JAWABANNYA sederhana: karena kepentingan kita terlalu besar jika hanya diurus segelintir orang, sehingga kita diharuskan berpolitik. Tetapi, bukan sekadar jawaban itu yang membuat Anda membuang waktu luang untuk membaca tulisan ini. Sama seperti Anda, saya juga ingin jawaban yang lebih dari itu. Sehingga terbangun kesadaran apakah kepedulian kita pada politik bernilai sama dengan waktu luang yang kita miliki. Tetapi, sebelumnya mari kita jernihkan dulu apa yang dimaksud dengan politik.

Sebagian orang beranggapan politik hanyalah kegiatan aktor-aktor politik yang menitikberatkan pada kekuasaan. Bahkan kebanyakan mereduksinya lagi sebagai permainan kotor dalam demokrasi. Pandangan itu dapat dimaklumi mengingat aktor-aktor itu memang seringkali meniadakan warga negara dari proses politik. Tak ayal warga negara menjadi bersikap apatis. Kebanyakan dari warga negara berpikir tak ada guna berpolitik.

Jika Anda ingat di tahun 2020 pemerintah mengesahkan UU Cipta Kerja meskipun dengan penolakan masif dari warga negara, itulah bagaimana aktor-aktor politik meniadakan warga negara dari proses politik. Sebagai suatu kebijakan, perumusan UU Cipta Kerja tidak melibatkan warga negara. Padahal, warga negara berhak diikutsertakan dalam pengambilan kebijakan publik. Sampai di titik ini, berpolitik adalah kesadaran yang perlu ditumbuhkan dan dipelihara agar warga negara dapat melakukan kontrol terhadap perumusan kebijakan publik.

Kontrol itu diperlukan agar pemerintah tidak sewenang-wenang dalam menyusun dan menjalankan kebijakan. Warga negara perlu masuk ke dalam sistem politik. Filsuf Jerman, Jurgen Habermas, menyebut suasana partisipatif itu dengan istilah demokrasi deliberatif. Yaitu suatu keadaan di mana negara menggelar partisipasi publik seluas-luasnya dalam perumusan kebijakan. Berbeda dengan demokrasi tradisional yang menyandarkan legitimasinya pada jumlah kehendak umum, demokrasi deliberatif membangun legitimasinya lewat wacana publik yang diisi pertarungan gagasan.

Kita tidak dapat begitu saja menyerahkan apa yang menjadi kepentingan kita kepada perwakilan di legislatif. Kecuali jika logika perwakilan mengikuti logika Polis Athena. Di masa Yunani Kuno, segala aspek kehidupan ditentukan oleh apa yang telah dirumuskan para wakil polis, yang mayoritas dari mereka adalah para bangsawan, pemilik tanah, dan pemilik sumber daya lainnya. Perempuan, kaum papa, apalagi para budak tidak punya ‘saham’ untuk ikut mengambil keputusan.

Jika Anda setuju dengan logika itu, maka, perumusan kebijakan yang menghasilkan UU Cipta Kerja telah benar. Itu artinya, lumrah jika orang-orang yang mewakili kita di parlemen sana menentukan standar kualitas hidup kita sepenuhnya. Meskipun kita sendiri merasa tidak nyaman atas standar itu. Karena memang begitulah kerja politik yang mengikuti logika Polis Athena: para bangsawan menentukan hidupnya para budak.

Warga negara perlu masuk ke dalam politik. Dalam perspektif negara modern, hampir mustahil ada kehidupan yang tidak bersinggungan dengan politik. Saat kita baru membuka mata setelah bangun tidur, di saat itu pula kita telah bersinggungan dengan politik. Ini bukan metaforis belaka. Saya dapat membuktikannya.

Bagi para pekerja, hal pertama terlintas setelah bangun tidur mungkin adalah bagaimana mereka dapat ke tempat kerja tepat waktu. Bagi yang bekerja selama 8 jam dalam sehari, dan lima hari dalam seminggu, biasanya waktu bekerja dimulai pada jam 8 pagi dan berakhir jam 4 sore. Darimana datangnya 8 jam sehari dalam bekerja ini? Dari ketentuan yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang adalah produk kebijakan pemerintah. Berbicara tentang kebijakan pemerintah berarti berbicara tentang proses politik yang mengiringi perumusannya.

Semakin banyak aspek-aspek lain yang digali, misalnya bagaimana pekerja berangkat ke kantor, sanksi apa yang diterima jika terlambat, maka, semakin terlihat beragamnya proses politik yang memengaruhi kualitas hidupnya. Semakin sering kita membangun kesadaran berpolitik, semakin terlihat bahwa kualitas hidup kita, dari pagi hingga malam, dari ujung rambut hingga ujung kaki, dipengaruhi oleh kondisi politik yang mengiringinya. Adalah suatu keanehan jika dalam kehidupan bernegara, warga negara bersikap apolitis.

Selain membangun kesadaran berpolitik, kultur pembiaran (omission culture) perlu dihilangkan. Salah satu contoh yang mencolok dari budaya pembiaran ini, setidaknya dari apa yang saya lihat di tempat tinggal saya, adalah kebiasaan masyarakat membuat ‘polisi tidur’ dengan dalih demi keamanan dari lalu lalang motor/mobil yang kebut-kebutan.

