BATANG - Ini bukan kisah fiktif atau karangan manusia seperti dalam sinetron atau film. Namun ini adalah kisah nyata. Awal mula berdirinya salah satu Desa bernama Gringgingsari.

Desa Gringgingsari merupakan daerah yang terletak di daerah pegunungan. Dan berada di wilayah Kecamatan Wonotunggal, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.

Pada awalnya desa ini masuk wilayah Kabupaten Pekalongan. Desa Gringgingsari dapat mudah dikenal dengan adanya makam salah satu wali atau auliya, yaitu makamnya Mbah Syarif Abdurrahman yang terkenal dengan nama mbah Pangeran Sunan Kajoran.

Makamnya Sunan Kajoran sendiri terletak di pemakaman umum Desa Gringgingsari yang lokasinya ada di sebelah barat Masjid Al Karomah.

Pada hari-hari tertentu seperti hari Rabu Wage atau malam Jumat Kliwon, banyak para peziarah yang datang ke makam tersebut untuk berdo'a dan berzikir memetik karomah dengan harapan doa dikabulkan Allah agar hajatnya terkabul.

Mbah Pangeran Kajoran menjadi tumpuan dan sandaran bagi warga desa Gringgingsari karena jasanya yang telah membawa pelita, untuk menerangi warga Gringgingsari dari kegelapan, menuju zaman pencerahan.

Berdasarkan riwayat, cerita-cerita dari para sesepuh dan data dari berbagai sumber yang didapat GoNews.co, Desa Gringgingsari awalnya bernama Karangsirno. Dan saat itu yang menjadi sesepuhnya adalah mbah Wongsogati I.

Pada saat itu, Agama yang dipeluknya adalah agama Budha. Setelah mbah Wongsogati I meninggal, tampuk kepemimpinan diganti oleh putranya mbah Bromogati. Dan setelah mbah Bromogati meninggal kemudian diganti oleh putranya yang bernama mbah Wongsogati II, cucu dari mbah Wongsogati I.

 

Pada waktu dipimpin oleh mbah Wongsogati II, Desa Karangsirno dilanda musibah, yaitu sejenis penyakit yang dinamakan penyakit to'un (istilah jawan pageblug), yakni jenis penyakit aneh di warga pagin sakit, sorenya meninggal, dan sebaliknya.

Saat itu, banyak warga desa yang meninggal akibat serangan penyakit tersebut. Sudah banyak cara yang dilakukan untuk meredam penyakit itu, namun tak satupun membuahkan hasil.

Hingga akhirnya suatu hari, selaku pemimpin yang merasa bertanggung kepada warganya, mbah Wongsogati II pergi ke luar desa dengan tujuan untuk mencari seseorang yang bisa mencarikan solusi agar wabah penyakit yang sedang melanda desa segera berakhir.

Dalam perjalanannya, dia melewati sebuah sungai yang bernama "Kali Kupang" Disitulah ia berjumpa dengan dua orang yang sedang berdzikir di tepi sungai. Iapun menunggu kedua orang tersebut. Dan setelah mereka selesai berdzikir kemudian langsung menghampiri keduanya dan menyapanya.

Singkat cerita, akhirnya mereka bertiga saling memperkenalkan diri. Kedua orang yang berzikir tersebut masing-masing bernama Pangeran Kajoran dan Pangeran Trunojoyo.

 

Disitulah Mbah Wongsogati II menyampaikan isi hatinya, yaitu tentang musibah yang sedang melanda desanya.

Mendengar keluh kesah dan permintaan Mbah Wongsogati II, akhirnya Pangeran Kajoran menyatakan kesanggupannya untuk membantu menyembuhkan penyakit tersebut tapi dengan salah satu syarat.

Dimana saat itu syaratnya warga desa bersedia untuk memeluk agama Islam dengan sukarela tanpa paksaan. Demi kesembuhan penyakit tersebut mbah Wongsogati II pun bersedia untuk mengajak warga desanya memeluk agama Islam dan ingin desanya terbebas dari wabah penyakit aneh yang sedang melanda.

Akhirnya mereka bertiga sepkat dan mengikat janji atau tanggungan. Maka tempat tersebut dinamakan "Kedung Sinanggung" yang saat ini berada di wilayah Desa Kedung Malang, Wonotunggal Jawa Tengah.

