianalogikan dengan contoh diatas). Anak itu sudah dapat menikmati perbuatannya melakukan persetubuhan, karena itu pula ia lakukan dengan berulangkali. Masih patutkah kita memprediksikan perbuatan anak seperti itu sebagai suatu kenakalan remaja semata.

Pemerintah, dalam hal ini penegak hukum harus dengan tegas dapat mengklasifikasi, memilah dan memisahkan kedua perbuatan ''kenakalan remaja dan kejahatan remaja''. Ini perlu, karena jika semua perbuatan/kriminal anak yang belum dewasa selalu saja dikualifikasi sabagai suatu ''kenakalan remaja'' tanpa menilai secara substansional perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak remaja/yang belum cukup umur, maka pada gilirannya para remaja negeri ini merasa akan mandapat ''payung'' untuk dapat berteduh, dengan asumsi hanya sebagai perbuatan kenakalan anak-anak. Konsekuensi logisnya, maka remaja seperti itu akan berulangkali melakukan perbuatan seperti itu, ia merasa perbuatannya masih dikualifikasi sebagai ''kenakalan anak remaja''.

Saya tidak ingin memberi greenlight pada Komisi Perlindungan Anak, namun dari pengamatan yang saya amati selama ini, jika seorang anak dibawah umur terlibat kriminalitas maka Komisi Perlindungan Anak selalu dengan cekatan terjun mendampingi anak yang terlibat kriminalitas itu tanpa mendalami substansi perbuatan yang dilakukan oleh anak remaja itu. Kita perlu memberi therapi khusus pada anak-anak yang umurnya masih muda akan tetapi alam pikiran dan perbuatannya sudah cukup dapat dikategori sebagai perbuatan orang dewasa. Agar anak itu jera atas akibat dari perbuatan yang sudah dilakuannya. Sudah seharusnya remaja seperti itu tidak diberikan fasilitas sebagai anak yang belum cukup umur. Kita jangan terlalu terinspirasi dengan formulasi undang-undang tanpa berkorelasi dengan disiplin ilmu pengetahuan lainnya seperti ilmu sosial, psikologi, adat istiadat dan lain sebagainya.

Dalam beberapa hukum positif yang berlaku, terdapat perbedaan tentang batas umur seseorang yang telah dianggap dewasa. UU Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana batas umur dewasa adalah 17 tahun, dalam UU nomor 4 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan batas umur dewasa 16 tahun, Undang Perlindungan Anak UU nomor 23 tahun 2002 batas umur dewasa 18 tahun, sedangkan didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke wetbook) disebutkan batas umur dewasa 21 tahun. Jadi dari sini dapat diinterprestasikan batas umur selalu dihubungkan dengan kondisi tertentu. Implikasi undang-undang atau peraturan hukum senantiasa berkorelasi dengan kondisi masyarakat dimana hukum itu berlaku serta sifat intelejensia seseorang yang melakukan perbuatan. Soarang anak yang belum dewasa tapi sudah menggondol titel Sarjana masih patutkah bila melakukan perbuatan / kejahatan yang dilakukannya itu, kita mengkategorikan sebagai kenakalan remaja. Perlu kita pikirkan bersama. ***

Jakarta, Oktober 2013

* Penulis adalah orang Riau yang bermastautin di Jakarta.