JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera mengungkap data bahwa hampir separuh anggota DPR RI periode 2019-2024 yang berusia muda, memiliki hubungan dengan pejabat negara.

Data itu, menurut Mardani, menjadi cerminan bahwa Pemilu serentak 2019 yang telah usai, meski tak menyisakan limpahan residu demokrasi, tapi 'yang terjadi, banyak kangker,".

Hal itu dikatakan Mardani, saat dijumpai wartawan di ruang kerjanya, Selasa (20/08/2019). Indikasi kangker pasca Pemilu itu disebutkan Mardani, "karena yang terpilih (dalam Pileg 2019, red) kalau nggak anak Bupati, Istri Gubernur, macem-macem,".

"Dari 72 anggota DPR usia di bawah 40 tahun, 36-nya itu punya hubungan dengan Bapak, Paman (yang juga menjabat jabatan publik, red)" katanya.

Padahal, menurut politisi PKS ini, demokrasi yang substansial harusnya melahirkan merit sistem, "tidak bermakna itu (fenomena sekarang tak melahirkan merit sistem, red) tidak. Tapi, kajiannya harus mendalam,".

Karena itu, pencetus tagar #KamiOposisi itu, memandang perlu bagi para pihak untuk mulai memikirkan "revisi UU Pilkada/Revisi UU Pemilu dan Revisi UU Parpol", guna mencapai konsolidasi demokrasi yang positif.

Contoh belum sehatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia saat ini, diungkap Mardani, adalah OTT kepada kepala-kepala daerah oleh KPK yang ternyata, informasi KPK tak jarang juga didapat dari orang terdekat kepala daerah tersebut.

"KPK nggak bisa ujug-ujug (OTT/Operasi Tangkap Tangan)" kata Mardani.

Tak bermaksud untuk tak mendukung penegakkan hukum terhadap koruptor, tapi iklim demikian, dinilai Mardani, juga tak lepas dari demokrasi yang berjalan belum susbstansial di Indonesia.

Indonesia masih menjalani demokrasi prosedural yang minim kekuatan konsolidasi, dan terlalu berbiaya besar. Sehingga konsolidasi demokrasi yang dimaksud Mardani, tak bisa hanya diselesaikan melalui revisi UU Pemilu/Pilkada saja, tapi juga harus merevisi UU Parpol.

Dengan demikian, tujuan konsolidasi demokrasi dan sistem elektoral yang dimaksud, bisa menjawab tantangan, "menjadikan demokrasi sebagai platform bersama mencegah otoritarianisme,".

"Dan meningkatkan demokrasi yang tengah berjalan menjadi lebih dinamis, stabil, efisien dan akuntabel," kata Mardani mengutip Bunbongkarn, 2001: 138.***