Selanjutnya merekapun berangkat pergi menuju Desa Karangsirno. Sampai di suatu tempat Pangeran Kajoran bertanya di manakah letak Desa Karangsirno?.

Mbah Wongsogati II menunjukan suatu tempat yang terlihat jauh di arah selatan. Mereka memandang (dalam bahasa jawa, nyawang). Maka tempat tersebut dinamakan "Ketawang" yang berarti tempat untuk nyawang/memandang. Dan saat ini sudah menjadi desa pedukuhan bernama Ketawang Sari.

Di tempat tersebut juga ada sebuah pohon Gringging atau yang biasa disebut kayu jaran. Dari sinilah nantinya Desa Karangsirno diganti namanya menjadi desa Gringgingsari.

Sekarang tempat tersebut lebih dikenal dengan nama tikungan/enggokan Petung. Lokasinya kurang lebih 200 meter ke arah barat dari pertigaan Kali Kupang.

 

Setelah sampai di Desa Karangsirno, mbah Wongsogati II mengumpulkan warganya. Lalu memperkenalkan Pangeraan Kajoran dan Pangeran Trunojoyo kepada mereka. Warga diberi penjelasan bahwa Pangeran Kajoran sanggup untuk ngusadani (memberikan solusi) agar desa Karangsirno bisa pulih kembali, asalkan warganya bersedia untuk memeluk agama Islam secara sukarela dan nama Karangsirno diganti dengan Gringgingsari.

Singkat cerita, masyarakat akhirnya sepakat. Seluruh penduduknya dibaiat oleh mbah Pangeran Kajoran untuk masuk agama Islam. Masyarakat diajak bershadat untuk menyembah Allah, dan meninggalkan sesembahan yang lama yaitu agama Budha.

Kemudian warga pun diajak berdoa kepada Allah agar wabah penyakitnya sirna. Atas izin Allah akhirnya desa Karangsirno yang sudah berganti nama Gringgingsari terbebas dari wabah penyakit yang selama ini melanda dan sudah memakan banyak korban.

Dan masyarakatnya juga sudah hidup dalam suasana yang baru yaitu kehidupan yang Islami berkat hidayah dari Allah dengan perantara Syekh Syarif Abdurrrahman atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Sunan Kajoran.

Awal Mula Terbentuknya Sendang Depok

Setelah masyarakat Desa Gringgingsari memeluk agama Islam, wabah penyakit pun hilang. Masyarakat tentram dan aktifitas sehari-hari bisa berjalan dengan normal.

Mereka juga mulai giat belajar mendalami ajaran Islam dibawah bimbingan Syekh Syarif Abdurrahman atau Pangeran Kajoran.

 

Pada suatu hari Pangeran Kajoran mengajak beberapa orang pergi ke hutan mencari bambu untuk dibuat rangken atau bahan atap masjid Desa Gringgingsari. Ketika sampai di hutan dan sudah tiba masuk waktu salat beliau mencari air untuk berwudu, namun tidak ada sumber air yang dijumpainya.

Akhirnya iapun menancapkan tongkatnya ke tanah, dengan izin Allah keluarlah air dari bekas tongkat yang ditancapkannya. Dari situlah bukti karomah yang dimiliki oleh Pangeran Kajoran selaku seorang Waliyullah.

Kemudian dibuatlah pancuran aliran air dari bambu dengan tujuan supaya air tersebut lebih mudah digunakan untuk berwudu.

Bahkan Pangeran juga sempat berniat untuk mendirikan masjid di kawasan tersebut namun tidak jad alias "urung". Akhirnya tempat tersebut dinamakan "Garung" yang diambil dari kata langgar yang wurung atau tidak jadi. Setelah selasai salat merekapun istirahat sambil "ndeprok" (duduk-duduk untuk menghilangkan lelah).

Maka dari istilah inilah tempat tersebut dinamakan Depok yang asalnya dari kata ndeprok. Sampai sekarang pancuran Depok masih menjadi tujuan utama para peziarah untuk mandi dan mengambil airnya.

Atas izin Allah air tersebut hingga saat ini dapat menyembuhkan beberapa penyakit. Dan yang lebih istimewa air tersebut bisa langsung diminum tanpa harus dimasak lebih dahulu. Rasany sangat segar, apalagi kalau meminumnya langsung dari pancuran.

