SELATPANJANG - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kepulauan Meranti mengakui miskomunikasi dan kesalahan pada saat pendistribusian undangan kepada sejumlah wartawan.

Sebagaimana disampaikan Divisi Parmas dan SDM KPU Kepulauan Meranti, Hanafi SSos bahwa pihaknya mengakui atas kesalahan tersebut dan sesegera mungkin akan melakukan pertemuan dengan sejumlah wartawan untuk menjelaskan persoalan yang terjadi.

"Ini terjadi miskomunikasi dan kesalahan pada saat pendistribusian undangan. Yang bisa masuk cuma 10 orang perwakilan dari media, jadi kita batasi satu organisasi perwakilan dua wartawan. Ketentuan itu sudah diatur di PKPU dan tidak boleh lebih dari 50 orang, contoh pencabutan nomor urut yang bisa masuk cuma 5 orang," ujar Hanafi, Kamis (24/9/2020) malam.

Dijelaskan Hanafi, pihaknya tidak bisa membuat kebijakan lebih karena sudah ada aturan yang mengatur dan jika melanggarnya maka akan berbentur dengan aturan yang ada.

"Kalau bicara kaku memang kaku di KPU ini aturannya. Kalau seandainya nanti kita paksakan nanti dan melanggar aturan sehingga ada yang melapor telah melanggar PKPU sekian-sekian, nah itu akan jadi temuan Bawaslu, atau mereka nanti bisa melapor ke BKPP dan ini menjadi persoalan baru. Kami pikir barang ini sudah selesai sama adik-adik panitia ternyata ada kesalahan dalam penulisan undangan. Konslet memang pada adik-adik dibawah itu pada saat memberikan ID card," pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, sejumlah wartawan yang bertugas di Kabupaten Kepulauan Meranti merasa kecewa dengan pihak penyelenggara Pilkada dalam hal ini KPU Kepulauan Meranti.

Para wartawan yang diundang dalam kegiatan deklarasi damai pasangan calon dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kepulauan Meranti pada Kamis (24/9/2020) bertempat di Hotel Grand Meranti itu sempat adu mulut saat dihalangi dan tidak dibolehkan masuk.

Aldo, salah seorang wartawan yang sempat dihalang masuk saat hendak melakukan peliputan mengaku kecewa dengan pihak KPU Kepulauan Meranti.

"Kalau tak dibolehkan masuk, harusnya KPU tak usah mengundang kita. Ini sudah diundang dan diminta bawa undangan tapi eh malah tak dibolehkan masuk," ujar Aldo dengan nada sedikit emosi.

Menanggapi hal itu, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kepulauan Meranti, Syamsidir menyayangkan sikap dan kinerja pihak KPU.

"Kita sangat menyayangkan pihak KPU karena mereka tidak profesional. Jadi, kita terpaksa menarik anggota dari pada ribut disana. Yang jelas ini kerja tidak profesional karena mereka yang mengundang malah tak diizinkan masuk," ujarnya.

Menurut Atan sapaan akrabnya, terlepas dari persoalan undangan ini, pihak KPU juga telah mempermalukan para wartawan di depan kalayak ramai.

"Ini sama saja mempermalukan kita didepan kalayak ramai. Kalau memang kegiatannya dibatasi dan tak dibolehkan masuk harusnya tak diundang seperti itu," pungkasnya.

Sekretaris PWI Meranti, Safrizal menambahkan bahwa wartawan pada umumnya bertugas mencari dan mengumpulkan informasi untuk disiarkan dan dipublikasikan ke media tempat wartawan bertugas. Hal itu dijamin dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dimana pada pasal 4 ayat 3 dinyatakan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

"Kalaupun ada skenario peliputan terbatas ke dalam ruangan pencabutan nomor urut Paslon, harusnya diinformasikan secara intens. Sehingga, kawan-kawan wartawan bisa mengetahui dan memahaminya. Tapi persoalannya pihak KPU tidak pernah mensosialisasikannya. Bahkan, saya sudah menanyakan langsung sehari sebelumnya tentang teknis peliputan kepada KPU, tapi tak dijawab secara pasti. Padahal agenda ini bukan kali ini saja dilaksanakan di daerah. Dalam Pilkada sebelumnya, teknis peliputan dibicarakan dengan mengundang wartawan secara menyeluruh agar proses peliputan dan kegiatan bisa berjalan lancar dan aman," terangnya.

Apalagi, Pilkada dilaksanakan dimasa Pandemi Covid-19. Harusnya, situasi tersebut bisa menjadi alasan kuat agar koordinasi yang intens dapat dilakukan penyelenggara dengan wartawan demi terciptanya Pilkada yang tetap memperhatikan protokol Covid-19.

Lebih jauh, wartawan yang akrab disapa Ijat ini berharap agar persoalan serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang. Karena tahapan Pilkada masih terus berjalan.

"Jika wartawan dicegah untuk mengumpulkan informasi terkait proses pelaksanaan Pilkada, bagaimana terjaminnya informasi yang benar. Karena salah satu informasi yang dapat dipertanggungjawabkan adalah melalui media massa. Dimana hal itu dapat mencegah terjadinya penyebaran hoaks," tegasnya.***