BEIJING -- Komunitas Muslim etnis Uighur dan Turki di Xinjiang, China, belum berani menunaikan ibadahah puasa Ramadhan, meskipun aturan yang membatasi telah dikurangi otoritas China.

Dikutip dari Republika.co.id, pihak berwenang menyebutkan, umat Islam di Xinjiang masih menahan diri untuk berpuasa karena khawatir mereka akan dinilai sebagai ekstremis dan ditangkap.  

Selama bertahun-tahun, warga Uighur dan Muslim Turki lainnya di Xinjiang telah dilarang menjalankan puasa selama Ramadhan karena pembatasan agama yang diberlakukan Pemerintah China.

Banyak pegawai negeri, siswa, maupun guru Muslim yang harus dilarang melaksanakan ibadah selama bulan suci tersebut.  

Di daerah tertentu di Xinjiang, pihak berwenang membatasi akses ke masjid. Restoran diperintahkan tetap buka dan warga yang berusia lanjut sering dipaksa menunjukkan bahwa mereka tidak melaksakan puasa maupun ibadah lainnya selama Ramadhan, sebagai contoh untuk komunitas Uighur secara menyeluruh.  

Dilansir RFA, pada Ramadhan tahun lalu, di prefektur Kashgar, sebuah wilayah dengan 83 persen populasi Uighur, penduduk dapat menghadapi hukuman karena berpuasa. 

Salah satu hukumannya adalah mereka akan dikirim ke kamp interniran Xinjiang, di mana pihak berwenang China diyakini telah menahan hingga 1,8 juta warga etnis minoritas Muslim sejak April 2017.  

Namun, dalam laporan terbaru, seorang petugas polisi di Toqquzaq, salah satu bagian Xinjiang mengatakan bahwa pembatasan puasa telah dikurangi di wilayah itu sejak 2020 setelah dilarang keras selama tiga tahun berturut-turut.

Namun, pertemuan publik untuk menyampaikan apa såja yang harus mereka lakukan selama Ramadhan masih digelar.  

Di antara pembahasan dalam pertemuan itu adalah agar warga Muslim menjauh dari ekstremisme agama. Mereka juga diminta untuk tidak mempercayai rumor, namun meyakini partai dan pemerintah yang berkuasa di China.  

Warga di Xinjiang telah diberitahu bahwa mereka dapat melaksanakan puasa jika mau. Sementara mereka yang memilih untuk tidak memiliki tanggung jawab agama masing-masing.  

''Tidak apa-apa bagi orang-orang untuk menjalankan agama di tempat yang sah di mana kegiatan keagamaan diperbolehkan, dan bahwa kami tidak pernah membatasi apa pun,'' ujar petugas polisi tersebut. 

Menurut petugas polisi tersebut, pembatasan puasa dan kegiatan ibadah lainnya selama Ramadhan sangat kesat dilakukan selama tiga tahun berturut-turut yang dimulai pada 2017. 

Sebelumnya, terdapat insiden yang diduga terpengaruh ekstremis religius, di mana restoran di seluruh wilayah Xinjiang ditutup sepenuhnya selama bulan suci tersebut, dan hampir 100 persen orang berpuasa, yang bagi Pemerintah China dinilai sebagai ancaman besar bagi keamanan nasional.  

Tetapi terlepas dari klaimnya bahwa pembatasan telah berkurang mulai 2020, petugas polisi yang sama mencatat bahwa belum melihat siapa pun yang berpuasa di wilayahnya sejak itu. Hal ini menunjukkan bahwa warga Uighur masih terus hidup dalam ketakutan beribadah. 

Seorang penduduk wilayah Kashgar Yengisheher (Shule) mengakui bahwa warga Uighur tidak berani berpuasa pada Ramadhan tahun ini karena khawatir akan menarik perhatian pihak berwenang.

Dia menambahkan bahwa dirinya, serta keluarga dan kerabat tidak mengetahui kapan tepatnya bulan suci Ramadhan akan dirayakan pada 2021.***