Mengebut di jalan, apalagi di jalan pemukiman, adalah tindakan kejahatan. Ia membahayakan nyawa. Tindakan ini begitu terpelihara karena masyarakat seperti abai. Sehingga pengabaian ini menciptakan kesan bahwa mengebut adalah pelanggaran yang masih dapat dimaklumi di masyarakat. Pelanggaran itu baru akan dilihat sebagai pelanggaran jika si pengendara terjaring razia lalu lintas. Alih-alih direpotkan untuk membangun kesadaran hukum, masyarakat mengambil jalan pintas: membangun polisi tidur walau tanpa izin dan spesifikasi yang ditentukan. Pelanggaran hukum diselesaikan dengan pelanggaran hukum lainnya.

Mengakarnya budaya pembiaran berkontribusi pada rendahnya kesadaran berpolitik pada masyarakat. Seperti yang pernah disampaikan oleh Frans Magnis Suseno (2003) tentang kultur kepura-puraan yang hidup di masyarakat sehingga cenderung membiarkan adanya perilaku menyimpang, misalnya korupsi. Nalar feodalistik yang masih terpelihara di masyarakat membuat setiap orang ewuh pakewuh (perasaan sungkan) meskipun sekadar melaporkan adanya tindakan korupsi pejabat ke penegak hukum. Watak feodal ini menciptakan sistem sosial yang mengekang kesadaran politik dan hukum. Sistem sosial ini diisi oleh suatu kaidah yang menentukan pola pergaulan masyarakat kita. Pertama, hendaknya manusia bersikap sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan konflik. Kedua, senantiasa menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai derajat dan kedudukannya (Suseno, 1999).

Kaidah pertama, yaitu sedapat mungkin tidak menciptakan konflik telah membangun watak manusia Indonesia yang cenderung menghindar dari hal-hal yang menurutnya dapat memberikan masalah bagi dirinya. Masyarakat kita cenderung membiarkan pelanggaran. Karena terlibat dalam hal tersebut, meskipun bukan sebagai pelaku, berarti berurusan dengan proses hukum. Preseden buruk ini diperparah dengan inkompetensi aparat penegak hukum yang membentuk mindset di masyarakat kalau berurusan dengan aparat itu merepotkan.

Begitu juga dengan politik. Masyarakat merasa terlalu direpoti dan tidak relevan untuk beraktivitas di dalamnya. lagi-lagi, itu karena masyarakat beranggapan terlibat aktivitas politik akan membawa mereka ke ranah hukum. Anda tentu ingat peristiwa yang dialami guru di Sukabumi setelah mengunggah video jalan rusak ke media sosial. Beberapa aparat desa mendatangi dan memarahi guru tersebut. Aparat desa beralasan tidak etis jika harus diunggah ke media sosial. Padahal, sebagai warga negara, sang guru berhak dan berkewajiban mengawasi jalannya kebijakan pemerintahan. Dalam hal ini adalah pemerintahan di desanya yang membangun jalan secara asal-asalan. Itu merupakan salah satu bentuk aktivitas politik warga negara. Terma yang digunakan untuk tingkat aktivitas politik warga negara adalah political efficacy (kemanjuran politik). Yaitu seberapa jauh warga negara percaya bahwa partisipasi mereka ‘manjur’ memengaruhi kebijakan pemerintah.

Kaidah kedua, hormat kepada orang lain, terlebih kepada orang yang kedudukannya terpandang. Logika aparat desa yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan guru tersebut tidak etis adalah produk dari kaidah ini. Sebagai pemimpin jalannya pemerintahan desa, si aparat desa merasa harus dilindungi kehormatan dan martabatnya, tidak peduli apakah ia telah melakukan penyimpangan, kesewenang-wenangan atau tindakan tidak terpuji lainnya. Inilah yang tadi saya sebut dengan “nalar feodalistik”. Di Indonesia, korupsi sering terjadi karena modernitas birokrasi dijalankan dengan nalar politik semacam ini.

Politik adalah nomina (kata benda). Ia berada pada posisi netral. Jika Anda membawanya ke dalam kekotoran, bukan berarti politik itu kotor. Dari uraian tadi terbukti bahwa politik dapat dibawakan sebagai aktivitas yang mulia. Menghindarinya justru adalah tindakan yang tidak mulia. Apolitis (tidak peduli politik) adalah egoisme tingkat lanjut. Dari pengalaman, saya sering menemukan ketidakpedulian pada politik ini menghinggapi orang-orang yang menginginkan status quo. Yaitu mereka yang sejahtera hidupnya dan ingin keadaan itu tetap berlanjut dan tidak berubah meskipun orang-orang di sekelilingnya berada pada kepapaan. Jadi, dalam konteks negara modern, perubahan dapat diusahakan dengan aktivitas politik warga negara. ***

Disclaimer:

Saat ini  penulis adalah bagian dari Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Kabupaten Pelalawan yang dituntut untuk mengedepankan netralitas. Pengertian politik yang disampaikan pada tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memengaruhi pembaca kepada bentuk partisan di partai atau organisasi politik tertentu. Tetapi, politik yang dipahami sebagai aktivitas civil society dalam ilmu politik.

Mohammad Ali Dosti adalah PNS Pemkab Pelalawan, Riau.