Bahkan air di pancuran Depok mempunyai kandungan mineral yang cukup tinggi yang sangat berguna sekali untuk kesehatan tubuh bagi yang meminumnya. Lokasi pancuran Depok kurang lebih 2 km arah selatan desa Gringgingsari dengan ruas jalan agak menanjak terutama di gunung Klengkong.

Mulai tahun 2009, jalan menuju Depok, sudah mulai dilebarkan dan bisa di lalui oleh kendaraan roda dua dan empat. Namun belum diaspal.

Merekapun, melanjutkan perjalanannya masuk hutan, keluar hutan, namun belum juga menemukan bambu yang dicari. Kemudian mereka membuat tempat untuk berteduh namanya sodong (sejenis gubuk dari tetumbuhan). Dari sinilah kemudian nama desa Sodong lahir yang letaknya di sebelah selatan Gringgingsari.

Kemudian mereka melanjutkan perjalanannya kembali untuk mencari bambu. Akhirnya mereka pun menemukan rumpun bambu yang dicari. Kemudian bambu tersebut ditebang dan dibawa ke tanah lapang untuk dipotong-potong.

Rumpun bambu yang kemudian tumbuh lagi oleh masyarakat desa Sodong disengker artinya tidak boleh ditebang oleh siapapun kecuali untuk kepentingan umum. Tempat tersebut dinamakan dapuran larangan / rumpun terlarang.

 

Mereka bekerja berhari-hari. Bekas tempat istirahat mbah Pangeran Kajoran bekerja juga disengker oleh masyarakat desa Sodong, yang melarang siapapun untuk duduk di atasnya. Konon katanya barangsiapa yang berani duduk di tempat tersebut akan kena laknat atau istilah jawanya bebendu. Tempat tersebut kemudian dipagari supaya aman.

Tapi tempat tersebut sekarang sudah tidak berbekas karena perkembangan zaman. Pada tahun 1973 tempat tersebut terkena impas dari proyek pembangunan Sekolah Dasar Inpres dan pelebaran jalan, dan akhirnya pagar tersebut dibongkar.

Perang dengan Ki Hajar Pendek

Untuk membuat rangken (atap masjid) merke juga membutuhkan tali / tambang untuk merangkai bambu-bambu tersebut. Karena tidak ada tambang, maka mbah Pangeran Kajoran menyuruh sebagian orang untuk pergi mencari rotan. Kebetulan disebelah selatan desa Sodong ada gunung kecil dan di tempat tersebut banyak tumbuh pohon rotan.

Mereka pergi ke tempat tersebut dan mulai menebang rotan dan memotongnya. Tanpa mereka sadari bahwa hutan tersebut ada yang menguasainya. Dan akhirnya mereka tertangkap oleh anak buah penguasa hutan tersebut. Kemudian mereka dibawa ke desa Silurah dan dihadapkan kepada penguasa desa tersebut yang bernama Ki Ajar Pendek.

Mereka pun akhirnya ditahan Ki Ajar Pendek. Karena sudah berhari-hari mereka tidak pulang akhirnya mbah Pangeran Kajoran merasa cemas. Kemudian beliau menyuruh seseorang untuk mencarinya.

Singkat cerita akhirnya Pangeran Kajoran minta maaf kepada Ki Ajar Pendek atas kesalahan yang telah dilakukan oleh orang-orang suruhannya. Tapi Ki Ajar Pendek tidak mau menerima permintaan maaf dari Pangeran Kajoran dengan begitu saja. Dia bersedia menerima maaf asalkan Pangeran Kajoran bersedia untuk adu kekuatan dan mengalahkannya. Demi kebebasan orang-orangnya, akhirnya Pangeran Kajoran bersedia untuk menerima tantangan dari Ki Ajar Pendek.

Pertarungan jarak jauh tingkat tinggi pun dimulai. Ki Ajar Pendek ada di desa Silurah sedangkan Pangeran Kajoran berada di desa Sodong.

