SELATPANJANG - Menurut Pakar Lingkungan DR Elviriadi MSi, adanya sengketa di Komisi Informasi Publik (KIP) Riau antara Jikalahari (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau) dengan Pansus Ranperda RTRW Riau menandakan minimnya partisipasi publik dalam penyusunan RTRW tersebut.

"Nah, akhirnya kan jadi begini (gugatan keterbukaan informasi, red)," kata Elviriadi.

"Isu lingkungan di Riau ini kan cukup sensitif. Jadi, sebaiknya libatkan masyarakat secara optiml," kata Pengurus Muhammadiyah Riau itu lagi.

Ditambahkan Elv, soroton publik dalam isu-isu lingkungan di Riau sudah cukup baik, teliti, menyeluruh dan data lapangannya pun valid. Makanya, agak alot pengesahaan RTRW Riau.

Elv menilai, ada dua kutub pandangan yang berbeda antara Pemprov Riau dengan KLHK. Pemprov memandang penyusunan Ranperda RTRW ini bussines of usually. Pendekatan bikin Ranperdanya sesuai standar biasa saja.

Sedangkan perspektif KLHK melihat Riau ini complicated. Ada Karhutla, Demo Sakai yang lahannya diambil, Land Clearing, kerusakan rawa gambut dan dugaan sawit ilegal.

"Nah, asistensi bolak balik ke Jakarta itu tujuannya untuk menjembatani perspektif Pemprov Riau dengan cita-cita kementerian. Itu saya lihat untuk memperkuat daya dukung (carrying capacity) pembangunan di Riau. Sabar sajalah," ujar Ketua Departemen Perubahan Iklim Majelis Nasional KAHMI itu.

Elv mengharapkan, asistensi itu harusnya berpatokan pada PP 57/2016. Dimana pemerintah harus memoratorium izin di lahan gambut ataupun aktivitas di lahan gambut.

"Makanya saya dengar KLHK minta zonasi kawasan lindung gambut per kecamatan," kata Elv.

Akan tetapi, asistensi itu bisa saja tidak efektif karena saat ini saja gambut yang mengalami pengeringan hingga lebih 40 cm tetap saja digarap. Apalagi kalau melihat pengalaman pembangunan selama ini, aturan aturan ekologis itu tinggal di rak meja birokrat.

Untuk itulah, sambung Elv, sumbangan pemikiran atau perdebatan sekalipun hendaknya diakomodir. Demi kebaikan dan pembangunan masyarakat Riau yang berkelanjutan sampai ke anak cucu. ***