JAKARTA - Usulan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun menjadi sorotan publik. Usul ini pertama kali mencuat saat Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar bertemu para pakar ilmu di UGM Yogyakarta pada Mei 2022.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengatakan, masa jabatan sembilan tahun untuk kepala desa bisa menimbulkan chaos di masyarakat.

"Kalau satu periodenya adalah sembilan tahun, kalau ada ketidakpuasan dari masyarakat, maka yang terjadi adalah chaos. Kalau (masa jabatan) empat tahun atau lima tahun bisa cepat, oke kita menunggu bahwa masa jabatannya habis kita mengadakan pemilihan lagi. Tetapi kalau sembilan tahun, kalau baru tiga tahun dirasakan kepala desa sudah tidak bisa melayani masyarakat, maka yang terjadi adalah chaos, yang terjadi adalah demo dan penggantian-penggantian di tengah jalan," kata Anthony saat diskusi dengan Partai Gelora, Rabu (25/1/2023).

Menurut Anthony, masa jabatan kepala desa yang singkat dapat membuktikan bahwa sosok tersebut adalah orang yang mampu bekerja dengan baik. "Jadi, semakin pendek itu masa jabatan, tentu saja cukup untuk membuktikan bisa bekerja dan itu semakin baik. Makanya kalau di negara maju kebanyakan empat tahun," tambah Anthony.

Anthony juga menyoroti sikap DPR yang langsung menyatakan akan mempertimbangkan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa. Menurutnya, itu hanya lah janji yang manis dilakukan DPR. "Nah ini kan asal menjanjikan yang tadi itu. Jangan sampai asal menjanjikan, asal mengiming-imingi saja. Ladahal pada saat itu tidak bisa dibahas," tambahnya.

Sementara itu, Partai Gelora dengan tegas menolak perpanjangan masa jabatan kepala desa (Kades) menjadi 9 tahun. Masa jabatan kepala desa memiliki kemungkinan untuk diperpanjang menjadi sembilan tahun dalam satu kali masa jabatan dari sebelumnya enam tahun. Namun Partai Gelora melihat hal ini syarat akan kepentingan politik jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Wakil Ketua Umum Partai Gelora Indonesia, Fahri Hamzah setuju agar UU tentang desa direvisi, akan tetapi secara tegas menolak perpanjangan masa jabatan Kades. "Tolong yang kita bahas itu selain daripada perpanjangan masa jabatan kepala desa, sebab ini berbau tidak sedap," ujarnya.

Perpanjangan masa jabatan desa dinilai lebih banyak dipengaruhi unsur politik. Ada yang menilai Kades saat ini telah melakukan politik praktis agar kepentingan mereka dapat diakomodasi presiden dan DPR RI, sebab keputusan desa bisa berpengaruh pada besar kecilnya suara yang masuk ke parpol pada Pemilu 2024. Menurutnya, Indonesia sebagai negara demokrasi justru harusnya memangkas masa jabatan.

"Tidak ada yang namanya ekstensi jabatan dalam masa jabatan, justru malah harus dikurangi. Semakin matang demokrasi justru makin dipotong. Masa jabatan di Amerika, dipotong masa jabatan menjadi 4 tahun," ujarnya.

Partai Gelora menilai adanya penambahan anggaran yang masuk ke desa lebih jelas bagi pembangunan desa, ketimbang Kades diiming-imingi dengan perpanjangan masa jabatan yang tidak punya konsekuensi anggaran.

Fahri Hamzah mengatakan dana satu miliar satu desa itu terlalu sedikit, apalagi kemungkinan masa depan pembangunan negara itu ada di desa. Penambahan anggaran desa menurutnya akan menarik minat generasi muda yang inovatif untuk menjadi Kades.

Dengan masuknya generasi muda menjadi Kades diharapkan dapat memajukan pembangunan di desa. "Kita kawal perubahan undang-undang ini, tapi jangan perpanjangan masa jabatan. Saya malah mengusulkan minta kelebihan dana desa, tapi kurangi masa jabatan. Supaya nanti anak-anak muda, kalau melihat gaji kepala desa memadai, banyak orang-orang pintar ingin jadi kepala desa. Saya kira itulah demokrasi desa dan pembangunan desa," ujarnya.***