JAKARTA - Tenis Meja. Nama cabang olahraga ini pernah populer bersamaan seperti juga  bukutangkis. Hampir di setiap kelurahan dan sekolah-sekolah kita bisa menyaksikan dari mulai anak-anak hingga orang tua keranjingan permainan tenis meja. Bahkan, mereka yang ingin bermain rela antri hingga patungan membeli bad hingga bola tenis meja.

Di tahun 70 hingga 90-an, tenis meja Indonesia sempat merajai Asia Tenggara. Kejayaan itu terengkuh saat PB PTMSI dipimpin mantan Jaksa Agung Ali Said SH. Sebut saja nama Diana Wuisan, Anton Suseno, Toni Meringgih, Lingling Agustin, Rosi Syeh Abubakar, Ismu Harinto, dan Deddy Dacosta. Nama-nama itu sangat populer di kalangan masyarakat olahraga dan selalu menghiasi pemberitaan berbagai media. Mereka punya penggemar fanatik yang selalu datang memberikan dukungan pada saat pertandingan.

Prestasi tenis meja mulai meredup saat PB PTMSI dipimpin Datok Tahir. Suasana semakin tidak kondusif setelah Datok Tahir yang berambisi memimpin untuk tiga periode mendapat perlawanan. Organisasi tenis meja pun terbelah.

Tak terasa sudah  kurang lebih10 tahun lebih terjadi dualisme organisasi tenis meja. Tak ada yang mau mengalah baik Pengurus Besar Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PB PTMSI) di bawah kepemimpinan Pieter Layardi yang melanjutkan kepemimpinan Lukman Edy maupun Pengurus Pusat Persatuan Tenis Meja (PP PTMSI) di bawah kendali Oegroseno. Sebelum Lukman Edy jabatan Ketua Umum PB PTMSI pernah dipegang mantan Ketua DPR RI, Marzuki Alie selama 1 tahun 3 bulan. 

Miris memang. Olahraga yang begitu populer di masyarakat sudah terkubur. Tak terlihat lagi masyarakat bermain tenis meja. Tak terdengar lagi kompetisi tingkat lokal maupun nasional yang digelar. Yang lebih menyedihkan lagi, tak ada nama atlet tenis meja nasional tercantum dalam Kontingen Indonesia. Baik pada saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 2018 maupun SEA Games Manila 2019. Bahkan, tenis meja yang merupakan cabang olahraga resmi Olimpiade pun tak dimainkan pada PON Papua XX 2021.  

"Saya tidak mau menyalahkan siapa pun. Sebagai mantan atlet dan mantan pengurus PB PTMSI, saya sedih melihat kondisi tenis meja Indonesia dan hanya bisa berharap tenis meja kembali seperti semula," kata mantan Sekjen PB PTMSI pimpinan Lukman Edy, Robert Hermawan yang ditemui di Jakarta, Senin (19/10/2020).    

Robert Hermawan sempat menitikkan air mata saat diajak berbincang tentang olahraga tenis meja. Mantan atlet tenis meja Jawa Tengah sepertinya sudah merasa putus asa dengan usaha yang telah dilakukan. Pria lulusan Southeast Missouri State University Cape Girardeau Amerika Serikat ini pernah mengimbau pengurus PB PTMSI dan PP PTMSI membuang ego demi kepentingan tenis meja Indonesia ke depan.  

Bersama istri. 

"Ayolah bicara tenis meja. Buanglah ego masing-masing jika kita memang mengaku sebagai pencinta tenis meja. Terus terang, dualisme organisasi ini jelas telah membunuh karir atlet tenis meja Indonesia untuk bisa mengabdi bagi kepentingan bangsa dan negara," imbuh pria berusia 70 tahun yang 2 cucu dari putri kembarnya.  

"Tanpa kita sadari dosa itu akan terus mengalir jika kita tetap mempertahankan ego masing-masing. Dan, saya berharap pak Oegroseno dan Pieter layardi mau mengedepankan kepentingan atlet dan tampil sebagai penyelamat tenis meja Indonesia," imbuhnya.

Jika pun keduanya tidak mau menyatukan misi mulia menyelamatkan masa depan atlet tesni meja, saudara kembar mantan atlet nasional Johan Hermawan ini hanya berharap kepada Menpora Zainudin Amali sebagai penanggung jawab olahraga Indonesia dan Ketua Umum KONI Pusat. 

"Saya hanya bisa berharap pak Zainudin Amali dan pak Marciano mau mendengar suara hati saya yang ingin tenis meja seperti dulu lagi. Dan, saya yakin pak Menpora dan Ketua Umum KONI Pusat pasti lebih mementingkan masa depan atlet tenis meja," imbuhnya.  

"Mungkin satu-satunya jalan pak Menpora memerintahkan KONI Pusat menggelar Munaslub PTMSI  kembali untuk mempersatukan tenis meja. Semua yang pernah terlibat dalam dualisme jangan diperkenankan terlibat dalam Munaslub itu termasuk saya sendiri," tutupnya. ***