 

Ki Ajar Pendek tahu bahwa waliyullah itu orang suci. Maka iapun menggunakan kesaktiannya dengan membuat hujan cacing supaya mengotori Pangeran Kajoran. Namun Pangeran Kajoran dengan karomahnya menciptakan hujan bebek yang akhirnya memakan cacing-cacing tersebut. Ki Ajar Pendek menjadi geram karena merasa kalah, kemudian ia mengeluarkan ilmunya yang lain yang lebih dahsyat yaitu hujan api. Namun sekali lagi karomah Pangeran Kajoran yang berupa hujan air mampu memadamkan api tersebut. Ki Ajar Pendek pun semakin marah karena selalu kalah dengan Pangeran Kajoran. Akhirnya iapun mengeluarkan kesaktiannya yang lain yaitu berupa hujan batu. Pangeran Kajoranpun tidak mau kalah, iapun kemudian menciptakan angin topan yang dahsyat.

Dengan kekuatan angin topan yang dahsyat tersebut, batu-batu itupun berterbangan dan jatuh di suatu tempat yang jauh. Batu tersebut jatuh di sebuah tempat yang sekarang bernama desa Kuwasan kecamatan Talun Kabupaten Pekalongan. Rumah Ki Ajar Pendek dan seisinya juga ikut terbang terbawa angin hingga tinggal batur atau bekasnya saja.

Bekas rumah Ki Ajar Pendek oleh orang-orang silurah dinamakan kebun batur dan sampai sekarang masih ada. Pakaiannya jatuh di desa Sengare, sedangkan ilir atau kipas dari bambu jatuh di desa sumilir. Kedua desa tersebut masuk kecamatan Talun kabupaten Pekalongan dan terletak di sebelah barat Gringgingsari.

Sedangkan bokor atau tempat menyimpan beras jatuh di desa Donowangun Talun Pekalongan. Jambangan tempat untuk menaruh air yang terbuat dari batu besar jatuh di suatu tempat yang sekarang bernama dukuh Jambangan desa Batursari Talun Pekalongan.

 

Menurut cerita, jambangan yang ada di dukuh Jambangan tidak pernah kering airnya. Walaupun musim kemarau airnya selalu ada tanpa diketahui darimana sumbernya. Pada zaman pemerintahan Belanda, karena batu itu tiga perempatny terbenam ke dalam tanah akibat jatuh terjadi pertarungan antara Pangeran Kajoran dan Ki Ajar Pendek.

Maka oleh pemerintah Belanda batu tersebut diangkat ke atas untuk memudahkan orang-orang mengambil airnya. Namun setelah batu jambangan tersebut diangkat justru malah jadi kering tidak keluar lagi airnya sampai sekarang.

 

Lalu bagaimanakah nasib Ki Ajar Pendek yang juga ikut terbang terbawa angin? beliau jatuh di pendopo kabupaten Batang. Pada waktu itu kebetulan Kanjeng Adipati Batang sedang duduk di pendopo kabupaten dan 'angop' atau menguap. Kemudian dengan kesaktiannya Ki Ajar Pendek masuk ke mulut Kanjeng Adipati dan bersembunyi di dalam perutnya. Kemudian ia disuruh keluar dan akhirnya dijadikan tukang merawat kuda Kanjeng Adipati Batang.

 

Kemudian Pangeran Kajoran melarang warga Gringgingsari untuk besanan dengan warga desa Silurah selama tujuh turunan. Namun larangan tersebut hari ini sudah berakhir, terbukti sudah banyak warga Gringgingsari yang besanan dengan warga Silurah dan alhamdulillah tidak tejadi hal-hal yang buruk.

Hutan rotan yang pernah menjadi sengketa atas izin Allah telah berubah menjadi hutan bambu kecil-kecil. Sedangkan gunung kecil tersebut dinamakam gunung Raga Kesuma. Siapa saja yang lewat di kaki gunung tersebut pasti kulitnya akan mengalami perubahan warna yaitu menjadi cerah kekuningan hingga saat ini.

Bahkan GoNews.co juga sudah membuktikannya. Namun jika sudah melewati kaki gunung tersebut warna kulit akan berubah seperti semula.

 

Membangun Masjid

Rintangan sudah berlalu. Rencana membuat rangken (atap masjid) pun diteruskan. Bambu-bambu tersebut dibawa ke Gringgingsari untuk dibuat rangken. Talinya menggunakan penjalin atau rotan. Kemudian masjid didirikan. Atapnya menggunakan ijuk.

