PEKANBARU - Kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh anak anggota DPRD Kota Pekanbaru berinisial AR (21) terhadap korbannya AY (15) berujung dengan damai dan pencabutan laporan di Polresta Pekanbaru.

Es orang tua dari AR juga sudah menyerahkan uang damai sebesar Rp 80 juta kepada pihak keluarga korban.

Pengamat hukum pidana, Erdiansyah mengatakan langkah damai itu sah-sah saja dilakukan. Namun kendati kedua belah pihak sudah berdamai, proses pidana tidak bisa dihapus.

"Kembali ke Undang-undang perlindungan anak, dan dalam undang-undang perlindungan anak merupakan delik biasa dan bukan delik aduan," ucapnya ketika dihubungi GoRiau.com, Sabtu (8/1/2022).

Erdiansyah menerangkan dalam delik biasa aduan yang sudah dibuat tidak bisa dicabut, berbeda dengan delik aduan yang mana laporan ke pihak kepolisian bisa dicabut.

Karena perkara tersebut tergolong delik biasa, delik biasa tetap dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang korban. Jadi, walaupun korban telah mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang, penyidik tetap berkewajiban untuk memproses perkara tersebut.

"Walaupun ada perdamaian ini hanya meringankan putusan hakim saja, tapi perkara tetap dilanjut walaupun ada perdamaian," tuturnya.

Apakah nantinya terduga pelaku akan meringkuk di sel, Erdiansyah menerangkan hal tersebut kembali lagi kepada majelis hakim.

"Yang jelas perkara tetap baik walaupun ada perdamaian, undang-undang perlindungan anak tidak menghapus pidana karena delik biasa," jelasnya.

Sebelumnya AR dilaporkan ke Polresta Pekanbaru atas dugaan melakukan penyekapan dan pemerkosaan terhadap AY pada 9 November 2021.

AR sempat ditahan di Polresta Pekanbaru, namun pada akhirnya ditangguhkan dan hanya dikenakan wajib lapor dua kali dalam seminggu.

Dikutip dari hukumonline.com, bagaimana dengan aturan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU 35/2014) dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Perpu 1/2016) sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang ? Sebelumnya perlu dilihat dahulu ketentuan mengenai pencabulan dalam UU 35/2014 dan Perpu 1/2016 sebagai berikut:

Pasal 76E UU 35/2014: Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Pelanggaran terhadap Pasal 76E UU 35/2014 diancam dengan pidana sebagaimana diatur dala Pasal 82 Perpu 1/2016, yakni:

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.

Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak. Dari rumusan Pasal 82 Perpu 1/2016 jo. Pasal 76E UU 35/2014 di atas, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan.

Oleh karena pencabulan tersebut merupakan delik biasa, maka proses hukum terhadap tersangka akan tetap berjalan walaupun seandainya pihak keluarga korban sudah memaafkan tersangka (sudah berdamai/laporan dicabut). Namun, apabila ada perjanjian perdamaian, hal itu dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan saat perkara tersebut diperiksa di pengadilan. ***