JAKARTA - Sudah sedemikian sering kita mendengar hal negatif dari anggota DPR, mulai dari korupsi sampai adegan mesum. Wakil rakyat yang seharusnya menjadi contoh bagi rakyat, yang terjadi, jangankan menjadi teladan yang ada justru rakyat seringkali dibuat sakit hati dengan perbuatan para wakil rakyat.

Namun sosok Pasangan Mutammimul Ula dan Dra Wirianingsih, Bc HK seolah seperti oase dipadang pasir, keduanya adalah suami istri anggota DPR dari PKS, sosoknya dapat dijadikan sebagai teladan dalam membangun keluarga kita.

Mutammimul Ula mampu mengatur dan membina keluarganya dengan baik, kalau dikeluarganya berhasil tentu saja bisa menjadi tolak ukur komitmennya untuk membangun dan membela rakyat.

Pertanyaannya sederhananya, jika keluarganya saja tidak terurus bagaimana mungkin bisa mengurus rakyat? Mutammimul Ula di karunia 11 orang anak yang semuanya mengukir prestasi menjadi penghafal Al Qur’an di usia muda.

Mereka adalah:

1. Afzalurahman Assalam. Hafal Al-Qur’an pada usia 13 tahun. Usia 23 tahun, semester akhir Teknik Geofisika ITB. Juara I MTQ Putra Pelajar SMU se-Solo, Ketua Pembinaan Majelis Taklim Salman ITB dan terpilih sebagai pesertaPertamina Youth Programme 2007.

2. Faris Jihady Hanifa. Hafal Al-Qur’an pada usia 10 tahun dengan predikat mumtaz. Usia 21 tahun dan duduk di semester 7 Fakultas Syariat LIPIA. Peraih juara I lomba tahfiz Al-Qur’an yang diselenggarakan oleh kerajaan Saudi di Jakarta tahun 2003, juara olimpiade IPS tingkat SMA yang diselenggarakan UNJ tahun 2004, dan sekarang menjadi Sekretaris Umum KAMMI Jakarta.

3. Maryam Qonitat. Hafal Al-Qur’an sejak usia 16 tahun. Usia 19 tahun dan duduk di semester V Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo. Pelajar teladan dan lulusan terbaik Pesantren Husnul Khatimah 2006. Sekarang juga menghafal hadits dan mendapatkan sanad Rasulullah dari Syaikh Al-Azhar.

4. Scientia Afifah Taibah. Hafal 29 juz sejak SMA. Usia 19 tahun dan duduk di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Saat SMP menjadi pelajar teladan dan saat SMA memperoleh juara III lomba Murottal Al-Qur’an tingkat SMA se-Jakarta Selatan.

5. Ahmad Rasikh'Ilmi, Hafal 15 juz Al-Quran, dan duduk di MA Husnul Khatimah, Kuningan. Ia lulusan terbaik SMPIT Al-Kahfi, juara I Kompetisi English Club Al-Kahfi dan menjadi musyrif bahasa Arab MA Husnul Khatimah.

6. Ismail Ghulam Halim. Hafal 13 juz Al-Qur’an, dan duduk di SMAIT Al-Kahfi Bogor. Ia lulusan terbaik SMPIT Al-Kahfi, juara lomba pidato bahasa Arab SMP se-Jawa Barat, serta santri teladan, santri favorit, juara umum dan tahfiz terbaik tiga tahun berturut-turut di SMPIT Al-Kahfi.

7. Yusuf Zaim Hakim: Hafal 9 juz Al-Qur’an dan duduk di SMPIT Al-Kahfi, Bogor. Prestasinya antara lain: peringkat I di SDIT, peringkat I SMP, juara harapan I Olimpiade Fisika tingkat Kabupaten Bogor, dan finalis Kompetisi tingkat Kabupaten Bogor.

8. Muhammad Syaihul Basyir. Hafal Al-Qur’an 30 juz pada saat kelas 6 SD. Kelas I MTs Darul Qur'an, Bogor.

9. Hadi Sabila Rosyad. SDIT Al-Hikmah, Mampang, Jakarta Selatan dan hafal 2 juz Al-Qur’an. Diantara prestasinya dalah juara I lomba membaca puisi.

10. Himmaty Muyassarah. SDIT Al-Hikmah, Mampang, Jakarta Selatan dan hafal 2 juz Al-Qur’an.

11. Hasna wafat usia 3 tahun, bulan Juli 2OO6. Tentu saja ini adalah prestasi yang perlu kita jadikan teladan, bahkan bagi para da'i sekalipun keberhasilan Keluarga Mutammimul Ula perlu dicontoh.

Dengan berbagai macam kesibukan baik sebagai seorang wakil rakyat dan da'i Mutammimul Ula mampu membagi waktunya dengan baik untuk mendampingi perkembangan anak-anaknya, apalagi mereka berdua melakukan semuanya sendiri, tanpa pembantu rumah tangga.

Pasangan ini memang sudah gigih dan mengajarkan Alquran sejak usia 4 tahun. Dalam keluarga tersebut, doktrin Alquran adalah kunci kebahagiaan dunia dan akhirat dan tidak diperbolehkan terlalu mengandalkan sekolah umum.

"Saya suka bertanya sendiri, apa hal yang paling membuat saya bahagia dalam hidup ini? Ternyata jawabannya adalah sesaat setelah saya melahirkan.”

"Menjadi ibu dari sepuluh anak bukanlah bagian hidup yang saya rencanakan. Meski hal tersebut pernah diutarakan oleh suami, tapi saya hanya menjalani, dan ternyata benar Allah menghendaki saya memiliki sepuluh buah hati tersebut."