Setelah masjid selesai dibangun ternyata belum ada sumber air untuk berwudu. Kemudian Pangeran Kajoran pergi ke arah selatan desa Gringgingsari. Sampai di suatu tempat yang bernama Klatak atau juga Genting beliau meletakan ujung tongkatnya di tepi sungai dan kemudian menariknya dari tepi sungai tersebut sambil berjalan pulang ke Gringgingsari.

Dengan karomah yang dimilikinya tanah yang dilalui Pangeran Kajoran jadi terbelah oleh ujung tongkatnya yang sedang ditarik dan membentuk aliran sungai sampai ke sebelah barat masjid. Akhirnya masyarakat Gringgingsari mendapat manfaat yang banyak. Sungai tersebut tidak hanya digunakan untuk berwudlu, namun juga untuk keperluan mandi, minum, memasak, dan juga untuk mengairi sawah.

Oleh masyarakat Gringgingsari, sungai tersebut dinamakan kali jamban. Untuk menjaga kesucian air tersebut, dari hulu sungai jamban yaitu dari tempat pertama kali Pangeran Kajoran menarik tongkatnya sampai areal masjid, siapapun dilarang untuk buang air besar, perempuan yang sedang haid dan nifas juga dilarang mandi di sungai tersebut.

Siapa yang melanggar larangan tersebut baik disengaja atau tidak, akan terkena laknat atau bendu. Sudah banyak buktinya yang terkena laknat. Juga dilarang untuk kencing di areal masjid dan kawasan pemakaman.

 

Masjid peninggalan Pangeran Kajoran sudah direhab beberapa kali. Rehab terakhir tahun 2004 dan sampai sekarang belum selesai 100%. Jadi sudah tidak asli lagi. Yang masih asli hanya mustoko pengaron (kubah) yang ada di samping mustoko yang baru.Peninggalan Sunan Kajoran Gr Peninggalan – peninggalan Pangeran Kajoran dan tempat sejarah yang masih ada sampai sekarang yaitu: Rumpun bambu atau dapuran larangan di desa Sodong

 

Pancuran Depok yang selalu dikunjungi penziarah untuk mengambil airnya dan mandi. Dilarang mandi sambil telanjang.

 

Masjid Al Karomah. Pemberian nama Al Karomah oleh remaja masjid pada tahun 1987.

 

Pakaian lengkap. Namun karena sudah berusia ratusan tahun maka pakaiannya sudah rusak, kecuali kuluk / ketu / kopiah. Jubahnya tersimpan di desa Kajoran Magelang.

 

Tasbih dan Tongkat, yang selalu dipegang oleh khatib sewaktu khotbah jum’at dan hari raya. Kemudian Sungai yang melintasi desa Gringgingsari. Makam Pangeran Kajoran dan Pangeran Trunojoyo, Mustoko (kubah) dari pengaron atau paso.

 

Adapun pemerintahan desa Gringgingsari yang sejak itu sudah berjalan demokrasi pemelihan kepala desa dengan cara berkelompo (dodokan) yaitu warga yang sudah mempunyai hak pilih duduk di belakang calon kepala desa, dan jumlah terbanyak dialah yang terpilih, lima kepala desa yang di pilih dengan cara tersebut yaitu : Buang, Roto, Amad dan Cahyo.

 

Keempat kepala desa tersebut bertugas sejak tahun 1941 ke bawah, dari keempat kepala desa tersebut tidak ada perubahan sama sekali baik di bidang ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya, maka pada 1942 desa Gringgingsari merubah sisitem pemilihan kepala desa dengan cara menggunakan 'biting', dan tempat pemilihan di rumah warga, pada saat itu ada dua calon yang maju untuk mencalonkan diri menjadi kepala desa yaitu Samuri dan Duryat.

Dari hasil pemilihan maka Duryat menjadi kepala desa dan bertugas sejak tahun 1942 sampai dengan 1975, hasil yang di capai pada masa kepemimpinan bapak Duryat yang menonjol adalah berdirinya sekolah SD KB (sekolah dasar kewajiban belajar) pada tahun 1967 sampai dengan 1969 yang bertempat di dukuh Ujungsari, adapun pengajarnya adalah dari pensiunan guru waktu itu, yakni Suryadi dari desa Kedungmalang, dan mendapat guru negeri dari kabupaten yaitu bapak Zaenal.

