RAMADAN tinggal menghitung hari. Kembali kita diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk untuk menggapai tingkat takwa. Puasa yang diinginkan agama yaitu yang disebut puasa Rasulullah, dimana seseorang telah berhasil mempuasakan dirinya dari keingnan yang bersifat duniawi dan hatinya selalu ingat Allah. Islam menginginkan umatnya masuk ke dalam kelompok muttaqin.

Semenjak Republik merdeka sudah 76 kita ber-Ramadan dan kita yang masih hidup ada yang sudah puluhan kali ber-Ramadan, ada yang belasan kali dan sterusnya. Artinya, sudah cukup sering kita berpuasa. Sudah cukup sering kita diajak Allah agar menjadi manusia-manusia mukmin. Untuk kesekian kalinya kita diberi peluang agar pengendalian diri kita semakin baik. Untuk kesekian kalinya kita diminta agar mendalami dan mengamalkan Alquran, yang kesemuanya itu melalui Ramadan, bulan yang penuh berkah dan penuh ampunan.

Oleh karena sudah berkali-kali kita ber-Ramadan seharusnya keseharian kita, perilaku kita akan sesuai dengan yang diinginkan Allah, dimana kesabaran kita teruji dan ego kita terkendali. Kesolehan kita tak ada yang sangsi. Ketaatan kita terhadap perintah dan larangan-Nya terpuji. Kehadiran kita di tengah masyarakat selalu dinanti. Senang melihat orang senang dan susah melihat orang susah. Risau jika berjanji belum ditepati, gelisah jika berhutang belum dilunasi. Segala urusan dipermudah, tidak dipersusah. Dia menjadi seorang pemaaf bukan peminta-minta maaf. Hidupnya penuh keikhlasan, terbiasa berkorban dalam keadaan susah maupun senang. Itulah sebagian karakter orang-orang taqwa yang puasanya berkualitas.

Namun ciri-ciri ini belum kelihatan pada sebagian besar umat islam. Yang tampak dan dirasakan justru sebaliknya, dimana sebagian umat islam memperlihatkan hal-hal yang dilarang agama. Kita selalu kalah ketika tarik menarik antara berbuat baik dan berbuat buruk.

Oleh sebab itu jangan heran jika kemungkaran merajalela. Yang sangat menonjol akhir-akhir ini adalah; narkoba, kebencian, korupsi, fitnah, penipuan dan banyak lagi.

Saat ini sedang terjadi perang intelektual, dimana bermunculan pernyataan-pernyataan dari para elit dan intelektual. Mereka bisa dari politisi, pebisnis, pakar dan tak kalah pula para agamawan. Masing-masing menyatakan merekalah yang benar dan mereka jelas-jelas punya kepentingan masing-masing.

Sasarannya adalah masyarakat luas atau non intelek yang jumlahnya dua pertiga penduduk. Mereka gampang dipengaruhi dan cepat percaya. Mereka sering masuk TV, muncul di media dan kadang-kadang tanpa rasa malu, yang penting masuk TV dan bicara seenaknya.

Inilah kenyataan yang sedang kita alami, kita sudah berkali kali ber-ramadan tapi secara kualitas belum berdampak terhadap keseharian kita. Perlu interospeksi, adakah yang salah dalam kita berpuasa?

Ramadan yag berhasil atau berdampak yaitu Ramadan yang mampu membentuk perilaku keseharian kita yang islami.

Barangkali perlu ditinjau lagi; pertama niat, bukan latah-latahan, orang puasa kita puasa pula, luruskan niat. Kita puasa betul-betul menjalankan perintah Allah.

Selanjutnya pemahaman kita terhadap bulan Ramadan yaitu syarat dan rukunnya serta yang membatalkan. Sangat penting pula pengendalian diri melalui latihan-latihan bulan Ramadan dan berlanjut kesebelas bulan berikutnya. Jangan hanya mampu mengendalikan diri selama Ramadan, setelah itu kembali ke habitat lama.

Insyaallah melalui Ramadan tahun ini kita tetap evaluasi agar puasa kita semakin berkualitas sekaligus predikat muttaqin akan kita nikmati. Dengan demikian negeri kita diyakini termasuk negeri baldatun thayyibatun earabbun ghafur. Wallahu a'lam.***

Drs H Iqbal Ali, MM adalah Ketua STISIP 2008-2016 dan Ketua Dewan Penasihat IKMR Riau.