"Seperti para ibu lainnya, tentulah masa ketika anak-anak masih kecil sangat merepotkan. Terlebih saya tidak mempunyai pembantu, sehingga sebelum tidur saya harus sudah menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak, kemudian disimpan di kulkas. Sebelum subuh saya sudah bangun, menyusui anak dulu, lalu setelah itu langsung ke dapur dan mulai memasak. Kalau si kecil bangun, saya terpaksa harus masak sambil menggendong bayi."

"Kerepotan tersebut semakin terasa ketika anak-anak sudah banyak dan hampir semua sekolah. Saya menyiapkan anak-anak sebelum berangkat ke sekolah dengan keterbatasan yang ada, tapi saya selalu berusaha untuk tidak mengeluh. Dan hal tersebut juga saya wariskan pada anak-anak agar tidak mengeluh. Jalani saja! Alhamdulillah, anak-anak bisa mengerti kondisi, mereka tidak mengeluh sedikitpun walau harus makan seadanya. Padahal, saat itu saya menyiapkan makan siang mereka di subuh hari, dan mereka baru menyantapnya di waktu zuhur. Rasanya pasti sudah tidak seenak masakan baru matang, tapi alhamdulillah mereka bisa menerima."

"Dengan segala kondisi yang ada, anak-anak tidak ada yang mengeluh, mereka memahami segala keterbatasan yang dimiliki oleh orangtua mereka. Dan menurut saya, itulah pentingnya berbagi perasaan kepada anak, sehingga anak pun bisa paham dengan kondisi yang ada. Setelah anak yang paling besar berangkat sekolah, pekerjaan pun masih belum selesai. Saya masih harus mengurus dan menyuapi anak-anak yang masih kecil. Semua itu saya jalani sekitar tujuh tahun lamanya".

"Keluhan-keluhan pribadi pastilah ada. Namun keluhan tersebut nyatanya bukan karena saya capek mengurusi mereka, melainkan karena banyak sekali akhirnya yang tertunda ketika anak-anak sakit. Setiap bulan dari kesepuluh anak saya, ada saja yang sakit: masuk rumah sakit, diopname, bahkan pernah juga dalam satu bulan ada dua anak yang sakit sekaligus. Alhamdulillah, kerepotan tersebut bisa saya lewati dengan baik. Semua bisa saya jalani berkat dukungan keluarga, baik keluarga saya maupun keluarga suami. Mereka selalu memberikan kontribusi baik moril maupun materiil. Yang membuat saya dan suami bisa sabar menjalani semuanya".

"Memang sangat repot memiliki banyak anak, namun kerepotan tersebut akan hilang seketika dengan apa yang selalu saya rasakan jika melihat mereka. Jika malam hari anak-anak sedang ngumpul, saya suka merenung sendiri, apa sih hal yang membuat saya merasa bahagia di dunia ini? Ternyata jawabannya adalah ketika saya selesai melahirkan. Ya, setelah saya selesai melalui perjuangan melahirkan, dan melihat anak saya menangis, adalah hal yang amat membahagiakan. Saya kira perasaan ini hanya muncul pada anak pertama, tapi ternyata hal itu terjadi juga pada anak kedua, ketiga, bahkan anak kesepuluh. Saat itu saya merasa menjadi wanita yang paling bahagia di dunia ini.

Pengalaman Pertama Menjadi Ibu

"Pada 1985 saya mengalami hamil yang pertama. Saya baru saya saat saya sedang mengisi acara training di Sumatera Selatan. Saya sendirian, mebawa koper, berangkat sendiri, dan di saat itulah saya sadar kalau ternyata saya sudah telat 2 minggu. Saya periksa ke dokter. Dan begitu saya tahu bahwa Allah mengizinkan saya hamil, saya langsung memiliki banyak cita-cita. Saya mengajak ngobrol jabang bayi saya setiap hari. Saya utarakan mimpi-mimpi indah saya kepadanya."

"Harapan pertama pada jabang bayi pertama saya saat itu adalah dia harus jago matematika. Saat itu sama sekali tidak kepikiran dia harus hafal Al-Quran. Justru saat itu saya ingin anak saya harus jago matematika. Kenapa? Sebab saya ingat sekali waktu kelas 3 SD, saya diomeli oleh guru saya gara-gara tidak bisa mengerjakan soal matematika. Jadi, ketika saya hamil saya langsung punya cita-cita anak ini harus jago matematika. Dan apa bukti dia jago matematika? Buktinya adalah ketika kelak dia melanjutkan kuliahnya, dia harus masuk ITB. Belum lahir saja saya sudah punya obsesi anak saya harus masuk ITB. Dan alhamdulillah tercapai, anak pertama saya, Aaf, memang paling bagus matematikanya dibandingkan yang lain".

"Ketika dia memilih perguruan tinggi, saya sempat bernazar, 'Kalau anak ini benar bisa masuk ITB, saya mau ajak dia umrah'. Akhirnya saya pun menabung untuk dia. Saya bertahajud setiap malam. Dan ketika ujian masuk perguruan tinggi berlangsung, saya tidak henti-hentinya berdoa. Alhamdulillah, cita-cita pertama saya itu tercapai. Saat ini anak pertama saya sedang menyelesaikan tugas akhirnya di ITB".

Cita-cita kedua saya, yaitu anak ini harus menjadi Al-Quran berjalan.Keberhasilan itu bukan tercapainya tujuan tapi pada proses yaitu Komitmen dan konsistensi kita menjalaninya. Kepada Allah kembali segala urusan.***