Pada tahun 1970, karena Gringgingsari merupakan desa agamis maka sesepuh desa merintis Madrasah Ibtidaiyah baru, yang bertempat dirumah H Zaeni dukuh Gringgingsari. Karena begitu besar pengaruh agama islam di desa Gringgingsari maka murid SD KB pindah ke MI Gringgingsari, dan akhirya SDKB bubar.

Setahun kemudian yaitu pada tahun 1971, dengan swadaya warga dapat mendirikan gedung MI walaupun dengan matrial bambu beratapkan rumbia. Pada saat itu jalan utama penghubung warga masih merupakan jalan setapak hal ini yang membuat ekonomi warga belum berubah sama sekali.

 

Dan pada tahun 1975 desa Gringgingsari mengadakan pemilihan kepala desa dengan cara menggunakan gambar yang di pilih di ruangan khusus yang di sebut tobong, pada saat itu calon kepala desa ada dua orang yaitu Abu Khoiri dan Akrom.

Saat itu Abu Khoiri menggunakan gambar payung dan Akrom menggunakan gambar lampu. Akhirnya yang terpilih menjadi kepala desa yaitu Akrom, yang menjabat kepala desa sampai tahun 1989, adapun keberhasilanya adalah mendirikan SD impres di dukuh Ketawang, dan membangun balai desa sebagai pusat pemerintahaan walaupun keadaannya sangat sederhana, selain itu akses jalan yang tadinya jalan setapak diubah menjadi jalan tanah, serta pembangunan jembatan untuk penghubung antar dukuh, dan ekonomi sudah mulai ada perubahan.

 

Pada tahun 1989 ada pemilihan kepala desa baru, yang terpilih menjadi kepala desa adalah Kamali, periode Kamali yang seharusnya delapan tahun cuman bekerja tiga tahun, karena tersandung banyak masalah.

Karena desa Gringgingsari kekosongan kepemimpinan yang devinitiv, maka desa Gringgingsari di beri PJS kepala desa yaitu Haryoto, salah satu pegawai kecamatan Wonotunggal, dari tahun 1992 sampai 1995.

Pada tahun 1995 Desa Gringgingsari mengadakan pemilihan kepala desa baru, pada saaat itu Sobirin terpilih dan menjalankan tugas hanya dua tahun karena lagi-lagi bermasalah.

 

Pada tahun 1997 desa Gringgingsari mengadakan pemilihan kepala desa baru, pada saat itu yang mengajukan diri mencalonkan kepala desa ada satu orang yaitu Rohim. Pada pemilihan tersebut tidak membuahkan hasil bahkan pemilihan tersebut sampai diulang tiga kali namun tetap gagal.

 

Karena desa Gringgingsari kekosongan kepemimpinan yang devinitiv, maka dipimpin PJS kepala desa yaitu Muhayat, masa kepimpinannya dari tahun 1997 sampai 2002, jalan desa yang dahulunya tanah di buat jalan batu, dan pengaspalan jalan dukuh ketawang + 500 m, dan Jaringan Lisatrik masuk desa Gringgingsari.

 

Pada tahun 2002 desa Gringgingsari mengadakan pemilihan kepala desa baru, dan pada saat itu yang terpilih H. Sunhaji, ia bertugas dari tahun 2002 sampai 2007, adapun hasilnya adalah pengasapla jalan, Drainase, pembangunan MI Syafiiyah dukuh Ujungsari, MADIN Ketawang, MADIN Gringgingsari dan saran olah raga berupa dua lapangan sepakbola dan dua lapangan Bola Volli, serta sedikit peningkatan ekonomi warga.

Karena Desa Gringgingsari kembali kekosongan kepemimpinan yang disebabkanberakhirnya masa tugas H Sunhaji, maka statusnya pun kembali menjab menjadi PJS.

 

Pada tahun 2008 Desa Gringgingsari mengadakan pemilihan kepala desa baru, lagi-lagi H. Sunhaji terpilih salampai 2014. Dan saat ini tahun 2017, Desa Gringgingsari dipimpin Kepala Desa baru yakni Sigit Pranoto.

Demikianlah sepenggal kisah dan sejarah berdirinya Desa Gringgingsari yang awalnya non muslim, kini warganya sangat taat dengan agama islam dan menjadi kampung tujuan wisata religi di Jawa Tengah. ***